Minggu, 13 Juli 2008

Krisis LPG : Cabut Monopoli Pertamina!!!

Aku tidak tau harus bersikap seperti apa apakah harus bersedih karena ironis atau justru tertawa terbahak-bahak ketika mendengar pernyataan Pertamina yang menyerahkan harga LPG kepada mekanisme pasar. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pertamina adalah satu-satunya perusahaan atau monopolis dalam pendistribusian bahan bakar (baik BBM ataupun LPG) di Indonesia. Dan sebagaimana teori ekonomi, bahwa seorang Monopolis pasti memiliki kuasa penuh dalam menetukan harga produknya kepada konsumen bahkan dengan kekuatannya, Monopolis juga mampu melakukan diskriminasi harga dengan menjual dengan harga yang berbeda untuk konsumennya. Sehingga ketika Pertamina menyatakan bahwa harga LPG akan diserahkan kepada mekanisme pasar, aku pun bertanya di dalam hati apakah teori ekonomi yang sudah berubah atau justru Pertamina yang gagal menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengatur distribusi energi?

Tapi setelah kupikir-pikir lagi dan bahkan orang awam pun tau, jawabannya pastilah yang kedua. Karena sampai saat ini monopoli tetaplah menjadi musuh perekonomian pasar lalu bagaimana mungkin monopolis bisa bertoleransi dengan mekanisme pasar?. Hal ini juga semakin diperkuat dengan tidak adanya upaya dari pihak Pertamina untuk mengatur harga LPG itu sendiri. Bagaimana Pertamina telah sukses mengkokohkan citra sebagai BUMN yakni sebagai “parasit” negara yang hanya tau berfoya-foya tanpa pernah bekerja. Bahkan sudah puluhan tahun kita tidak melihat bagaimana Pertamina melakukan sebuah inovasi apalagi melakukan ekspansi usaha padahal keuntungan yang mereka raup bisa melebihi 16 Triliun rupiah setahunnya. Dan dengan keuntungan yang begitu besar tetap saja Pertamina tanpa rasa malu selalu meminta subsidi dari negara hingga ratusan Triliun. Yang lebih ironis lagi walau berstatus sebagai perusahaan peminta-minta subsidi, Pertamina dengan bangga memperlihatkan gaya hidup yang mewah tanpa pernah memikirkan bagaimana kerasnya rakyat harus bekerja untuk membayar pajak yang akan disubsidikan kepada mereka. Padahal menurutku setidaknya ada 3 buah metode yang dapat dilakukan oleh Pertamina untuk mengontrol harga LPG yang akan diterima oleh konsumen secara langsung yakni:

Pertama, Pertamina membuka gerai resmi penjualan LPG secara langsung disetiap kota. Hal ini tentunya yang paling mudah dan realistis secara teknis untuk dilaksanakan. Dengan adanya gerai resmi yang menjual LPG dengan harga resmi Pertamina, hal ini akan membuat para pengecer tidak dapat menaikan harga seenaknya saja karena konsumen memiliki pilihan. Sehingga walaupun tetap terjadi perbedaan harga hal itu tidak lain sebagai biaya pelayanan dari pengecer seperti lokasi yang lebih dekat dengan dengan rumah konsumen ataupun bentuk pelanyanan laininya.

Kedua, sudah saatnya Pertamina meninggalkan sistem distribusi LPG melalui tabung menjadi distribusi langsung melalui pipa-pipa langsung kerumah konsumen sepeti yang telah dipergunakan di banyak negara-negara yang telah maju. Dengan metode ini konsumen akan membayar tagiahan LPG setiap bulan sesuai dengan pemakaiannya seperti penggunaan listik dan air. Cara ini tentunya akan menghilangkan semua bentuk mark-up harga.

Ketiga, walau harus diuji lagi kelayakan teknisnya, tapi menurut aku kenapa tidak Pertamina mendirikan saja Stasiun Pengisian LPG seperti SPBU. Kalau saja mobil yang menggunakan BBG bisa mengisi tabung gasnya di Stasiun Pengisian, lalu mengapa masyarakat tidak bisa membawa tabung LPG-nya dan kemudian langsung diisi di Stasiun Pengisian?. Bukankah mediun penyimpanan antara BBG dan LPG sama-sama berbentuk tabung?.

Oleh karena itu aku menilai bahwa tidak sepantasnya Pertamina menyerah dan mengorbankan konsumen LPG tanpa mencoba terlebih dahulu. Apalagi sebagai BUMN dengan Laba terbesar (2005), Pertamina seharusnya memiliki dana yang cukup untuk melakukan inovasi-inovasi pelayanan LPG terutama setelah pemerintah melakukan pemaksaan kepada masyarakat untuk meninggalkan minyak tanah dan menggunakan LPG. Sehingga kalau saja Pertamina masih saja gagal mengkontrol harga LPG pada tingkat konsumen maka harus diambil sebuah tindakan, yakni copot semua direksi Pertamina atau sekalian saja cabut hak monopoli Pertamina!. Karena kalau masyarakat harus dipaksa menerima mekanisme pasar, maka masyarakat berhak pula untuk menerima persaingan yang lebih kompetitif dan mendapatkan pelayanan yang lebih bermutu. Jangan-jangan kita memang harus melihat bagaimana tetangga kita, Malaysia, dimana Petronas harus bersaing dengan ketat dengan perusahaan lainnya jusru membuat perusahaan tersebut menjadi salah satu perusahaan yang besar dan bahkan kini mampu memasuki pasar SPBU di negeri kita ini. Sehingga kalau Pertamina masih saja tidak mampu mengontrol harga LPG sudah saatnya hak monopolinya kita pertimbangkan kembali.(α2)

ZAKAT MEMAKSIMALKAN UTILITAS BERSAMA

Indonesia sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki potensi Zakat yang sangat besar sekitar 20 triliun rupiah. Namun sayang dalam kenyataannya potensi yang sangat besar tersebut tidak dapat diserap secara maksimal. Masih banyak orang-orang yang termasuk dalam kategori wajib Zakat justru tidak mengeluarkan zakatnya. Ada apa sebenarnya dibalik semua ini. Benarkah ini sebagai tanda bahwa agama sekarang ini hanya sebuah formalitas bukan sebagai sebuah ajaran lagi?. Atau justru ini menandakan proses dakwah yang tidak dapat menyentuh semua pihak terutama mereka yang berekonomi mapan?.

Modrenisasi dan Rasionalisasi Pemikiran.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat setelah zaman renesaince (pencerahan) turut pula merubah cara pandang manusia terhadap sesuatu termasuk agama. Rasionalisasi pemikiran membuat agama yang dahulu bersifat dogmatis menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan. Namun sayang agama dalam hal ini belum berbenah dalam menghadapi perkembangan pemikiran manusia ini.

Hal ini dapat kita lihat dari pendakwahan agama yang masih belum beranjak dari hal-hal sekitar pahala dan dosa. Ironisnya Materialisme pulalah yang justru berkembang dalam pemikiran manusia. Tak pelak semakin lama masalah pahala dan dosa yang bersifat immateri dan abstrak semakin diragukan kebenarannya seiring dengan munculnya Atheisme.

Akibatnya zakat yang pensosialisasiannya tidak lepas dari hanya masalah pahala dan dosa semakin dianggap sebagai permasalahan yang tidak terlalu serius dalam kehidupan dan tidak mengapa bila tidak dilaksanakannya. Oleh karena itulah kita dapat menyaksikannya bagaimana potensi zakat yang sangat besar itu tidak dapat terealisasikan sepenuhnya. Untuk itu sudah saatnya ada sebuah pemikiran yang mampu membuat Zakat menjadi lebih rasional dan menguntungkan kedua pihak baik si penerima zakat maupun si pemberi zakat. Sehingga si pemberi pun tidak merasa zakat sebagi sesuatu yang mengurangi kebahagiaannya (Utilitasnya).

Zakat Memaksimalkan Utilitas Bersama.

Dalam teori ekonomi, perilaku dan tindakan seseorang selalu di dasarkan atas dasar keinginan untuk memaksimalakan kebahagiaannya (Utilitasnya). Bahkan menurut Adam Smith seseorang melakukan hal-hal sosial juga atas dasar kepentingan pribadinya. Disinilah kita seharusnya dapat menekankan betapa pentinganya zakat dalam memaksimalkan kebahagiaan seseorang.

Di dalam Islam kita mengenal akan adanya dua jenis kehidupan yaitu kehidupan di dunia dan di akhirat serta pasti akan terjadi trade off diantara keduanya akibat adanya kelangkaan pada waktu hidup. Seseorang yang hanya mengejar kebahagian dunia saja dengan terus bekerja dan berfoya-foya sepanjang waktu tentu kehilangan kesempatan untuk beribadah untuk kebahagiaan akhiratnya. Sebaliknya seseorang yang terus beribadah saja tanpa berusaha mengejar kehidupan dunianya akan menderita hidupnya di dunia. Untuk itu dapat kita gambarkan kurva kebahagiaan seseorang sebagai berikut:


Dalam masyarakat, zakat tentu akan membuat taraf hidup orang-orang fakir dan miskin sebagai penerima zakat akan menjadi lebih baik. Adanya Transfer Payment dari si pemberi zakat kepada penerima zakat tentu akan turut menambah kebahagiaan bagi si penerima zakat, namun benarkah si pemberi zakat lebih justru akan kehilangan kebahagiaan dunianya untuk mendapatkan kebahgiaan akhiratnya? Inilah yang seharusnya kita tekankan dalam mensosialisasikan zakat.

Bila kita teliti lebih cermat ternyata zakat tidak akan mengurangi kebahagian dunia si pemberi justru dapat menambahnya menjadi lebih baik. Bila tidak ada zakat maka akan terjadi sebuah kondisi yang menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan antara si kaya dengan si miskin. Kondisi ini jelas akan merugikan bagi si kaya. Dengan kondisi hidup yang sangat susah, bagi si miskin ia akan rela melakukan apa saja demi mempertahankan hidupnya. Ia bisa saja mencuri bahkan membunuh hanya untuk memperoleh kebutuhan hidupnya. Kondisi ini jelas akan membuah si kaya resah dan takut menjadi sasaran dari si miskin sehingga ia harus mempekerjakan satpam, membeli kamera pengawas, menyiapkan senjata dan ia tidak akan tidur dengan nyenyak. Untuk menyediakan itu jelas si kaya harus mengeluarkan dana yang seharusnya dapat ia gunakan utnuk hal-hal yang lebih menyenangkan.

Di sinilah peranan zakat sebetulnya, dengan adanya pembagian zakat baik zakat fitrah, zakat harta, zakat profesi, dan lainnya akan terbentuk rasa kepedulian sosial antara si kaya dengan si miskin. Si miskin akan terjamin kehidupannya sehingga ia tidak perlu lagi mencuri bahkan ia akan melindungi si kaya yang telah memberikannya bantuan untuk hidup. Sebaliknya dengan begitu si kaya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya-biaya keamanan dan ia bisa tidur tanpa ada perasaan was-was. Dengan begitu si kaya akan dapat merasakan hidup yang lebih membahagiakan. Selain kebahagiaan dunianya, kebahagiaan akhiratnya jelas bertambah. Dengan mengeluarkan zakat maka ia akan mendapatkan pahala selain itu dengan dapat tidur nyenyak ia dapat bangun lebih awal untuk beribadah dan ia pun tidak lagi berburuk sangka kepada si miskin yang ditakutkannya akan mencuri hartanya.

Begitu pula dengan si miskin, dengan zakat jelas seperti yang kita gambarkan di atas kebahagiaan dunia si miskin akan meningkat karena ia kan memperoleh tambahan pendapatan untuk berkonsumsi. Kenaikan kebahagiaan dunia ini juga akan diikuti oleh kebahagiaan akhiratnya. Dengan tercukupi kebutuhan dunianya maka si miskin tidak perlu lagi mencuri yang merupakan dosa, ia tidak lagi mencemooh dan menghina si kaya yang dianggapnya kikir, dan ia turut melindungi si kaya. Sehingga sangat jelaslah bahwa zakat dalam hal ini dapat memaksimalkan kebahagiaan bagi keduanya, baik si penerima zakat maupun si pemberi zakat. Dengan begitu dapat kita lihat akan terjadi pergeseran kurva kebahagiaan baik si kaya dan si miskin ke kanan yang menunjukkan kebahagiaan yang lebih baik.

Oleh kerena itulah zakat merupakan sebuah kunci menuju perekonomiaan yang adil dan sejahtera yang selama ini dicita-citakan di dalam Pancasila. Untuk itu mulai saat ini mari bersama memberdayakan zakat. -(α2)-

Korupsi dan Kisah Cinderella

Banyak orang berfikir bahwa segala sesuatu berakhir ketika apa yang diinginkan tercapai. Kebahagian sesaat membuai dan menutupi kegalauan dimasa depan. Pernahkah kita terfikir bagaimana sequel dari cerita Cinderella? Kita mengangap bahwa cerita Cinderella adalah sebuah cerita yang bahagia bahwa seorang gadis miskin yang disiksa saudaranya akhirnya menikah dengan seorang pangeran yang tampan. Namun sadarkah kita bahwa sebenarnya kisah Cinderella justru baru dimulai ketika ia menikah dengan sang pangeran?. Bagaimana jadinya bila dua orang yang berasal dari dua lingkungan yang sangat berbeda harus bersatu? Bagaimana jadinya Cinderella yang miskin dan tidak terbiasa hidup dalam istana harus menghadapi intrik politik kekuasaan? Bagaimana pula bila pangeran yang digemari oleh banyak wanita nantinya akan berselingkuh karena ternyata ia menemui wanita yang lebih cantik dari Cinderella?

Sehingga apa yang kita sebut sebagai sebuah kisah yang indah terkadang justru hanya awal dari sebuah kisah yang menyedihkan. Mungkin saja Cinderella harus menghadapi perlakuan yang sama seperti apa yang dilakukan saudara di istana baru yang ia tingali? Dan kita tidak pernah mau tau bagaimana Cinderella harus mengahadapi hidupnya yang baru, yang ada hanya kita memaksakan bahwa Cinderella adalah wanita yang paling bahagia tanpa pernah memikirkan apa yang harus ia hadapi di masa depan. Bahwa terkadang sebuah cerita justru baru saja dimulai saat kita merasa itulah akhir sebuah cerita. Karena kita terlalu memaksakan bahwa sebuah cerita akan diakhiri dengan bahagia.

Begitu pula dengan korupsi. Mungkin kita berfikir maka cerita korupsi akan berakhir ketika kita mendapatkan uang korupsi tersebut. Maka bahagialah karena kita menjadi kaya raya dengan uang tersebut. Namun tidakkah kita memikirkan sequel kehidupan kita dimasa depan seperti cerita Cinderella? Bagaimana bila kita tertangkap akibat korupsi? Hilanglah semua yang telah kita kumpulkan selama ini. Keluarga menjadi malu, kekasih pun menghilang, ingatlah bahwa kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Tidak hanya itu masa depanmu pun hilang sudah. Hidup dipenjara, hilang pekerjaan, sampai hilangnya harga diri. Tak pernahkah kita menghitung berapa besar jumlah pendapatan yang akan hilang hanya karena kita tertangkap korupsi. Terkadang jumlah yang akan hilang itu jauh lebih besar dari pada yang didapatkan. Bukankah net benefit harus lebih besar baru kita bertindak?

Namun selain itu yang lebih penting adalah kita tidak boleh kehilangan harga dan martabat diri kita. Karena sesulit apapun kata orang mencari uang, uang tetaplah bisa dicari. Namun harga dan martabat diri tidak bisa dicari karena ia hanya dapat dilindungi. Yakni dilindungi oleh perbuatanmu, percakapanmu, serta semua pemikiranmu. Maka sangat jelas bahwa uang adalah sesuatu yang dapat diperbaharui sedangkan harga dan martabat diri adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui sehingga sangat jelas ia lebih beharga dibandingkan setumpuk uang hasil korupsi……..

Awan Gelap Transportasi Kita

Kebakaran pesawat garuda, GA 200, pada hari rabu 7 maret 2007 kembali mencoreng wajah transportasi masal kita. Kebakaran yang menewaskan 23 orang itu melengkapi serangkaian peristiwa kecelakaan transportasi baik di darat, laut, maupun di udara di tahun 2007 yang dicanangkan sebagai tahun keselamatan. Setelah tergelincirnya berbagai gerbong kereta api dan tenggelam hingga terbakarnya kapal penumpang kini kecelakaan pesawat kian membuat ketakutan masyarakat terhadap anggkutan masal semakin meningkat.

Sejak maraknya perang tarif yang dimulai oleh angkutan udara yang mau tidak mau berimbas terhadap angkutan lainnya baik darat dan laut yang merupakan substitusi darinya, membuat faktor keselamatan dan keamanan menjadi sesuatu yang seakan-akan tidak perlu diperhatikan. Sudah tuanya armada angkutan yang digunakan bahkan kebanyakan sudah direkondisi, hingga tidak tersedianya alat-alat keamanan seperti alat pemadam kebakaran hingga pelampung membuat kita harusnya bertanya apalah guna perang tarif bila resiko yang harus kita tanggung menjadi semakin besar. Apalagi saat ini asuransi masih merupakan suatu barang mewah yang belum dijamah sebagian besar masyarakat Indonesia, tentulah resiko masih merupakan sebuah ancaman yang sangat menakutkan. Kebakaran baik yang terjadi di KM Levina I maupun pesawat Garuda tidak perlu terjadi apabila di sana tersedia alat pemadam sehingga api tidak perlu menyebar. Tentu pulalah apabila pelampung tersedia tidak perlu jatuh korban dalam tenggelamya KM senopati maupun KM Levina. Semua ini jelas merupakan kelalaian manusia yang wajib dipertanggung jawabkan bukan saling melempar tanggung jawab.

Yang ironis ditengah maraknya sikap anti intervensi pemerintah dan euforia kebebasan pasar dalam mengatur seluruh kegiatan ekonomi termasuk masalah transportasi, lalu mengapa setiap terjadi kesalahan baik bencana yang diakibatkan oleh alam ataupun manusia (swasta) itu sendiri sontak seluruh pihak menudingkan tangganya kepada pemerintah? Bukankah semuanya telah diatur oleh pasar? Bukankah pemerintah tidak berhak mencampuri urusan ekonomi baik masalah operasional perusahaan hingga tarif? Lalu mengapa pemerintah yang bersalah atas kejadian-kejadianya yang sepenuhnya akibat kelalaian perusahaan-perusahaan (swasta) yang mengoperasionalkan armada-armada angkutan tersebut? Jelas ini sebuah tindakan yang tidak adil. Yang berbuatlah yang harus bertanggung jawab, bukan menyalahkan pihak lain yang dikecam bila ingin melakukan intervensi.

Kembali kita menyaksikan bahwa apa yang kita banggakan sebagai pasar tidaknya menjamin sesuatu akan semakin baik, semakin efisien. Nyawa jelaslah jauh lebih berharga dibandingkan tiket murah. Kegagalan pasar harusnya segera diakhiri tentulah dengan sebuah regulasi dari pemerintah yang lebih ketat. Sekali lagi kompetisi bukanlah suatu hal yang pasti membawa kebaikan. Justru kompetisi yang berlebihan akan membawa petaka dengan saling sabotase. Persaingan yang berlebihan membuat banyak atlit menggunakan doping. Hal ini yang harus terus kita perhatikan untuk semua hal termasuk transportasi kita. Kini persaingan telah mengorbankan keamanan. Persaingan telah menimbulkan korban jiwa. Ingatlah bahwa efisiensi bukanlah menghasilkan barang dengan harga yang semurah-murahnya namun mengorbankan kualitas. Efisiensi adalah menghasilkan suatu output yang sama dengan harga yang paling minimum. Apalah guna harga menurun bila kualitas menurun lebih jauh dibandingkan harganya?

Tidak hanya masalah banyaknya jatuh korban atau berapa besar kerugian yang harus ditanggung akibat kecelakan-kecelakan tersebut, namun yang juga harus menjadi perhatiaan bahwa rentetan kasus kecelakaan ini akan menimbulkan suatu rasa ketakutan yang memuncak dari masyarakat untuk kembali menggunakan transportasi masal. Jelas bukan hanya masalah akan menurunnya jumlah penumpang angkutan masal tersebut dapat membawa kerugian bagi perusahaan-perusahaan penyedia jasa angkutan, namun yang lebih krusial adalah kemana orang-orang yang tadinya memanfaatkan angkutan masal untuk berpindah tempat. Akan menggunakan transportasi apa bila mereka sudah takut menggunakan transportasi masal. Jelas bahwa berpergian baik antar kota maupun antar pulau telah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dijaman modern ini. Banyak pekerjaan yang menuntut seseorang untuk sering melanglang buana hingga ke pelosok negeri. Yang jadi masalah dengan apa nantinya mereka akan berpergian apabila angkutan masal sudah kehilangan kepercayaan?

Bahayalah apabila mereka memutuskan untuk menggunakan kendaran pribadi yang dianggap lebih aman karena mereka sendiri yang mengendarainnya. Mengapa? Tentulah angka kendaraan bermotor akan meningkat, efek terdekat pasti akan meningkatkan tingkat polusi dan tentu penggunaan bahan bakar minyak, yang bukan hanya semakin mahal namun juga semakin menipis persediaanya, akan semakin besar dan dapat kembali mendorong kenaikan harga BBM. Efek negatif ini haruslah segera mungkin diantisipasi mau tidak mau tentulah dengan pengawasan yang lebih ketat di sektor transportasi yang tentulah lewat regulasi pemerintah, baik dengan penentuan batas bawah dan atas untuk tarif angkutan hingga pelebaran wewenang KNKT untuk turun langsung mengecek kelayakan armada transportasi patut diimplementasikan agar kepercayaan terhadap transportasi masal dapat kembali meningkat.

Awan hitam yang menyelimuti transportasi masal kita tidaklah hanya untuk diratapi namun untuk direnungi. Jangan sampai rentetan kecelakan yang telah terjadi tidak berhenti disini. Peran pemerintah harus kita akui untuk dapat mengatasi kegagalan pasar bukan membiarkan pasar terus memakan korban-korban yang tidak bersalah...

Investasi Asing: Sebuah Ilusi Pembangunan

Akhir-akhir ini selalu akrab di telinga kita tentang bagaimana kegigihan dari pemerintah untuk membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Alasannya tentulah sangat fantastis untuk mempertinggi angka pertumbuhan, menciptakan lapangan pekerjaan, hingga mendorong investasi domestik untuk turut tumbuh akibat adanya efek yang dihasilkan oleh investasi asing tersebut. Segala hal pun mulai dipersiapkan dari mempersingkat jalur birokrasi hingga menawarkan insentif pajak serta pembangunan wilayah-wilayah khusus ekonomi barupun mulai dicanangkan. Namun yang seperti biasa yang menjadi pertanyaan tentulah apakah harapan-harapan itu sebuah harapan realistis atau hanya sebuah ilusi yang selalu dipropagandakan oleh ekonom-ekonom “utara” untuk terus mendominasi perekonomian “selatan”?

Bila kita melihat persiapan yang dilakukan oleh pemerintah, kegiatan-kegiatan seperti memperbaiki birokrasi maupun insentif usaha merupakan suatu hal yang patut kita apresiasi dengan baik. Namun yang ironis mengapa hal-hal yang baik-baik tersebut baru terfikirkan ketika pemerintah ingin investasi asing masuk? Megapa hal ini tidak dicanangkan sejak dahulu? Hal ini seakan-akan semakin mencerahkan adanya anggapan diskriminasi yang lebih mementingkan kepentingan asing dibandingkan anak-anak pribumi.

Anggapan “sinis” ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimana di tengah kegigihan mengundang investasi asing tesebut pemerintah seakan-akan acuh terhadap modal (tabungan) domestik yang ada di perbankan-perbankan nasional dipendam sedemikian besarnya dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dibandingkan disalurkan kepada sektor rill. Mengapa kita harus jauh-jauh mengemis hanya untuk memohon agar orang-orang asing mau menanamkan modalnya di negeri ini sementara kita membiarkan dana masyarakat teronggok tak berguna di Bank Indonesia serta membebani anggaran negara hanya untuk misi yang seakan-akan suci yakni pengendalian inflasi. Bukankah masuknya investasi asing tersebut juga akan menganggu kestabilan uang yang beredar juga? Lalu mengapa pemerintah tidak memberikan insentif saja agar modal-modal yang terkumpul itu dapat disalurkan dengan biaya rendah (misalkan dengan suku bunga pinjaman yang disubsidi).

Selain itu mengapa pemerintah seakan-akan menutup mata terhadap ribuan orang kaya Indonesia yang memendamkan uangnya di luar negeri baik di Singapura, Swiss, maupun negara-negara lainnya yang nilainya diestimasi hingga ratusan triliun rupiah. Belum lagi dana-dana yang di korupsi oleh pejabat-pejabat publik yang pemberantasannya hingga saat ini seakan-akan masih terasa “tebang pilih” hanya memvonis mereka yang korupsi dapat dibilang dalam jumlah yang masih kecil. Sedangakan sindikat-sindikat utama masih tenang dan tiba-tiba sakit yang kemudian tidak jadi-jadi disidang untuk mencari kepastiaan benar tidaknya ia melakukan korupsi.

Tidak hanya pandangan-pandangan diatas, beberapa penelitian empiris yang pernah dilakukan di waktu-waktu yang lalu oleh beberapa ekonom termasuk ekonom ternama Indonesia, Prof. Sritua Arief, menunjukan bahwa menurut perhitungan mereka di negara-negara berkembang, invetasi asing yang masuk justru menrugikan bagi negara-negara berkembang. Dimana menurut penelitian yang dilakukan oleh Prof. Sritua Arief (dalam bukunya negeri terjajah, Resist Book 2006) menunjukkan selama periode 1973-1990 ada sebesar US$ 5,775 miliyar investasi asing yang masuk ke Indonesia. Namun dalam periode yang sama, hal ini turut pula diikuti dengan keuntungan investasi asing yang direpatiasi (dialihkan) dari Indonesia ke luar negeri sebesar US$ 58,859 miliyar. Berarti dari setiap US$ 1 investasi asing yang masuk akan diikuti dengan uang yang hilang senilai US$ 10,19.

Besarnya keuntungan yang direpatiasi ini antara lain disebabkan karena dalam kenyataan yang terjadi, investasi asing secara substansial bukanlah dibiayai dari sumber-sumber keuangan yang diperoleh dari luar negeri seperti yang diharapkan untuk menutupi investment-saving gap yang menjadi masalah-masalah utama di negara-negara berkembang, namun justru berasal dari sumber-sumber domestik negara berkembang itu sendiri lewat jaringan operasi dari bank-bank asing yang ada di negara berkembang itu. Tidak hanya itu besarnya import content yang selalu mengiringi investasi-investasi asing tersebut membuat efek-efek yang diharapkan dapat menular kepada usaha-usaha domestik lewat pembukaan lapangan kerja bagi penduduk-penduduk lokal justru berbalik dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pekerja-pekerja asing di negara-negara berkembang. Hampir seluruh investasi asing selalu menggunakan jasa-jasa pekerja terutama konsultan-konsultan yang berasal dari negeri asal investor tersebut yang biayanya jauh lebih mahal walaupun secara kualitas belum pernah ada kepastian bahwa mereka (para konsultan asing) memiliki kualitas yang lebih baik daripada anak-anak pribumi. Salah satu sektor yang kini dengan sangat jelas merasakan dampak negatif dari masuknya investasi asing adalah sektor perbankan yang saat ini sedang genjar-genjarnya mengalami “asingisasi”. Masuknya investasi asing lewat portfolio investment bukannya membawa keuntungan baik berupa pembukaan lapangan pekerjaan baru namun justru menambah angka pengangguran. Karena hampir semua bank-bank yang telah dimiliki secara mayoritas oleh pihak asing mengganti jajaran komisaris dan direksinya dengan bankir-bankir negara asalnya. Dimana yang ironis menurut penelitian dari majalah infobank kualitas dari bankir-bankir yang didatangkan itu hanya bankir-bankir kelas tiga atau hanya selevel pimpinan cabang di negara asalnya.

Walaupun pekerja-pekerja asing itu tinggal di negara-negara berkembang tempat investasi asing itu masuk dan menyumbang dalam perhitungan GDP, konsumsi yang mereka lakukan sebagian besar juga lari ke luar negeri atau tidak di rasakan oleh masyarakat domestik. Mereka tinggal di hotel-hotel asing, belanja di perusahaan-perusahan ritel asing, hingga makan di restoran-restoran asing atau minimal franchise dari restoran asing yang memiliki import content dalam jumlah yang besar. Sehingga wajar nilai investasi asing yang dilakukan di negara-negara berkembang justru sebagian besar direpatiasi ke luar negeri. Hanya “setetes”lah yang dapat dikatakan dirasakan oleh negara-negara berkembang itu sendiri.

Tidak hanya itu investasi asing yang selama ini digembar-gemborkan dapat membantu dalam pembentukan tabungan domestik serta mendorong investasi domestik adalah sebuah mistos yang tidak terjadi. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan termasuk oleh Prof. Sritua Arief (1993) kejadian yang sebaliknya lah yang justru terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dimana investasi asing justru menghambat terbentuknya tabungan domestik serta perkembangan investasi domestik. Hal ini disebabkan dengan modal yang besar investasi-investasi asing tersebut telah mengambil kegiatan-kegiatan ekonomi yang paling menguntungkan dan membuat kesempatan-kesempatan investasi yang menguntungkan menjadi sangat langka sehingga investasi domestik pun tidak dapat muncul. Selain itu masuknya investasi asing bersama para pekerja-pekerja asing tersebut terlah mendorong meningkatnya gaya hidup masyarakat serta konsumsi barang-barang mewah dari golongan berpenghasilan tinggi yang mengalihkan potensi tabungan domestik menjadi kegiatan yang konsumtif. Atau dengan kata lain dapat kita simpulkan bahwa investasi asing yang pada mulanya diharapkan untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang justru menjadi penghambat proses pembangunan itu sendiri.

Dari serangkai fakta-fakta maupun pandangan-pandangan yang telah diungkapkan di atas haruslah membuka “kacamata kuda” ekonomi kita. Haruskah kita terus mengantungkan nasib kita kepada investasi-invetasi asing itu bila terbukti bahwa efek negatif lah yang lebih banyak diberikan daripada sisi positifnya. Membangun kemandirian ekonomi jelas harus menjadi solusi serta tujuan jangka panjang ekonomi kita tidak dengan mencoba melarikan diri dengan solusi-solusi sesaat yang cenderung menyesatkan.

Mengembalikan Harga Diri Seorang Buruh

Seakan-akan sudah jadi rutinitas bagi seorang buruh untuk turun ke jalan berdemonstrasi setiap tahunnya menuntut kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Walau begitu tetap saja setiap tahun tidak pernah ada wajah-wajah yang tersenyum menerima keputusan dari gubernur atas UMR yang telah direvisi. UMR benar-benar didefiniskan sebagai kebutuhan hidup minimum bagi seorang buruh. Mereka dianggap hanya perlu makan, minum, ongkos pulang-pergi, serta berbagai kebutuhan fisik yang paling dasar lainnya. Tak pernah dianggap mereka memiliki keluarga yang perlu diberi makan juga, mereka memiliki anak yang perlu bersekolah yang kini semakin mahal, mereka butuh hiburan untuk menjaga keseimbangan fisik dan psikologinya. Mereka hanya dianggap tidak lebih sebagai “ternak” yang cukup disumpal perutnya dengan makanan. Sebuah penghargaan yang ironis mengingat merekalah yang menghasilan “nilai tambah” bagi perusahaan.

Sebenarnya apa yang menjadi sumber masalah sehingga UMR di Indonesia tidak dapat mencapai angka yang layak. Kalau kita bicara secara moralitas tentu karena para pengusaha ingin mengantungi profit yang besar sendirian sehingga upah buruh haruslah terus ditekan ke titik yang paling rendah untuk semakin memperbesar “nilai surplus” dari para buruh yang akan diserap. Namun bila kita harus bicara secara teoritis tentulah rendahnya UMR ini akibat “over supply” tenaga kerja. Untuk apa membayar upah yang besar bila di bayar Rp 500 rubu saja sudah ada yang mau bekerja. Untuk itulah UMR hanya akan meningkat secara signifikan apabila telah muncul kesadaran yang tinggi dari masyarakat bahwa hasil jerih payahnya haruslah dihargai dengan sepada sehingga tidak ada lagi ucapan “dari pada ngak dapat sama sekali berapun dibayar bolehlah”.

Masih rendahnya pendidikan mayoritas masyarakat Indonesia tentu yang mendasari rendahnya ekspektasi mereka terhadap pengembalian hasil usahanya. Tentu saja kita, para mahasiswa, tidak ada yang mau dibayar “hanya” sebesar UMR, apalagi mereka yang bersekolah di laur negeri tentu pula meminta upah yang luar biasa juga. Hal ini semakin menegaskan bahwa pendidikan tetaplah merupakan masalah utama yang harus segera diatasi sehingga sudah saatnya kita mulai untuk merubah paradigma pembangunan dari pembangunan fisik berupa infrastruktur menuju pembangunan mental lewat pendidikan. Harusnya kita belajar dari jepang bagaimana usai hancur lebur akibat kalah perang hal utama yang pertama kali dibangun adalah pendidikan hingga akhirnya membuat mereka memimpin perekonomian dunia. Sebuah hal yang sangat bertentang dengan apa yang kita lakukan bahkan hingga kini wajib belajar sembilan tahun masih merupakan mimpi bagi sebagian besar anak-anak Indonesia, sebuah mimpi yang lebih utopis dibandingkan menyaksikan gedung-gedung tinggi serta jalan-jalan layang yang bertebaran di setiap pelosok negeri.

Lalu bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Hal yang paling mungkin tentu lewat asuransi sosial bagi para penganguran dimana ini akan sangat efektif untuk menekan jumlah penawaran tenaga kerja pada tingkat upah yang rendah. Namun yang harus ditegaskan bahwa asuransi ini tidaklah boleh cuma-cuma, karena di Indonesia harus kita akui semua orang ingin menjadi “free-rider”. Oleh karena itu asuransi ini haruslah dikompensasikan lewat kerja-kerja sosial seperti menjadi petugas pengangkut sampah kota yang saat ini menjadi masalah utama di setiap kota-kota besar. Hal ini tidak akan menjadi masalah apabila asurnasi yang diberikan lebih besar daripada UMR konvensional, apalagi pekerjaan ini tidak mengikat, yakni si pekerja sosial bebas pergi bila menemukan pekerjaan yang lebih layak baginya. Selain itu masih banyak jenis pekerja yang dapat disediakan seperti petugas tata kota, ataupun menjadi pengawai-pegawai honorer pemerintahan.

Lantas yang jadi pertanyaan kembali pasti apakah pemerintah sanggup membiayai asuransi tersebut. Tentu Bisa, bukankan pada saat presiden SBY mengeluakan PP no 37, dalam seketika pula APBD-APBD di seluruh kabupaten/kota langsung dengan begitu saja menganggarkan puluhan hingga ratusan miliyar rupiah untuk dana rapelan para anggota dewan yang terhormat itu, hal ini belum lagi termasuk puluhan miliyar yang diberikan kepada klub-klub sepak bola yang mengeksploitasi fanatisme kedaerahan namun hanya dinikmati oleh 30 orang pemain dan pengurus. Hal ini semakin mengaskan bahwa permasalahan pemerintah kita hanyalah pada masalah komitmen untuk menyejahterakan masyarakat umum bukan menyejahterakan pribadi-pribadi. Bayangkan apabila asuransi tersebut sebesar RP 1 juta saja dengan dana yang sama untuk membayar rapelan para anggota DPRD itu saja sudah dapat mempekerjakan ribuan pekerja sosial dan bila dilakukan diseluruh negeri tak hayal bila jutaan pekerja sosial dapat ditampung lewat asuransi ini. Akhirnya penawaran pada sektor buruh akan turun dan upah juga meningkat, selain itu dana APBD ataupun APBN tidak terbuang percuma karena para penerima asuransi tersebut memberikan konstribusi langsung bagi dalam membantu peran-peran pemerintahan tidak seperti Bantuan Langsung Tunai.

Satu pertanyaan lagi tentu apakah para pengusaha ataupun perusahaan akan mampu membayar upah yang lebih tinggi. Kembali tentu bisa, lihat saja saat ini berbagai perusahaan melakukan ”perang iklan” dengan dana yang bergitu jor-joran. Adaikan saja sebahagian dari dana iklan itu dialokasikan kepada yang seharusnya menerima, dalam hal ini para buruh, maka bukan mustahil upah akan lebih besar. Selain itu upah merupakan salah satu komponen makroekonomi sangat penting. Upah akan membentuk daya beli masyarakat yang kemudian membentuk permintaan agregat. Upah yang lebih tinggi akan membuat permintaan yang lebih besar dan tentu itu akan membentuk iklim usaha yang lebih baik bagi para pengusaha. Sehingga semua akan diuntungkan baik buruh, pengusaha, pemerintah, bahkan masyarakat akan lebih teratur.

Tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, tinggal bagaimana kita semua bersikap bijak dan tidak memandang rendah golongan tertentu serta tidak bersikap membeda-bedakan hanya karena mereka berbeda suku, ras, agama, ataupun patron politiknya. Mengembalikan harga diri seorang buruh juga harus segera kita laksanakan. Karena sesuai apa yang disebutkan oleh Adam Smith bahwa tidak akan makmur sebuah masyarakat apabila masih banyak orang-orang miskin di dalamnya, maka tidak akan makmur pulalah Indonesia apabila para buruhnya masih hidup dibawah bayang-bayang kemiskinan.

Paradoks Biofuel : Sebuah Parodi Ekonomi Indonesia

Ada sebuah kisah tentang dua orang bocah bernama Indo dan Malay yang keduanya masih beusia muda, 6 tahun. Suatu ketika mereka bertemu dengan seorang professor yang sangat cemerlang, yaitu professor Amrik. Tentu saja sang professor memiliki keunggulan yang berbeda dengan kedua bocah tersebut walaupun secara absolut ia unggul segala-galanya. Katakanlah ada dua keunggulan dari seorang manusia yakni kepintaran dan waktu luang. Sang professor yang lebih tua tidak hanya lebih pintar namun juga ia memiliki waktu luang yang lebih besar karena seorang bocah memerlukan waktu istirahat yang lebih lama dibandingkan si professor yang sedang dalam usia produktifnya.

Namun si professor selalu teringat ajaran dari seorang maestro ekonomi ternama dari zaman klasik, David Ricardo. Di mana Ricardo mengungkapkan walaupun secara absolut salah satu pihak unggul dalam segala hal namun apabila ia memfokuskan dirinya dalam hal yang terbaik yang dapat ia lakukan, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua belah pihak. Doktrin ini selalu melekat di dalam pikiran sang professor dan ia ingin menerapkannya kepada kedua bocah yang ia temui. Oleh karena itu sang professor pun menawarkan sebuah transaksi kepada sang bocah.

“Saya akan mengajarkan kamu selama satu jam apabila kamu mau bekerja memenuhi kebutuhan saya selama tiga jam.” Begitulah kata sang professor kepada bocah-bocah itu. Transaksi ini bila dilihat secara sekilas memang menguntungkan karena untuk kapasitas seorang bocah, ia akan memerlukan waktu yang lebih lama yakni sekitar 5 jam untuk mengetahui apa yang diberitahu oleh sang professor selama 1 jam karena ia harus memulai dari belajar membaca. Maka baginya akan lebih baik bekerja membantu professor selama tiga jam kemudian mendengarkannya selama satu jam atau ia hanya akan kehilangan 4 jam untuk satu pengetahuan, lebih cepat satu jam daripada ia belajar sendiri. Begitu juga dengan sang professor, karena apabila ia harus melakukan pekerjaan itu sendiri, 3 jam bekerja sang bocah, ia memerlukan waktu selama dua jam atau lebih lama dibandingkan dengan mengajarkan si bocah selama satu jam saja namun pekerjaannya dilakukan oleh si bocah. Artinya bila kita lihat secara sekilas keduanya akan diuntungkan dengan menghemat waktu masing-masing satu jam daripada melakukan kegiatan itu sendiri-sendiri.

Indo dengan begitu lugunya langsung menerima tawaran sang professor namun sebaliknya Malay setelah merenungkan tawaran tersebut justru menolak tawaran itu dan memutuskan melakukan segalanya dengan sendiri. Apa yang akan terjadi? Apakah Indo akan menjadi lebih pintar daripada Malay? Pada awalnya jawabanya adalah ya. Indo menjadi lebih pintar karena untuk satu pengetahuan yang sama ia memerlukan waktu yang lebih singkat yakni 4/5 dari Malay maka tak heran bila Indo mendapatkan pengetahuan yang lebih dari Malay (kita asumsikan kedua bocah memiliki alokasi waktu yang sama sehari dan tidak ada yang malas atau menyia-yiakan waktunya untuk keperluan diluar belajar dan bekerja). Namun setelah berjalan selama beberapa bulan keadaan kini justru berbalik, Malay lah yang menjadi lebih pintar daripada Indo. Mengapa bisa? Bukankah Indo unggul dalam waktu mempelajari satu pengetahuan lalu mengapa ia bisa kalah dari pada Malay?

Hal yang selalu luput oleh kita adalah proses perkembangan. Kita selalu mengingat jalan pintas akan selalu lebih baik untuk selamanya. Begitu juga dalam kasus Indo dan Malay ini. Indo selalu ingin melewati jalan pintas yang hanya memberikan kenikmatan sesaat tanpa pernah mau untuk berusaha dapat mandiri dalam memperoleh pengetahuan. Indo akan selalu mengalami ketergantungan kepada Amrik untuk mengajarkannya karena satu-satunya sumber pengetahuaannya adalah sang professor. Sebaliknya Malay memulai usahanya dengan merintis sebuah pembaharuan dengan memulai belajar membaca agar nantinya ia bisa mandiri. Dan akhirnya setelah dapat membaca sendiri Malay yang tadinya memerlukan waktu selama 5 jam untuk dapat memahami satu pengetahuan kini hanya memerlukan waktu dua jam untuk memahami satu pengetahuan. Hal ini membuat Malay yang dahulu tertinggal 4/5 jam dari Indo untuk memahami satu pengetahuan kini ia justru unggul 2/4 jam dari Indo untuk memahami satu pengetahuan. Sehingga wajar Malay kinipun menjadi lebih pintar dari pada Indo.

Selain itu apa yang akan terjadi bila sang professor mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak bisa mengajar lagi, tentu celaka bagi Indo karena ia kehilangan satu-satunya sumber pengetahuannya dan ia akan semakin sulit untuk mendapatkan pengetahuaan dan semakin tertinggal dari Malay. Maka harus kita akui sebuah pantun yang berbunyi ”Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang kemudian.” adalah satu semboyan yang tidak bisa kita abaikan. Bagaimana perjuangan Malay dalam merintis kemampuannya untuk mencari pengetahuan lebih berat dari pada yang dilakukan oleh Indo karena ia harus membuang waktu yang lebih lama, namun sakit yang ia rasakan dahulu kini justru membawa kebahagiaan padanya. Sedangkan bagi Indo yang tidak mau repot, selamanya ia akan seperti itu tidak akan merasakan hidup yang lebih baik. Inovasi yang dilakukan oleh Malay dengan belajar membaca membuatnya kini mampu mengalahkan Indo dan akan menikmati kehidupan yang lebih baik sebagai imbalan atas kerja kerasnya di masa yang lalu.

Dari kisah yang dipaparkan di atas ada satu hal yang harus kita pahami, bahwa memang perdagangan dalam jangka pendek akan membawa keuntungan daripada menyediakan barang-barang yang ada dengan sendiri (tanpa melakukan perdagangan). Hal ini dapat dilihat dari Indo yang melakukan perdagangan dengan sang professor dapat memahami satu pengetahuan dengan lebih cepat daripada Malay yang memutuskan untuk belajar secara mandiri tanpa melakukan perdagangan dengan sang professor. Namun yang kita lupa yang membuat Malay membutuhkan waktu yang lebih lama daripada Indo adalah kondisi awal yang memang tidak mendukung bagi Malay untuk memperoleh pengetahuan dengan cepat sedangkan hambatan bagi Indo adalah ia harus membantu sang professor untuk mengerjakan kebutuhannya.

Inilah yang sering terlupakan bahwa hambatan Malay adalah bersifat Internal (dari dalam dirinya sendiri) yakni ketidakmampuannya untuk membaca yang merupakan sarat penting untuk memperoleh pengetahuan, namun hambatan ini dapat diselesaikan oleh Malay dengan belajar membaca. Dimana selanjutnya apabila ia sudah dapat membaca maka hambatan yang tadinya harus dihadapi akan hilang dengan sendirinya. Sedangkan bagi Indo ia menghadapi hambatan yang bersifat eksternal (dari luar dirinya) yakni hambatan yang diperolehnya akibat ia melakukan perdagangan dan hambatan ini akan selalu ada dan baru akan hilang bilang Indo menghentikan perdagangannya dengan sang professor. Namun bila Indo memutuskan untuk menghentikan perdagangan untuk menghilangkan hambatan tersebut justru hambatan lain lah yang akan dihadapinya yakni hambatan Internal (ketidakmampuannya untuk membaca).

Tapi bukankan dengan bertambah dewasanya Indo maka hambatannya akan sedikit berkurang? Bukankah bila Indo semakin dewasa untuk membantu sang professor yang tadinya memerlukan waktu tiga jam akan menjadi lebih singkat yakni hanya dua jam seperti sang professor mengerjakan pekerjaannya sendiri? Ya memang benar namun disaat bersamaan Malay yang tadinya memerlukan waktu dua jam untuk mendapatkan satu pengetahuan kini dengan bertambah dewasanya ia, ia juga akan dapat memahami pengetahuaan sama dengan sang professor yakni hanya satu jam untuk satu pengetahuan. Artinya Indo tetap akan terus tertinggal dari Malay karena ia masih saja mengantungkan nasibnya untuk memperoleh pengetahuan kepada sang professor. Hal ini belum lagi termasuk resiko bila sang professor mengalami kecelakaan atau tidak lagi dapat mengajar, dimana resiko ini hanya akan ditanggung oleh Indo karena untuk mendapatkan pengetahuaan ia membutuhkan sang professor namun bagi Malay yang memperoleh pengetahuan secara mandiri apapun yang terjadi kepada sang professor tidak akan mempengaruhinya untuk memperoleh pengetahuaan.

Bila hal ini kita kaitkan kedalam perekonomian secara nyata hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap perdagangan hanya akan membawa keuntungan yang bersifat sesaat apalagi bila kita hanya meproduksi barang-barang dasar yang tidak memiliki Value Added (dalam cerita diatas adalah waktu luang yang digunakan untuk membantu sang professor). Karena barang-barang dasar tersebut pada hakikatnya adalah sesuatu yang stagnan atau tidak dapat berkembang berbeda dengan produk-produk industri yang terus berkembang dan bersifat awet (dalam cerita diilustrasikan sebagai kepintaran). Kejadiaan inilah yang harus kita renungi bahwa kita (bangsa Indonesia) dalam perekonomian dunia adalah pemasok barang-barang dasar dan pembeli barang-barang industri. Inilah yang membuat mengapa perdagangan bagi kita menjadi sesuatu yang kurang menguntungkan.

Maka apabila kita memetik pelajaran dari kisah yang dipaparkan diatas yang harus kita lakukan adalah melakukan subtitusi impor yakni mulai membangun industri-industri yang menghasilkan barang-barang kebutuhan yang selama ini kita impor. Memang subtitusi impor ini akan menghabiskan biaya yang lebih mahal sama seperti yang dilakukan oleh Malay ketika ia memutuskan untuk belajar secara mandiri (yakni melakukan subtitusi impor terhadap belajar membaca). Namun apabila hal ini telah dilaksanakan dengan sepenuhnya justru keuntungan yang akan diperoleh, dimana biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perdagangan (baik biaya transportasi, tariff, cukai, maupun biaya lainnya) akan dapat ditekan bahkan dihilangkan sama sekali. Selain itu pendapat pajak bagi negara juga akan turut membesar. Yang harus kita sadari bahwa keunggulan baik komparatif maupun kompetitif tidaklah hanya segala sesuatu yang disediakan oleh alam untuk kita.

Keunggulan adalah sesuatu yang harus diciptakan sendiri bukan diterima dengan pasrah. Seorang bayi tentu tidak tahu akan keunggulannya namun membentuknya dengan belajar. Begitu pula bagi sebuah negara bahwa keungggulan merupakan sesuatu yang harus diciptakan yakni dengan membangun industri nasional. Bahkan mungkin Jepang 100 tahun yang lalu tidak menyadari apa keunggulannya dengan keadaan alam yang tidak menguntungkan. Namun mereka membentuknya yakni dengan membangun sektor industri automotif tanpa memperdulikan keunggulan alamnya. Maka jelas bahwa untuk menciptakan keunggulan bukanlah hanya dengan mengeksploitasi kekayaan alam seperti yang kita (Indonesia) lakukan saat ini, tetapi lebih jauh dengan membangun sektor-sektro industri nasional yang padu.

Rencana pemerintah untuk berspesialisasi dalam pembuatan CPO (Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan dasar bagi pembuatan biofuel tentu harus ditinjau dengan lebih dalam. Karena untuk meningkatkan produksi CPO tersebut tentu diperlukan pengembangan pada lahan-lahan perkebunan kelapa sawit yang akan menganggu keseimbangan ekosistem. Pada tahun 2006 saja luas lahan yang digunakan untuk menanam kelapa sawit sudah mencapai 5,4 juta ha (angka ini belum lagi termasuk luas lahan bekas perkebunan sawit yang telah ditinggalkan dan tidak dapat dipergunakan lagi). Yang jadi masalah adalah walaupun secara bisnis perluasan lahan kelapa sawit akan memberi keuntungan namun hal ini akan merugikan aspek-aspek lingkungan dan sosial. Karakteristik kelapa sawit yang sangat haus akan air, sulit membusuk serta membutuhkan pupuk dalam jumlah yang besar akan membuat daya serap air dari lingkungan akan menurun. Selain itu karena sulit membusuk, menurut penelitian yang ada kelapa sawit hanya dapat melalui dua kali masa tanam. Artinya diperlukan lahan-lahan baru untuk mengantikan lahan-lahan lama yang tidak lagi bisa digunakan untuk jenis tanaman apapun lagi. Atau dapat kita katakan kelapa sawit akan membawa degradasi terhadap kualitas lingkungan dan akan memperbesar resiko terjadinya bencana-bencana alam seperti banjir dan longsor yang mulai menghantui wilayah pulau Sumatera yang saat ini merupakan sentra kelapa sawit Indonesia bersama dengan pulau Kalimantan. Maka dapat jadi bukan untung yang diperoleh namun justru buntung karena untuk mengatasi bencana-bencana tersebut dibutuhkan dana yang tidak sedikit pula.

Diluar aspek lingkungan tersebut yang patut diperhatikan adalah apakah dengan memutuskan berspesialisasi dalam memproduksi kelapa sawit akan membawa keuntungan dalam jangka panjang mengingat harga-harga bagi barang-barang dasar dalam pasar internasional adalah sangat labil. Selain itu menurut hasil pengamatan kelompok Sinar Mas, Investasi dalam perkebunan kelapa sawit seluas 2 juta ha akan memberi devisa terhadap negara sebesar 87,5 miliar dollar AS selama 25 tahun atau hampir sepuluh kali dari nilai investasi awal. Namun 56% dari 919 proyek investasi perkebunan sawit merupakan investasi asing. Artinya hanya setengahlah yang akan jatuh untuk kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini belum lagi bila kita menghitung besar impor yang kita lakukan terhadap barang-barang akhir dari kelapa sawit seperti kosmetik, minyak goreng hingga shampo membuat secara umum perdagangan kelapa sawit tidaklah menguntungkan dari sisi ekonomi secara menyeluruh (hanya akan menguntungkan bagi pemodal-pemodal perkebunan kelapa sawit).

Maka yang harusnya menjadi fokus perhatian bagi kita adalah bagaimana membangun industri-industri pengelolaan-pengelolaan bahan-bahan dasar tersebut di dalam negeri atau dalam rencana pengembangan biofuel adalah dengan membangun kilang-kilang pengelolaan CPO menjadi biofuel. Jangan sampai biofuel yang tadinya diharapkan menjadi sumber bagi devisa negara justru menjadi beban APBN seperti yang kita rasakan terhadap produk minyak bumi saat ini. Akibat ketidakmampuan atau mungkin ketidakmauan kita mengolah minyak bumi menjadi bahan bakar secara mandiri membuat kita mengalami ketergantungan terhadap perdagangan minyak dunia yang pada akhirnya membuat bangsa Indonesia yang merupakan penghasil minyak justru harus menerima harga internasional bagi pasar domestiknya. Suatu hal yang tidak perlu terjadi apabila minyak-minyak itu diolah secara mandiri. Begitu pula dengan biofuel, bukan memperbanyak sawit yang diproduksi yang akhirnya hanya bisa kita ekspor karena tidak dapat diolah di dalam negeri, namun mengembangkan industri pengolahan CPO adalah lebih penting.

Jangan sampai perekonomian kita selamanya akan menjadi apa yang disebut oleh bung Hatta sebagai ”export economy” yang merupakan cermin perekonomian dari bangsa-bangsa yang terjajah. Ketakuatan akan kegagal subtitusi impor seperti yang pernah dilakukan oleh rezim orde baru tidaklah boleh dijadikan alasan untuk menutup mata terhadap proses subtitusi impor ini. Bukankah Kapitalisme sebagai sistem ekonomi telah berulang kali mengalami kegagalan dengan terjadinya berbagai depresi sepanjang sejarah ia digunakan oleh umat manusia? Lalu mengapa saat ini kita tidak juga merasa ”kapok” menggunakannya justru semakin bersemangat mengembangkannya?.

Yang harus kita tekankan bahwa rezim orde baru dijalankan dengan sistem kroni yang tidak demokratis termasuk dalam bidang ekonomi dimana industri-industri subtitusi itu dikuasai oleh kerabat penguasa yang dijalankan dengan tidak efisien sehingga wajar menghadapi kegagalan. Dengan iklim demokrasi yang saat ini berkembang maka sudah saatnya kita kembali melirik kepada pengembangan industri-industri subtitusi tersebut sehingga pada akhirnya kita dapat menjapai sebuah bangsa yang benar-benar merdeka baik secara politik, hukum, maupun ekonomi. Mengembangkan industri nasional adalah satu keharusan untuk menghadapi perkembangan dunia bukan justru menutup mata atas ketertinggalan dan menerimanya dengan pasrah sebagai negara pengekspor barang-barang metah seperti Indo yang merelakan tenaganya hanya untuk satu pengetahuaan membuatnya tidak mengalami kemajuan, berbeda dengan Malay yang membangun kemandiriaannya.

Hal mengingatkan kita pada pandangan Friedrich List yang mengatakan bahwa kemakmuran suatu bangsa tidaklah bertambah besar dengan menumpuk harta lebih banyak, melainkan dengan membangun tenaga produktif yang lebih banyak. Artinya kemakmuran sebuah bangsa bukanlah dengan menyerap uang/emas lebih banyak dengan menjual produk-produk ke luar negeri (ekspor) namun justru membangun sektor-sektor yang dapat menghasilkan barang-barang bernilai tambah yakni tentulah industri-industri domestik. Bukankah sebatang pohon yang berbuah akan jauh lebih bermanfaat daripada buahnya itu sendiri?....