Selasa, 19 Agustus 2008

KITA BELUM MERDEKA : SEBUAH RENUNGGAN KEMERDEKAAN

Dalam sejarah tanggal 17 Agustus 1945 boleh jadi dikatakan sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tanggal tersebut secara politik bangsa Indonesia yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun benarkah 63 tahun setelah hari proklamasi bangsa ini benar-benar sudah merdeka? Atau kita sebenarnya tidak lebih sebagai Negara jajahan yang bebas berteriak-teriak akan demokrasi semu?.

Mari kita melihat kembali sejarah penjajahan Indonesia yang selama 3,5 abad dijajah oleh Belanda. Pada hakikatnya penjajahan yang dilakukan oleh belanda melalui VOC bukanlah merupakan penjajahan politik namun merupakan penjajahan ekonomi melalui monopoli perdagangan rempah-rempah. Dapat kita bilang secara politik dan kedaulatan wilayah saat itu pemerintahan-pemerintahan setempat dalam hal ini kerajaan-kerajaan nusantara masih berdiri dan diakui baik secara de jure ataupun de facto oleh VOC, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadi mitra VOC dalam menindas rakyat.

Bila kita lihat secara mendalam pola-pola penjajahan Belanda yang sukses dan bertahan sangat lama di Indonesia salah satunya adalah dengan memperdayakan para “pemimpin” menjadi “penguasa”. Di mana pada akhirnya penjajah dan penguasa bekerja sama dalam melawan rakyat dan menindas mereka dengan mengutip upeti atau yang kita kenal sebagai pajak pada masa modern ini dan membiarkan rakyat menjalankan proses “Tanam Paksa” yang menyengsarakan itu.

Hasilnya tentu akan dibagi dua, sebagian untuk penguasa sebagian untuk penjajah. Penjajah semakin kaya untuk memajukan negerinya, penguasa semakin kaya untuk berfoya-foya. Hal tentu belum lengkap bila belum diikuti dengan “obat penenang” yang bernama Agama. Agama menjadi jurus yang paling ampuh untuk meredam semangat perlawanan. Agama-agama “taklit” ini membuat rakyat terus memikirkan surga dan neraka hingga lupa akan realita sosial yang terjadi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu dengan turut menjadikan ulama (pemimpim agama) sebagai penguasa juga, yakni penguasa agama, penguasa kebenaran yang tidak boleh di bantah. Yang akhirnya membuat agama yang rasional dan setiap orang seharusnya dapat secara mandiri mengapai Tuhan-nya menjadi agama perasaan yang bertumpu pada elite-elite agama, para penguasa agama dan penentang mereka langsung di cap kafir.

Sehingga dapat kita lihat walaupun ada beberapa perlawaan yang dilakukan oleh kaum agama itu di dasarkan atas nama pelecehan agama bukan sebagai bentuk perlawanan atas penindasan dan pelanggaran hak hidup manusia. Dimana perlawanan yang terjadi hanya karena ada pemaksaan menghormat ke arah matahari yang mereka anggap sebagai “syirik” bukan karena penjajah itu telah menindas dan merenggut kesejahteraan masyarakat. Budaya inilah yaitu dengan memperdayakan para pemimpin sebagai penguasa yang membuat penjajahan bisa awet di negeri ini.

Berbeda dengan masa penjajahan Jepang yang hanya seumuran jagung. Kegagalan Jepang yang menopoli kekuasaan bukan ekonomi membuat timbul perlawanan para pemimpin untuk merebut kekuasaan tersebut. selain itu kesalahan Jepang yang kedua ia tidak menjadikan agama sebagai ajaran sakral yang boleh disentuh seperti pada masa Belanda. Akhirnya perlawanan terhadap penjajah semakin memuncak pada masa penjajahan Jepang akibat kegagalan mereka melaksanakan budaya penjajahan halus yang berhasil dilaksanakan oleh penjajah terdahulu.

Yang akhirnya pada puncaknya tanggal 17 Agustus Indonesia memproklamasikan kekuasaan atas bangsa dan menendang kekuasaan Jepang. Namun apakah proklamasi kekuasaan itu seperti yang tertulis dalam teks proklamasi “ dan hal-hal lain yang menyangkut pemindahan kekuasaan akan dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” telah mengakhiri penjajahan di Indonesia? Apakah benar kita telah merdeka secara hakiki atau justru kemerdekaan kita hanya pada konteks kekuasaan saja?.

Coba kita perhatikan secara mendalam kondisi bangsa Indonesia saat ini atau pada masa pemerintahan yang lampau. Sudahkah kita mandiri secara ekonomi? Sudahkah kita mampu mengambil keputusan tanpa campur tangan pihak lain? Bila kita renungkan secara mendalam dan dengan hati yang bersih tentu kita akan menjawab kita belum merdeka, kita masih dijajah, tidak ada yang berbeda saat ini dengan masa-masa penjajahan VOC (Belanda) pada ratusan tahun yang lalu. Yang berbeda hanya pada varian dan lembaga serta kedoknya saja.

Kalau dahulu kita lihat bagaimana seluruh rempah-rempah dikuasai oleh VOC atau kita sebut sebagai pihak asing apa bedanya dengan penguasaan sumber daya alam baik migas ataupun pertambangan yang pada saat ini dikuasai oleh pihak asing (lihat artikel Merdeka: Mereka Mendikte Kita!). Kita saksikan saat ini perusahaan-perusahaan Negara seperti Pertamina hanya jadi penonton atau kita sebut sebagai “penguasa” yang mendapatkan upeti berupa bagi keuntungan dari joint operation (persekutuan dengan penjajah). Yang akhirnya dana tersebut digunakan untuk “berfoya-foya” melalui bentuk baru yakni gaji besar ditambah korupsi lagi. Bagaimana pula kita saksikan perusahaan-perusahaan anak bangsa seperti PT Medco harus mengais-gais sumur minyak sampai ke jazirah arab sedangkan sumur-sumur di negeri sendiri diserahkan kepada pihak asing yang tidak bertanggung jawab kepada lingkungan sosial sekitarnya. Banyak kasus pencemaran yang mereka lakukan seperti kasus newmont di teluk buyat akhirnya diselesaikan dengan cara “damai suap” atau istilah kerennya cost recovering.

Hal ini tidak hanya berlaku pada sektor sumber daya alam saja bisa kita lihat dari mulai makanan, pakaian, hingga bahasapun tidak lepas dari penjajahan asing ini. Perubahan budaya dengan kedok globalisasi yang justru menjadi “westrenisasi” tak jauh beda dengan gaya-gaya Belanda yang memaksakan budayanya bahkan agamanya sekalipun.

Tidak hanya masalah-masalah monopoli ekonomi yang kembali terjadi penjajahan politikpun kembali muncul melalui lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, ADB, dll. Bagaikan laskar kompeni yang melawan kerajaan-kerajaan nusantara dan kerajaan yang kalah diwajibkan menandatangani perjanjian-perjanjian yang hanya akan menguntungkan sang penjajah saja. Lembaga-lembaga internasional tersebut datang membawa petisi-petisi bantuan yang mereka sebut sebagai program bantuan bagi Negara-negara yang kalah akibat ekonominya koleps diserang spekulan-spekulan pasar yang bisa kita identikkan dengan tentara-tentara VOC.

Program bantuan itulah yang akhirnya membuat Negara-negara yang kalah akan terus terjajah. Program bantuan yang berbentuk utang tersebut tentulah disertai dengan bunga yang tinggi yang akhirnya Negara-negara penerima utang tidak dapat mengembalikannya karena uang dari utang tadi digunakan untuk program “pembangunan” infrastruktur guna mendukung iklim investasi bagi investor-investor asing. Akhirnya untuk menutupi utang-utang tersebut Negara terpaksa menjual perusahaannya satu persatu kepada pihak asing tentunya dengan harga yang murah ,agar rasional dijual mereka dilabeli sebagai perusahaan-perusahaan yang “Sakit” dan dengan diembel-embeli tujuan yang seakan-akan mulia mengembangkan ekonomi pasar.

Akhirnya karena terbelit utang maka satu-satunya cara adalah dengan membuat utang baru atau kita kenal dengan metode gali lubang tutup lubang. Namun karena saat ini dalam keadaan terdesak, utang-utang tersebut diembel-embeli dengan program-program politik ataupun ekonomi seperti yang dipraktekkan oleh IMF yang mensyaratkan berbagai program seperti liberalisasi perekonomian dan privatisasi perusahaan-perusahaan Negara.

Tidak hanya sampai pada titik itu saja, saat ini penjajahan mereka jauh lebih manusiawi melalaui penjajahan pendidikan yang sebenarnya merupakan penyempurnaan “Politik Etis” penjajahan Belanda dahulu. Kalau dulu kita mengenalnya sebagai Irigasi, Transmigrasi dan edukasi, kita telah melihat saat ini dimodifikasi menjadi Irigasi sebagai penyaluran utang kepada Negara terjajah yang menjadi pengikat ketergantungan dan Transmigrasi sebagai perpindahan aset baik sumber daya alam dan perusahaan-perusahaan dari kepemilikan Negara ataupun domestik menjadi kepemilikan global atau asing. Dan yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar proses penjajahan ini tidak mendapat perlawanan yakni dengan menyebarkan pendidikan (edukasi) yang akan membutakan pandangan masyarakat bahwa ia sedang dijajah.

Salah satu cara yang paling aman dan mudah adalah dengan merusak pola pikir masyarakat tentang apa itu keadilan. Bagaimana pada awal orde baru begitu giatnya pemerintah Amerika menawarkan beasiswa kepada para ekonom Indonesia yang setelah itu menjadi menteri-menteri perekonomian dan menerapkan apa yang telah diajarkan kepada mereka yakni kebebasan pasar yang selanjutnya generasi ini kita mengenal mereka sebagai mafia Berkeley yang masih ada bahkan masih menguasai pemerintahan hingga saat ini.

Bagaimana saat ini perguruan-perguruan tinggi sibuk menengakkan apa yang mereka sebut “Invisible Hands” dan mengecam pemerintah agar tidak mencampuri ekonomi untuk tidak melindungi masyarakat dari ancaman kebuasan pasar. Bagaimana mereka mempropagandakan campur tangan pemerintah seperti subsidi sebagai bentuk pemborosan daripada kewajiban pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya. Dan mereka yang saya sebut sebagai “Dosen Neolib” selalu menekakankan bagaimana pentingnya peranan investor asing dalam perekonomian kita dan perusahaan-perusahaan Negara harus diprivatisasi.

Tidak hanya sampai disitu saja para Dosen Neolib itu terus saja mengagung-agungkan globalisasi bersama pasar bebasnya walaupun mereka tau bahwa itu tidak akan menguntungkan Indonesia karena asumsi-asumsinya mustahil terpenuhi. Namun walau begitu mereka justru menyalakan bangsa ini karena tidak dapat bersaing dalam perkonomian global tapi mereka menolak Negara melakukan proteksi untuk melindungi rakyatnya yang tidak mampu bersaing itu. Apa sih yang mereka inginkan?

Pentingnya perekonomian yang terintegrasi kepada perkonomian global membuat mereka memaksakan paham “Spesialisasi” yang diambil dari teori “Keunggulan Relatif” yang dikemukakan oleh David Ricardo. Bagaimana menurut mereka Negara seharusnya menspesialisasikan produk yang diproduksi sesuai dengan keunggulan relatifnya tanpa harus memperhatikan apa yang sesungguhnya sangat dan benar-benar dibutuhkan oleh rakyatnya. Yang nantinya produk yang dispesialisasikan itu akan dijual kepada pasar internasional dan membeli barang-barang lain yang dibutuhkan dalam pasar internasional tersebut.

Kalau kita perhatikan dengan lebih seksama lagi dapatkah kita melihat kesamaan konsep “Spesialisasi” ini dengan “Tanam Paksa”? bukankah “Tanam Paksa” yang dilakukan oleh penjajahan Belanda membuat petani-petani Indonesia diwajibkan menanam kopi yang saat itu memiliki keunggulan relative. Yang akhirnya banyak petani-petani yang harus mati akibat kekurangan bahan pangan yang tidak boleh ditananam karena lahan mereka digunakan untuk menanam kopi yang dijual kepasar internasonal.

Maka dapat kita lihat bagaimana saat ini pendidikan kita yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi kini hanya menjadi pentransformasian dan pemaksaan ideology pasar bagai mahasiswa-mahasiswa bangsa ini. Perguruan tinggi yang seharusnya mengembangkan sistem pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa justru kini berbalik memaksa bangsa melalui mahasiswa-mahasiswanya untuk mengikutisistem global yang sudah kita tahu bakal merugikan kita yang pasti membuat kita tersisih bahkan terjajah karena penguasaan sumber daya dan teknologi kini telah dikuasai oleh segelintir orang yang terabung dalam Multinasional Coporates (MNCs).

Karena itulah dapat kita simpulkan bahwa kini kita masih belum merdeka. Kita masih terjajah, tidak hanya dalam masalah ekonomi, politik, bahkan kita telah terjajah secara pemikiran. Untuk itulah untuk dapat merebut kembali kemerdekaan yang selama ini kita cita-citakan sudah saatnya kita merebut kembali semua yang telah terebut dari kita.

Pertama kita harus kembali merebut aset-aset dan sumber daya alam kita dari penguasaan pihak asing. Selanjutnya kedua kita harus mampu membentuk pemerintahan yang mampu mandiri dalam mengambil keputusannya. Untuk itu utang masa lampau yang sebagian besar dilakukan oleh pemerintahan otoriter (Orde Baru) yang dapat kita sebut mengambil istilah Alexannder Nahum Sack bahwa utang itu adalah Utang Haram (Odious Debt). Sehingga pemerintahan saat ini tidak perlu membayarnya. Dengan begitu pemerintah akan mendapatkan tambahan dana untuk menyejahterakan rakyat dan tidak perlu lagi menuruti perkataan-perkataan pihak asing lagi.

Namun yang terpenting adalah bagaimana kita memerdekakan cara dan pola pikir kita untuk mengatakan tidak untuk semua penjajahan. Karena selama kita belum bisa melepaskan diri dari pemikiran yang terus mengagung-agungkan peranan asing (mental inlander) dalam kehidupan kita selama itu pula kita akan terus terjajah. Sudah saatnya kita hidup secara mandiri, sudah saatnya kita merdeka, merdeka 100%, merdeka sepenuhnya(&ri).

Pemimpin

Jumat ini terasa sedikit berbeda, hari ini pak ustad tidak berceramah tentang tanda-tanda orang munafik, apa itu ibadah, hingga masalah-masalah fiqih yang cenderu tuk dipaksakan, pak ustad justru berbicara tentang politik negara, yakni mengenai seorang pemimpin. Pak ustad bertanya-tanya tentang banyaknya iklan-iklan politik berbagai tokoh di televisis dewasa ini. Ada yang berkata ia adalah wakil petani, ada yang berkata ia membawa sebuah harapan baru, ataupun ada yang mengajak masyarakat untuk berbuat.

Menurut beliau bahwa tindakan ini adalah sebuah bentuk dari tindakan yang mubazir, bagaimana uang miliyaran rupiah dihabiskan hanya untuk ajang cari muka, alangkah baiknya pulalah bila uang tersebut di alokasikan untuk orang-orang yang kurang mampu hingga membantu dakwah agama. Padahal sudah sangat jelas bahwa perbuatan mubazir merupakan salah satu perbuatan yang dilarang agama dan termasuk orang yang berteman dengan setan.

Selain itu menurut beliau masyarakat sebaiknya berhati-hati atas orang-orang yang terlalu berambisi untuk menggapai kekuasaan, karena orang yang seperti ini cenderung tidak memperdulikan masyrakat yang dipimpinnya namun hanya peduli atas keberlangsungan kekuasaannya saja.

Untuk point-point itu aku sangat setuju dengan pak ustad, apalah gunanya seorang membuat iklan politik atas kedok personal branding. Karena bagiku ketokohan bukan muncul dari sebuah kebiasaan terlihat ditelevisi (karena itu lebih cocok untuk keselebritasan) namun lebih merupakan besarnya konstribusi seseorang terhadap masyarakat. Sehingga menurutku yang harus mereka lakukan bila ingin dianggap sebagai seorang tokoh nasional adalah melakukan sebuah kegiatan yang memiliki nilai bagi bangsa dan negara, bisa dengan menulis buku, bergiat dalam LSM ataupun parpol, ataupun sekedar menghidupkan kegitan diskusi. Cobalah mereka bagaimana Amien Rais, Hidayat Nurwahid, hingga Anies Bawedan mampu menjadi tokoh nasional tampa perlu beriklan pribadi.

Apakah mereka-mereka itu lupa bahwa masyarakat semakin pintar dalam memilih (seperti yang mereka sering katakan) dan tidak akan terjebak oleh iklan-iklan? Atau ini merupakan efek dari budaya serba instan, bahkan kini orang pun ingin menjadi pemimpin tanpa bernah berbuat namun hanya beriklan?.

Ya inilah indonesiaku, namun bukan berarti kita sebagai rakyat indonesia harus terjebak dalam budaya seperti ini, budaya kapitalisme bahwa hanya yang punya banyak uang saja yang dapat memimpi karena mampu beriklan. Apalagi kita masih banyak alternatif pilihan lain yang tidak berprilakuk mubazir dan terobsesi atas kekuasaan seperti yang muncul di televisi akhir-akhir ini seperti Fazoel Rahman, Sultan Hamengkubuono ataupun kandindat-kandindat lainnya.

Hanya ada satu pesanku untuk para pengobsesi kekuasaan. Kalau memang hidup adalah perbuatan, maka berbuatlah. Kalau memang ada harapan baru, maka tunjukanlah. Kalau memang dari mata seekor garuda, Indonesia adalah negeri yang kaya, maka buatlah ia terlihat dari mata seorang manusia. Kalau memang ingin memberikan konstribusi bagi bangsa dan negara, maka bertindak dan bergeraklah bukan dengan beriklan.

Kamis, 14 Agustus 2008

Merdeka! (Mereka Mendikte Kita!)

17 Agustus 1945 adalah tonggak bersejarah dimana bangsa kita merebut kemerdekaan dari penjajahan asing. Namun kini setelah 63 tahun masih saja banyak hal yang membuat kita meragukan hakikat kemerdekaan. Isu yang paling merisaukan di Indonesia dari dulu hingga sekarang tentulah mengenai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagaimana sebuah aset yang sangat pontensial telah menjelma menjadi sebuah malapetaka tersebar bangsa ini. BUMN tidak hanya menjadi penyedot anggaran yang sangat besar namun juga telah mengahambat perkembangan pasar akibat inefisiensinya. Padahal seharusnya BUMN menjadi sebuah stimulus perekonomian dan menjadi sumber pemasukan bagi negara. Hal ini telah menunjukan adanya sebuah kesalahan yang sudah sangat riskan dalam sistem BUMN di Indonesia.

Dalam sebuah kesalahan tentunya terdapat sebuah sumber penyebabnya, apakah kesalahan itu merupakan kesalahan sistem itu sendiri atau justru kesalahan pelaksana sistem. Dalam kecelakaan sebuah mobil dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena rem mobil yang tidak bekerja (sistemik) atau justru karena supir yang tidak sigap (pelaksanaan). Oleh karena itu perlu pulalah dicari sumber kesalahan dari kegagalan BUMN menjalankan fungsinya, apakah memang pemerintah tidak mampu menjalankan BUMN dengan benar atau justru karena sistem BUMN itu sendiri yang tidak memungkinkan ia berjalan maksimal?.

Salah satu masalah terbesar BUMN adalah besarnya ia menyedot anggaran negara, baik dalam bentuk kerugian ataupun subsidi. Namun sebenarnya bila kita membahas masalah tersebut sesungguhnya kita hanya membahas dua BUMN saja, yakni PLN dan Pertamina. Karena dari total kerugian BUMN, 75% nya disumbangkan oleh PLN. Sedangkan untuk masalah subsidi, 80% subsidi dialokasikan kepada sektor energi yang diterima oleh PLN (26%) dan Pertamina (54%). Sehingga dapat dikatakan sesungguhnya letak permasalahan BUMN di Indonesia berada pada PLN dan Pertamina. Lalu selanjutnya yang harus dicari adalah apa yang menyebabkan kedua BUMN tersebut tidak dapat berjalan dengan baik?.

Secara konstitusional seperti yang tertulis pada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 disebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Pasal inilah yang kemudian menjadi landasan utama pendirian BUMN di Indonesia. Namun ternyata pada masa Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto yang dibantu tim ekonomi yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, terjadi sebuah penyelewenggan atas BUMN-BUMN secara sistemmatis. Dimana BUMN-BUMN yang pada awalnya dan begitulah seharusnya, yakni berada pada cabang-cabang produksi, justru dialihkan menjadi perusahaan yang bergerak pada cabang-cabang distribusi. Yang mana kemudian cabang-cabang produksi yang semula dikuasai oleh BUMN dialihkan kepada oligarki-oligarki bisnis terutama kepada orang-orang dekat penguasa dan pihak asing.



Itulah mengapa kini kita mengenal PLN tidak sebagai Perusahaan Pembangkit Listrik Negara namun menjadi Perusahaan Penyalur Listrik Negara. Bagaimana pula kita mengenal Pertamina bukan sebagai Perusahaan Penambang Minyak Negara namun tidak lebih sebagai Perusahaan Penadah Minyak Negara. Sedangkan cabang produksi sektor-sektor strategis itu kemudian dilepaskan kepada kepentingan oligarki-oligarki seperti Payton di sektor listrik, dan Chevron di sektor migas. Dan sebagaimana kita ketahui semuanya, bahwa oligarki-oligarki tersebut setiap tahunnya menikmati keuntungan yang sangat besar dari perbuatan mengeksploitasi kekayaan sumber daya Indonesia yang sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingannya sendiri bukan kepentingan rakyat banyak.

Inilah yang menjadi masalah karena keuntungan-keuntungan para oligarki tersebut kemudian dikonfersikan dan dibayarkan oleh rakyat sebagai bentuk kerugian yang akan ditanggung oleh para BUMN karena ia bertugas untuk mendistribusikan sumber daya-sumber daya tersebut kepada rakyat indonesia secara non-komersial seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa setiap tahunnya rakyat Indonesia harus “mensubsidi” para oligarki-oligarki tersebut, sebagai akibat dari penguasaan sumber daya alam nasional oleh para oligarki. Lalu apa bedanya dengan masa penjajahan dimana rakyat harus membayar upeti kepada penjajah-penjajah asing atas penguasaannya terhadap bumi Indonesia?. Lalu mengapa pula para oligarki tersebut dapat menguasai cabang-cabang produksi yang secara konstitusional diamatkan kepada negara?.

Bagaimana kita telah menyaksikan bahwa BUMN-BUMN telah dirubah oleh rezim diktaktor Orde Baru menjadi topeng-topeng penutup praktek-praktek penjajahan oligarki atas bangsa ini. Sehingga tidak mengherankan bagaimana BUMN-BUMN kita justru hanya bisa meratapi nasibnya yang terus merugi dan meminta-minta subsidi, sementara perusahaan-perusahaan sejenisnya justru meraih keuntungan yang sangat melimpah karena sesungguhnya BUMN-BUMN tersebut hanya menjadi “boneka” para oligarki untuk menguras kekayaan rakyat.

Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kesalahan BUMN berada pada sistem BUMN itu sendiri. Pengingkaran atas amanat konstitusi dengan membiarkan oligarki menguasai cabang produksi strategis telah membuat BUMN tidak dapat menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Lalu mengapa pula privatisasi yang kini diajukan sebagai solusi atas kegagalan sistem BUMN?. Padahal kalau rem mobil yang ternyata rusak maka yang harus dilakukan adalah menganti rem mobil tersebut, bukan justru mengganti supirnya. Sehingga kebijakan privatisasi harus dikaji kembali apakah privatisasi memang ditujukan untuk memperbaiki BUMN, tentunya dengan maksud untuk memaksimalkan sumbangsinya untuk negara dan rakyat, atau justru merupakan sebuah upanya melegalkan dominasi oligarki dalam perekonomian Indonesia.

Melemahnya cengkraman Orde Baru sekaligus menguatnya kontrol rakyat atas pemenrintahan sejak dekade 90-an, tentunya akan mengancam dominasi oligarki atas sumber daya Indonesia. Sehingga diperlukan sebuah aturan yang dapat melegalkan praktek dominasi tersebut. Privatisasi sebagai bentuk penjualan BUMN kepada pihak swasta tentunya akan membuka kesempatan kepada oligarki untuk menguasai perekonomian Indonesia. Hal ini gamblang terlihat bagaimana sebagian besar BUMN akhirnya dilepaskan kepada “Mitra-mitra Strategis” yang tidak lain adalah oligarki-oligarki asing. Lalu pertanyaannya adalah, kalau masalahnya ada pada PLN dan Pertamina kenapa justru BUMN lain yang dijual?. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat dominasi para oligarki karena masalah penguasaan cabang produksi penting yang membuat PLN dan Pertamina merugi tidak pernah diselesaikan.

Sehingga kalaulah ini yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam (resource curse), bahwa negara dengan sumber daya alam yang kaya rakyatnya akan hidup menderita, maka hal ini haruslah ditinjau ulang kembali. Karena kutukan hanya datang dari Tuhan, sedangkan apa yang kita alami hari ini jelas merupakan perbuatan manusia yang ironisnya adalah bangsa kita sendiri.

Oleh karena itu, di hari kemerdekaan ini, marilah kembali dengan lantang kita terikan Merdeka! Merdeka! Merdeka! Dengan sambil terus berusaha mengambil kembali apa yang sebenarnya menjadi hak kita, kekayaan kita, dan masa depan kita. Jangan sampai kemerdekaan ini hanya menjadi kedok saja bahwa yang terjadi adalah Mereka Mendikte Kita!