Kamis, 16 Desember 2010

Ayo Jadi Konsumen Cerdas

Dalam dunia bisnis terdapat pepatah bahwa “Konsumen adalah Raja”, ya benar dari pepatah tersebut saja sudah menunjukkan bahwa Konsumen memiliki posisi yang istimewa dalam sebuah perekonomian karena Konsumenlah yang akan menggerakkan konsumsi dari suatu Negara yang akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Hal inilah yang menyebabkan seorang Konsumen seperti Kita semua memiliki posisi yang terhormat sehingga perlu mendapatkan perlindungan yang dilembagakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut yang dimaksud dengan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian Konsumen adalah semua pengguna produk (barang/jasa) baik yang membeli maupun yang tidak membeli (tidak membeli seperti penerima hadiah maupun penerima sampel) selama produk tersebut tidak untuk diperjualbelikan kembali kepada pihak ketiga.

Dalam UU 8/1999 juga diatur mengenai hak dan kewajiban bagi seorang konsumen. Sebagai bagian dari konsumen yang cerdas, maka kita akan membahas bagian ini dengan lebih seksama sehingga terhindar dari kasus sengketa konsumen.


HAK KONSUMEN

Hak seorang konsumen menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam UU 8/1999, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa hak seorang konsumen adalah sebagai berikut:
  • Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  • Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  • Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari rincian hak yang terkandung di dalam UU 8/1999 sesungguhnya sangat luas hak dari seorang konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa diterapkan melalui penyusunan standar bagi produk yang kita kenal sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI dirumuskan untuk menjaga kualitas produk di Indonesia, bahkan apabila dipandang dapat mengancam Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan lingkungan hidup (K3L) maka SNI tersebut dapat diterapakan secara wajib atau menjadi SNI Wajib. SNI Wajib berdampak pada kewajiban bagi produk yang beredar di Indonesia harus memenuhi parameter-parameter yang diatur dalam SNI tersebut. Salah satu contohnya adalah Helm yang telah diterapakan SNI Wajib sehingga seluruh helm yang dijual di Indonesia harus sesuai dengan SNI sedangkan yang tidak sesuai akan ditarik dari pasar.

Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan memberikan kekuatan kepada konsumen untuk mendapatkan kembalian dari pembayaran sesuai dengan besaran yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa pengembalian pembayaran harus dilakukan dengan mata uang tidak melalui pengembalian berupa barang. Dengan demikian, pengembalian berupa permen yang sering dijumpai pada pasar modern merupakan tindakan yang melanggar hak konsumen sehingga konsumen berhak untuk menolak pengembalian permen dan menuntut pengembaliannya dalam mata uang rupiah. Kondisi ini telah didukung oleh Kementerian Perdagangan yang bekerjasama dengan Bank Indonesia untuk menyediakan uang recehan guna memenuhi kebutuhan pengembalian mata uang dari nominal terkecil.

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur menuntut pelaku usaha untuk memberikan label atas produk dalam bahasa yang dimengerti oleh Konsumen, oleh karena itulah sesuai dengan Permendag 22/2010 maka produk yang beredar di Indonesia diwajibkan untuk mencantumkan label dalam bahasa Indonesia. Selain itu juga diatur mengenai tata cara pengiklanan yang tidak dibenarkan memberikan informasi yang tidak sesuai.

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, serta Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya berkosekuensi terhadap adanya penyediaan jasa purna jual dari produk-produk yang bermasa guna lebih dari 1 tahun. Sebagai contoh dahulu pernah terjadi gejolak antara pemerintah dengan provider Blackberry yang dituntut untuk menyediakan layanan purna jualnya di Indonesia. Hal tersebut merupakan bentuk pemenuhan hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas produk yang digunakannya.

Dan yang terakhir adalah Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak tersebutlah yang mendorong terbentuknya lembaga-lembaga perlindungan konsumen seperti Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen (BPSK). LPKSM merupakan lembaga yang dibentuk mandiri oleh masyarakat untuk mengawasi praktek perlindungan konsumen melalui pengawasan dan advokasi. Sedangkan BPSK merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan sengeketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha di luar mekanisme peradilan untuk menjadi solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak.

Dengan demikian hak-hak konsumen sangat luas, namun tetap saja terdapat kewajiban yang harus dilakukan konsumen.

KEWAJIBAN KONSUMEN

Dalam UU 8/1999 Pasal 5 disebutkan bahwa kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen adalah:
  • membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
  • barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  • beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  • membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  • mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Untuk dapat menjalankan Kewajiban tersebut sekaligus memposisikan diri sebagai Konsumen Cerdas, cukup simpel dengan menerapkan 4 tips yang dianjurkan dari Gerakan Konsumen Cerdas yakni:
  • Teliti sebelum membeli
  • Perhatikan label dan masa kadaluwarsa
  • Pastikan produk bertanda jaminan mutu sni
  • Beli sesuai kebutuhan, bukan keinginan



Dengan menerapkan 4 prinsip tersebut dan dengan memperhatikan hak-hak yang telah ditetapkan dalam UU 8/1999, kita semua pasti akan dapat menjadi Konsumen Cerdas. Maka Ayo Jadi Konsumen Cerdas.




Rabu, 08 Desember 2010

Standardisasi Bukan Standarisasi

Sampai saat ini, masih banyak terjadi kesalahan dalam penulisan Standardisasi, dimana dalam masyarakat seringkali digunakan kata standarisasi untuk mengartikan proses perumusan standar. Bahkan kejadian seperti itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam saja, para profesional yang tidak terlalu akrab dengan bidang Standardisasi juga sering kali salah dalam menuliskannya sebagai Standarisasi. Padahal dalam dunia birokrasi kesalahan kecil tersebut akan berdampak sangat luar biasa, sehingga sekiranya perlu untuk dilakukan klarifikasi bahwa penggunaan kata yang tepat adalah Standardisasi bukan Standarisasi


Kesalahan standarisasi didasarkan pada logika bahwa standarisasi merupakan kata standar + isasi, yang merupakan akhiran yang digunakan untuk menunjukkan proses. sehingga dengan demikian banyak yang beranggapan bahwa proses perumusan dan penerapan standar sebagai standarisasi.

Padahal dalam struktur bahasa Indonesia, tidak dikenal akhiran -isasi. yang mana kata-kata yang memiliki akhiran berupa -isasi merupakan penyerapan bahasa asing yang disesuaikan dalam bahasa Indonesia. Sehingga kata Standardisasi merupakan penyerapan bahasa asing yakni Standardization sama seperti Organization menjadi Organisasi, Mobilization menjadi Mobilisasi, dan lainnya.

Adapun kata Standar digunakan merupakan hasil penyerapan juga dari bahasa asing yakni Standard. Namun karena disesuaikan dengan lidah orang Indonesia maka huruf d pada kata Standard dihilangkan menjadi Standar.

Hal inilah yang mungkin menjadi permasalahan dari kosa kata bahasa Indonesia akibat modifikasi bahasa asing yang diserap, sehungga pada saat penambahan kata Ization dalam kata Standard, orang Indonesia sering melupakan huruf D yang ada.

Dengan demikian, bersama-sama kita dapat menyatakan STANDARDISASI bukan standarisasi. kalo masih belum percaya coba lihat apa kepanjangan dari Ditjen SPK, yup Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen......

Kondisi Infrastruktur Standardisasi di Indonesia


Keberhasilan standardisasi tidak akan terlepas dari kondisi infrastruktur mutu yang ada di negara tersebut. Infrastruktur mutu mencakup berbagai aspek yang meliputi pengujian, akreditasi, sertifikasi, metrologi, dan pengembangan standar itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan integrasi dan pengembangan kapasitas yang memadai untuk seluruh aspek tersebut guna memastikan terciptanya sistem jaminan mutu yang baik.

Gambar 1 Aspek –Aspek Infrastruktur Mutu


Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI yang telah diberlakukan wajib tersebut. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.

Penilaian kesesuaian akan bergantung dari kapasitas Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang terdiri dari Lembaga Sertifikasi, Laboratorium, dan Lembaga Inspeksi. Kapasitas LPK tidak hanya dilihat dari segi ketersediaan jumlah yang cukup saja namun turut mempertimbangkan aspek kemampuan dalam melaksanakan penilaian kesesuaian itu sendiri. Sehingga kapasitas sumber daya manusia yang ada juga memiliki peranan yang vital.

Pada tahun 2009, terdapat 616 Lembaga Penilaian Kesesuaian yang di Indonesia dengan ruang lingkup yang cukup beragam. Dari jumlah tersebut, 64% atau 397 diantaranya adalah laboratorium uji, 17% atau 102 unit adalah laboratorium kalibrasi, 15% atau 94 unit adalalah lembaga sertifikasi, 3% atau 18 unit adalah lembaga inspeksi, dan sisanya sebanyak 5 unit adalah laboratorium medik.

Gambar 2 Kondisi LPK di Indonesia

Pada tahun 2007 telah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Dalam Permendag tersebut mulai diberlakukan aturan mengenai pengawasan pemberlakuan SNI Wajib yang mana salah satu poinnya mewajibkan LPK yang mengeluarkan sertifikat kesesuaian terhadap barang yang diberlakukan SNI Wajib untuk didaftarkan pada Pusat Standardisasi Kementerian Perdagangan yang kini bertransformasi menjadi Direktorat Standardisasi.

Setelah diberlakukannya Permendag tersebut, proses pendaftaran terhadap LPK yang mengeluarkan SPPT SNI yang telah diberlakukan wajib dimulai pada tahun 2007 dengan jumlah LPK terdaftar sebanyak 12 lembaga. Seiring dengan peningkatan pemberlakuan SNI Wajib yang diberlakukan oleh kementerian teknis, jumlah LPK terdaftar turut mengalami peningkatan hingga mencapai 19 lembaga pada tahun 2009.

Dari segi ruang lingkupnya, LPK yang terdaftar di Pusat Standardisasi telah mencakup seluruh produk SNI yang telah diberlakukan wajib. Yang mana dari segi luasan ruang lingkup, Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standardisasi Departemen Perindustrian (LSPro – Pustand Depperin) merupakan LPK dengan ruang lingkup terbesar yang mencakup 43 produk SNI wajib. Sementara itu, Lembaga Sertifikasi Produk Balai Riset dan Standardisasi Industri Bandar Lampung (LSPro Lampung) dan Lembaga Sertifikasi Produk Agro-Based Industry Product Certification Services (LSPro ABI-Pro) merupakan LPK dengan ruang lingkup terkecil yang keduanya hanya melayani sertifikasi produk tepung terigu sebagai bahan makanan.

Mengenal Standardisasi Bidang Perdagangan di Indonesia


Perkembangan perekonomian dunia saat ini sangat dipengaruhi perubahan yang sangat dinamis dan negara-negara di dunia lebih mengkonsentrasikan diri pada kemampuan ekonominya. Perdangangan dunia bergerak menuju efisiensi yang mendorong kepada pembentukan integrasi ekonomi antar negara. Integrasi tersebut memaksa terjadinya penghapusan terhadap batasan-batasan perdagangan yang selama ini dilakukan oleh semua negara. Hal tersebut berdampak pada terjadinya penurunan hambatan tarif dalam perdagangan internasional.

Komitmen penurunan tarif perdagangan tidak terlepas dari komitmen pembentukan area perdagangan bebas (free trade area) yang semakin berkembang di berbagai regional wilayah. Tabel 1.1 menunjukan bagaimana komitmen penerapan area perdagangan bebas antara di ASEAN yang telah menargetkan penurunan tingkat tarif di negara-negara ASEAN hingga 100%.

Tabel 1. Komitmen Penurunan Tarif Perdagangan Dalam AFTA

Menurunnya penggunaan hambatan tarif dalam perdagangan menuntut setiap negara mengembangkan instrumen hambatan perdagangan lainnya. Untuk menjaga dan melindungi kepentingan domestik dari serbuan masuknya barang impor, kini seluruh negara menggunakan instrumen non tariff yang salah satunya adalah penerapan standar baik terhadap barang dan jasa yang akan beredar di pasar domestik.

Oleh karena itu peranan standardisasi semakin besar dalam kegiatan perdagangan. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) setiap negara diperbolehkan menerapkan hambatan non tarif yang meliputi Technical Barrier to Trade dan Sanitary and Phytosanitary Agreement dengan syarat tidak ada perbedaan/diskriminasi perlakuan antara produk dalam negeri dengan produk impor.

Hambatan teknis perdagangan/technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan atau kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional, dimana penerapannya dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. TBT merupakan salah satu bagian perjanjian dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure). Ketentuan-ketentuan tersebut digunakan oleh banyak negara, terutama negara-negara maju yang mempunyai teknologi tinggi menggunakan ketentuan tersebut sebagai alat untuk melindungi masyarakat dari aspek keselamatan, kesehatan, keamanan dan pelestarian lingkungan hidup, serta melindungi industri dalam negeri dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Sebagai upaya untuk mencegah terlalu banyaknya ragam standar, Perjanjian TBT mendorong negara anggota untuk menggunakan standar-standar internasional dimana dianggap perlu atau melakukan harmonisasi standarnya dengan standar internasional. Walaupun demikian, negara anggota tidak dicegah dari mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin standar nasionalnya dipenuhi.

Perkembangan standardisasi di Indonesia turut semakin menggeliat pasca pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang dikoordinasikan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dibantu dengan Kementerian teknis yang bertugas membantu BSN dalam melaksanakan penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan.

Apa Itu Standardisasi??

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 yang dimaksud dengan Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Sedangkan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengam memperhatikan syarat-syarat keselematan, keamanan, kesehatan lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional.

Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait. Pada umumya, panitia teknis diselenggarakan oleh Kementerian Teknis (yang salah satunya adalah Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Standardisasi) dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri dari perwakilan pemerintah, produsen, konsumen, dan pakar. Dengan demikian diharapkan setiap SNI yang dirumuskan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan.

Pengembangan SNI dilaksanakan mengikuti Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang telah disusun dengan mengikuti norma-norma yang terkandung dalam WTO Code of good practice yakni:
  • Openess: Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI.
  • Transparency: Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya. Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
  • Consensus and impartiality: Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
  • Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan internasional;
  • Development dimension: Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Dengan demikian proses perumusan SNI dilakukan secara bersama-sama oleh BSN, Kementerian Teknis, dan masyarakat. Tahapan perumusan SNI dimulai dari penyusunan Program Nasional Perumusan Standar (PNPS), penyusunan rancangan dari RSNI1 hingga RASNI, dan pada akhirnya ditetapakan oleh BSN.

Gambar 1 Tahapan Perumusan SNI

Perkembangan Standardisasi di Indonesia.

Sampai dengan tahun 2010, tercatat terdapat 6839 SNI yang telah ditetapkan dengan rincian 6050 SNI penetapan baru, 782 SNI revisi, dan 7 SNI amandemen. Selain itu telah terdapat 1436 SNI yang diabolisi dengan berbagai pertimbangan.

Tabel 2. Jumlah SNI Yang Ditetapkan Sampai Dengan Tahun 2010
Berdasarkan ruang lingkupnya, mayoritas SNI memiliki ruang lingkup mengenai teknologi dimana 2026 SNI menyangkut teknologi bahan, 1134 SNI menyangku teknologi perekayasaan, dan 181 SNI menyangkut teknologi khusus. Adapun penyebaran ruang lingkup SNI dapat dijabarkan dalam Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Statistik Ruang Lingkup SNI

Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, artinya kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI tidak dilarang untuk diperdagangkan. Dengan demikian untuk menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan standar internasional merupakan faktor yang sangat penting. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.

Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang untuk diperdagangkan. Ketentuan tersebut berlaku secara universal baik kepada produk yang diproduksi di dalam negeri maupun produk impor yang masuk ke dalam pasar domestik.

Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindarkan sejumlah dampak sebagai berikut:
  • menghambat persaingan yang sehat;
  • menghambat inovasi
  • menghambat perkembangan UKM.

Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi terutama yang menyangkut Keselamatan, Keamanan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L), sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan.

Di Indonesia, pemberlakuan standar wajib mengalami peningkatan yang cukup pesat sepanjang periode 2005 – 2009. Pada akhir tahun 2009 tercatat telah diberlakukan standar wajib terhadap 56 Standar Nasional Indonesia (SNI), bahkan hingga akhir tahun 2010 setidaknya tercatat sudah terdapat 69 SNI Wajib. Dengan demikian produk-produk yang diatur dalam SNI tersebut harus memenuhi persyaratan teknis yang dipersyaratkan apabila diperdagangkan di pasar domestik. Kondisi tersebut berlaku untuk seluruh produk baik produk yang diproduksi di dalam negeri maupun produk eskpor.

Sabtu, 13 November 2010

Benci (Benar Benar Cinta)

Ok melanjutkan hari yang cukup produktif (2 lagu dalam 2 jam bo, hohoho) di bulan november yang....(apa ya?? ya yang begitulah, slalu saja antara keceriaan dan kekelaman itu seperti encing dan enyak yang saling setia berdua slamanya) kita luncurkan MV Pujangga kali ini yakni Benci. Dan sebagaimana kegombalan pria-pria masa lalu bahwa benci adalah bibit dari cinta, maka janganlah pernah membeci seseorang kalau tak siap untuk mencintanya...(dapat inspirasi dari mana kok jadi jadul-jadulan gene..). karena mencinta dari membenci akan jauh lebih menyerap hati dibandingkan membenci dari mencinta...

sekali lagi seperti biasa, ya sudahlah, biar itu menjadi kenangan dan mari kita sambut masa depan yang gemilang (nah masalahnya kemaren-kemaren juga begitu, jadi kesimpulannya kegemilangan itu yang kegalauan itu sendiri..hmmpp)..ya sudahlah, hidup harus terus berjalan..yoa mari dieksekusi saja semoga dapat mengobati hati yang tersayat-sayat ini..(cembener aja..)



Benci (Benar-Benar Cinta)
by aaa

Kau selalu saja menyakiti hatiku
Kau tak pernah tersenyum manis padaku
Bagaikan aku punya beribu salah pada dirimu
Mengapa kau membenci diriku

Ada berbeda kini dalam hidup
Semua terasa hampa tanpa dirimu
Kemarahanmu bangai lagu merdu untuk diriku
Dan kau pun selalui dimimpiku

Dan tak seharusnya cinta hadir diantara kita
Dan tak seharusnya rindu bersemi di dalam hatiku
Apa yang terjadi padaku harusnya ku membenci dirimu
Ternyata ku benar-benar cinta padamu

Sudah-sudahlah aku menyerah padamu
Tatapan matamu luluhkan angkuhku
Tuk berkata aku tak punya rasa untuk dirimu
Dan kau pun tak di ada di hatiku

Oh tak bisakah kau tuk menggapai hatiku
aku sama seperti kamu
Ku punya rasa yang ingin ku beri padamu
ku harap kau pun begitu

Kesempatan Kedua

Wah abis prajab 2 pekan nan diasingkan di daerah antah berantah bernama cinangka, inspirasi justru mengalir deras sampe2 dalam 2 jam bisa jadi 2 lagu...(wak coba bisa tiap minggu...).

buat MV kali ini dipersembahkan lagu Kesempatan Kedua. tidak tau harus berkata apa, apakah ini murni bagian dari Emphaty dengan merasakan apa yang orang lain rasakan (jiah..yang abis blajar komunikasi efektif), atau memang semua bagian dari curahan hati yang tak tersampaikan..(hikssss). ya sudahlah biar semua jadi kenangan (...kayaknya udah brapa kali ya gw ngomong begitu??)

Ya sudahlah mungkin belum waktunya, tapi tetap yakinlah dan percaya bahwa satu kegagalan kan membuka seribu pintu keberhasilan, selama kita mau intropeksi dan mengakui kesalahan...ya mungkin ini memang salahku tak ungkapkan cinta saat kau berada di depan mataku..but live must go on...thank U for the lessons (...udah gagal masih sok gaya bahasa inggris..emang dah hopeless kayaknya nih..)




Kesempatan Kedua
by aaa

Dua pekan saja sudah cukup bagimu
untuk Meluluhkan semua isi hatiku
Dua pekan saja sudah cukup bagiku
untuk memutuskan kau belahan jiwaku

dua pekan saja dunia sudah berubah
semua terasa indah di sampingmu
dua pekan saja ku merasa bahagia
hingga ku sadari kini kau pergi dariku

sungguh tak bisa aku menerima
bila dirimu bersama dirinya

Mungkin memang salahku tak ungkapkan cinta
Saat kau berada di depan mataku
Walau benar begitu tak bisakah dirimu
Beri kesempatan kedua untukku

Lelah Menunggu

yorobunnn, mungkin sudah lelah menunggu MV keempat. maklum dunia sedang menuntut reformasi yang menyita waktu bagi amatiran seperti saya, maka izinkanlah hamba meminta maaf dan mempersemahkan MV keempat sang pujangga yakni Lelah Menunggu.

lagu ini adalah kelanjutan dari MV sebelumnya dimana rekan kita yang baik hatinya telah memutuskan untuk lelah menunggu dan bersiap melangkah menuju dunia yang lebih cerah...ok mari eksekusi MV nya..





Lelang Menunggu
by aaa

Ku tunggu-tunggu dirimu
hingga ku lelah menunggu
tapi kau terus membisu
tak menjawabku

hingga ku tak bisa membaca semua
apa isi hatimu sayangku
jangan salah aku bila aku tak lagi menunggumu
ku lelah terus menunggu tampa kepastian

inikah cinta yang slalu ku cari
ada padamu oh kekasihku
namun bila engkau tak kunjung memberi
lama-lama ku akan lelah menunggu dirimu

dan bila kau tau
hatiku tak terbatas hanya ada kamu
bila kau meragu ku takkan menunggu untuk dirimu
ku lelah menunggu dirimu

inikah cinta yang slalu ku cari
ada padamu oh kekasihku
namun bila engkau tak kunjung memberi
lama-lama ku akan lelah menunggu dirimu


Minggu, 07 Maret 2010

Sistem Pencatatan Persediaan Pada Unit Kerja

Sistem Persediaan adalah sistem sederhana yang disusun untuk memudahkan pencatatan dan pemantauan kondisi barang persediaan yang berada di Pusat Standardisasi. Dengan demikian diharapkan dapat tercapainya pencatatan yang baik mengenai kondisi persediaan sehingga mempermudah proses pertanggungjawaban atas barang milik negara yang ada. Kunci utama keberhasilan sistem ini adalah diperlukannya kedispilinan yang tinggi dalam mencatat seluruh transaksi persedian yang berlangsung dalam Tahun Anggaran berjalan.

Tampilan muka yang digunakan dalam sistem tersebut adalah sebagai berikut


Selain panel utama, penggunaan juga dapat dilakukan melalui fitur
Manual Penggunaan yang menjabarkan secara lebih rinci mengenai proses pemakaian sistem sebagai berikut


Sebagai tambahan turut dapat digunakan menu toolbar yang terdapat diatas setiap halaman kertas kerja.

Langkah penggunaan dilakukan melalui pengisian form-form yang meliputi jumlah stok awal tahun, pembelian persedian, dan penggunaan persediaan yang dapat dicatat setiap transaksinya pada setiap bulan


Setelah pengisian form-form tersebut, sistem dapat digunakan untuk melakukan pemantauan terhadap kondisi stok persediaan maupun hasil rekap pembelian dan penggunaan persediaan.


Selain fungsi tersebut, sistem ini juga dapat digunakan untuk melakukan test opname guna melihat perbandingan antara stok tercatat dengan hasil pengecekan fisik langsung sehingga dapat melihat gap yang terjadi serta melakukan evaluasi kebutuhan yang dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan persediaan pada tahun berikutnya.


Bagi rekan-rekan yang membutuhkan sistem tersebut dapat menghubungi penulis via Japri maupun meninggalkan alamat email pada kolom aspirasi. Semoga berguna.

Selasa, 02 Maret 2010

Kinerja Keuangan PDAM di Indonesia

Dalam evaluasi kinerja, masalah keuangan menjadi fokus perhatian dan memiliki bobot yang paling besar di bandingkan masalah lainnya. Hal ini tidak terlepas sebagai business entity, kinerja PDAM akan sangat tergantung terhadap ketersediaan keuangan perusahaan yang mencukupi untuk membiayai proses produksi maupun investasi sehingga dapat dihasilakan output berupa produk air besih yang disalurkan kepada masyarakat. Sehingga dengan kondisi keuangan yang sehat, PDAM akan dapat menghasilkan produk sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan. Sebaliknya dalam kondisi keuangan yang tidak sehat, kekurangan dana akan berakibat pada minimnya kualitas produk yang dihasilkan.

Ditinjau dari nilai operating ratio yang mengalami peningkatan menandakan terjadinya peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pendapatan, atau dengan kata lain menyebabkan semakin menurunnya laba yang dapat dihasilkan. Hal ini menunjukkan proses inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Gambar 5.5. Perkembangan Operating Ratio PDAM di Indonesia

Bila ditilik dari sisi lokasi, PDAM yang beroperasi di wilayah administrasi kota cenderung memiliki tingkat operating ratio yang lebih baik daripada PDAM yang beroperasi di wilayah administrasi kabupaten. Perbedaan kualitas infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia antara daerah kota dengan kabupaten diduga menjadi salah satu penyebab utama sehingga PDAM di daerah kota cenderung lebih efisien sehingga memiliki tingkat operating ratio yang lebih baik daripada PDAM di wilayah kabupaten.

Selain itu, peningkatan operating ratio ini mengindikasikan terjadinya peningkatan biaya pokok produksi air. Pada tahun 2006, rata-rata biaya pokok produksi air di Indonesia adalah sebesar Rp. 2.536/M3 dan meningkat menjadi Rp 3.257/M3 pada tahun 2008. PDAM di daerah Kota memiliki biaya pokok produksi yang lebih besar dibandingkan PDAM di daerah kabupaten. Pada tahun 2008, rata-rata biaya pokok produksi PDAM daerah kota sebesar Rp. 3.324/M3. Sedangkan di wilayah kabupaten, rata-rata biaya pokok produksi sebesar Rp. 3.240/M3 atau lebih rendah Rp. 84/M3 dibandingkan PDAM derah kota. Perbedaan besaran biaya pokok produksi dapat disebabkan karena adanya perbedaan biaya faktor produksi seperti tenaga kerja yang cenderung lebih mahal di daerah kota dibandingkan kabupaten. Tingkat polusi yang lebih tinggi di daerah kota, turut menyebabkan dibutuhkannya biaya ekstra untuk mengolah sumber air baku menjadi air minum.

Gambar 5.6. Perkembangan Rata-Rata Biaya Pokok Produksi PDAM di Indonesia

Peningkatan biaya pokok membuat PDAM di Indonesia tahun ke tahun berusaha menyesuaikan tarif penjualan ke pelanggan. Pada tahun 2006, tarif rata-rata penjualan nasional sebesar Rp. 1.799/M3. Nilai ini meningkat pada tahun 2007 menjadi Rp. 1.941/M3 dan Rp. 2.174/M3 pada tahun 2008. Namun, kenaikan tingkat tarif tersebut tidak mampu menyamai tingkat kenaikan biaya pokok produksi yang semakin tinggi. Kondisi ini menyebabkan setiap tahunnya PDAM harus menjual air minum kepada pelanggannya dengan harga yang lebih murah dibandingkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi dan menyalurkan air minum kepada pelanggan. Dampaknya, PDAM justru mengalami kerugian bila melakukan produksi guna menyediakan air minum kepada pelanggan. Bahkan semakin besar tingkat konsumsi pelanggan akan berdampak semakin besar tingkat kerugiaan perusahaan. Kondisi ini jelas menjadi sebuah ironi bagi PDAM yang pada esensinya merupakan business entity.

Gambar 5.7. Perkembangan Tarif Rata-Rata Penjualan PDAM di Indonesia


Penerapan tarif yang lebih rendah dibandingkan biaya produksi ini tidak terlepas dari kebijakan masing-masing daerah. Menutur Permendagri No. 23 tahun 2006, ada 6 prinsip yang dianut dalam menetapkan tarif air minum pada PDAM yaitu: prinsip keterjangkauan dan keadilan, prinsip mutu pelayanan, prinsip pemulihan biaya, prinsip effisiensi pemakaian air, prinsip tranparansi dan akuntabilitas serta prinsip perlindungan air baku. Selain itu, kebijakan penetapan tarif sangat dipengaruhi keputusan politik kepala daerah sebagai bagian dari janji keberpihakan kepada masyarakat untuk menyediakan air minum yang murah. Dampaknya selisih harga dan biaya produksi PDAM di berbagai daerah turut bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Secara umum, hampir seluruh daerah menerapkan tarif defisit terhadap pelayanan air minum kepada masyarakat. Hanya Provinsi DKI Jakarta yang telah menetapkan tarif pelayanan di atas biaya pokok poroduksi. Pada tahun 2008, PDAM DKI Jakarta menetapkan tarif lebih besar Rp. 76/M3. Untuk mencapai hal tersebut, DKI Jakarta menerapkan tarif rata-rata sebesar Rp. 7.001/M3 yang merupakan tarif tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Provinsi Bangka-Belitung mengalami defisist terbesar yakni Rp. 4.317/M3.

Walau demikian, kondisi ini tidak serta-merta menggambarkan bahwa tarif air minum di Indonesia dalam kondisi terlalu murah. Berdasarkan perhitungan YLKI, Tarif air bersih di DKI Jakarta yang berkisar antara Rp. 6.000 – 7.000 per meter kubik merupakan tarif termahal se- Asia Tenggara. Dengan tarif tersebut, seharusnya kualitas air di DKI Jakarta sudah sangat baik. Dengan tarif yang sama, pelayanan air bersih di Sydney, Australia, sangat bagus bahkan air bersih yang disalurkan sudah dapat langsung diminum. Sedangkan air di DKI Jakarta masih berbau bahan kimia walaupun pelanggan sudah membayar mahal. Kondisi ini menggambarkan adanya inefisiensi dalam produksi air bersih. Salah satunya adalah tingkat kebocoran air yang masih cukup tinggi menyebabkan beban biaya produksi PDAM menjadi lebih besar, sementara pendapatan tidak meningkat. Selain itu faktor manajemen turut harus diperhatikan. Penggunaan sumber daya manusia yang berlebihan akan membebani biaya pokok produksi. Oleh karena itu, penetapan biaya produksi harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi kaidah kewajaran

Gambar 5.8. Selisih Rata-rata Tarif terhadap Biaya Pokok Produksi PDAM per Provinsi Tahun 2008

Oleh karena itu perlu diperhatikan apakah penentuan tingkat tarif akan memiliki pengaruh terhadap kinerja dari PDAM. Posisi kinerja PDAM dapat dianalisis kaitannya dengan selisih tarif PDAM yang ditetapkan, sehingga dapat diklasifikasikan menurut provinsi ke dalam empat kuadran. Dimana, harapan optimalnya adalah PDAM dapat berada pada posisi sehat sekaligus memiliki harga jual yang layak untuk suatu unit bisnis. Pembagian tingkat selisih tarif dan kinerja PDAM dijabarkan dalam Gambar 5.9 sebagai berikut.

Gambar 5.9. Posisi Kinerja PDAM dan Selisih Tarif Air terhadap Biaya Pokok Produksi Rata-rata Menurut Provinsi Tahun 2008

Dari Gambar 5.9 di atas dapat disimpulkan bahwa, secara nasional kinerja PDAM berada dalam kategori tidak sehat dengan penetapan tarif pada umumnya kurang dari biaya pokok produksi. Kondisi ini menggambarkan sistem pengelolaan air bersih di Indonesia belum memenuhi standar pengelolaan perusahaan yang baik. Saat ini, dalam melayani masyarakat atau menjalankan bisnisnya, PDAM lebih berperan sebagai cost center yang umum terjadi pada PDAM di seluruh provinsi.

Analisis kombinasi ini menjabarkan pola sebaran hubungan selisih tarif dengan tingkat kinerja PDAM dalam empat kuadran. Kuadran I menggambarkan kelompok Provinsi yang mengalami selisih tarif yang negatif serta memiliki kinerja yang tidak sehat. Hampir seluruh Provinsi di Indonesia berada dalam kuadran I tersebut. Dalam kuadran I tersebut, terlihat bagaimana Provinsi yang memiliki defisit tarif yang lebih besar cenderung akan memiliki kinerja perusahaan yang lebih buruk. Posisi tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan biaya pokok produksi tidak hanya akan menganggu kinerja keuangan perusahaan saja, namun juga akan mempengaruhi kualitas produk itu sendiri, sehingga akan sangat wajar kinerja perusahaan akan semakin terganggu dengan semakin besarnya tingkat defisit tarif PDAM.

Kuadran II, menggambarkan kelompok Provinsi yang memiliki selisih tarif yang positif namun memiliki tingkat kinerja ynag belum sehat. Dalam kuadran II hanya terdapat Provinsi DKI Jakarta. Walau telah memiliki tarif diatas biaya pokok produksi, kinerja Provinsi DKI Jakarta masih belum cukup memuaskan. Padahal dalam pelaksanaan operasionalnya Provinsi DKI Jakarta telah bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam pengelolaan air bersih. Kualitas air baku yang rendah akibat tingkat polusi air yang cukup berat di Jakarta serta tingkat kebocoran air yang tinggi menyebabkan kinerja PDAM DKI Jakarta belum optimal meskipun telah menerapkan tarif yang cukup tinggi.

Kuadran III, merupakan kelompok Provinsi yang telah memiliki kinerja perusahaan yang sehat walaupun tingkat tarif yang masih lebih rendah dibandingkan biaya pokok produksinya. Provinsi yang berada di dalam kuadran III tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten. Di satu sisi kondisi ini jelas merupakan hal yang baik bagi masyarakat. Komitmen pemerintah daerah tersebut dalam menyediakan air bersih kepada masyarakatnya patut diberikan apresiasi. Namun di sisi lain, kondisi ini memberikan resiko terhadap kesinambungan kinerja PDAM itu sendiri. Defisit penerimaan menuntut sumber pembiayaan lain yang biasanya berasal dari subsidi ataupun hutang. Sehingga sangat diperlukan konsistensi dari pemerintah daerah untuk dapat menyokong PDAM dalam menyediakan air bersih dengan tarif di bawah biaya pokok produksi.

Selain ketiga kuadran tersebut, masih terdapat kuadran IV yakni kelompok Provinsi yang memiliki tingkat kinerja yang sehat dengan selisih tarif yang positif. Namun pada tahun 2008 tidak terdapat satupun provinsi di dalam kuadran tersebut. Kondisi ini merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam pengembangan pengelolaan air bersih di Indonesia.

Adanya selisih antara tarif pelayanan dengan biaya produksi menuntut PDAM untuk dapat memperoleh pendanaan alternatif. Sumber pembiayaan alternatif tersebut dapat dari subsidi pemerintah maupun penarikan hutang guna menutupi kekurangan pendapatan usaha. Pemberian subsidi dari pemerintah tidak terlepas dari argument bahwa penyediaan air minum merupakan salah satu tugas wajib pemerintah terutama pemerintah daerah. Oleh karena itu, PDAM dalam operasinya mengemban misi public service obligation (PSO) sehingga layak untuk diberikan bantuan oleh pemerintah daerah. Jalan lain untuk menutup kekurangan pendapatan tersebut dilakukan dengan cara menarik hutang.

Gambar 5.10. Perkembangan Rasio Hutang Terhadap Total Aset PDAM di Indonesia

Kondisi hutang PDAM mulai mengalami perbaikan saat ini. Kebijakan restrukturisasi hutang PDAM yang dilakukan pemerintah pusat melalui penghapusan beban bunga dan denda hutang sedikit membantu neraca hutang PDAM. Hal ini menyebabkan mulai menurunnya rasio hutang PDAM terhadap total aset. Secara nasional rasio tersebut menurun dari 0,55 di tahun 2006 menjadi 0,53 pada tahun 2008. Sedangkan bagi PDAM di daerah Kota penurunan terjadi lebih besar dari 0,80 pada tahun 2006 menjadi 0,63 pada tahun 2008.

Penurunan tingkat hutang tentunya memberikan indikasi positif bagi perkembangan kinerja PDAM. Penarikan hutang akan menjadi permasalahan tersendiri bagi PDAM. Ibarat pedang bermata dua, penarikan hutang akan menambah tingkat likuiditas PDAM yang dapat digunakan untuk membiayai produksi maupun investasi pengembangan PDAM itu sendiri. Namun di sisi lain, penarikan hutang akan menimbulkan beban pengembalian hutang bagi PDAM di masa yang akan datang sehingga akan mempengaruhi keseimbangan kas dan peningkatan beban bunga. Dengan demikian, pengelolaan hutang yang tidak hati-hati justru akan berbalik mempengaruhi kinerja perusahaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, meningkatnya biaya pokok produksi PDAM di Indonesia disebabkan oleh kegagalan dalam pengelolaan hutang yang efektif. Dampak negatif hutang terhadap kinerja PDAM secara sekilas dapat dilihat dalam analisis kombinasi antara kinerja PDAM dan rasio hutang terhadap total aset PDAM di Indonesia menurut provinsi sebagaimana yang dijabarkan dalam Gambar 5.11 sebagai berikut.

Gambar 5.11. Posisi Kinerja PDAM dan Rasio Hutang Terhadap Total Aset Menurut Provinsi Tahun 2008

Dari hasil analisis kombinasi di atas, terlihat bagaimana provinsi yang memiliki PDAM dengan rasio hutang yang tinggi terutama yang melebihi total asetnya (pada kuadran I) cenderung memiliki tingkat kinerja yang lebih buruk dibandingkan provinsi lainnya. Sebaliknya 3 provinsi yang kinerja PDAM-nya sehat justru memiliki rasio hutang yang lebih rendah (kuadran IV). Selain itu, tidak terdapat PDAM yang berkinerja baik dengan rasio hutang yang tinggi (kuadran III). Hal ini menunjukkan pengelolaan hutang yang tidak efisien justru akan membebani kinerja perusahaan itu sendiri. Sehingga dalam upaya perbaikan kinerja perusahaan, restrukturisasi hutang PDAM perlu mendapatkan perhatian yang cukup.

Selain pemanfaatan sumber pembiayaan alternatif, cara lain guna meningkatkan sumber pendapatan PDAM dapat dilakukan dengan dua cara yakni melalui pengurangan pengeluaran (expenses optimalization) maupun peningkatan pendapatan air (maximize revenue). Pengurangan pengeluaran dilakukan melalui efisiensi perusahaan dengan menekan penggunaan biaya listrik, bahan kimia, maupun pemanfaatan sumber daya manusia yang tepat. Dengan demikian efisiensi tersebut diharapkan dapat menurunkan biaya pokok produksi sehingga defisit tarif dapat semakin mengecil. Cara kedua adalah melalui peningkatan pendapatan air. Cara ini dapat dilakukan melalui beberapa cara yang antara lain:
  • Meningkatkan Akurasi Pembacaan Meter
  • Meterisasi (Penggantian Meter)
  • Recategory (Akurasi Klasifikasi Pelanggan)
  • Sweeping
  • Pressure Management (Pengaturan Tekanan Air)
  • Percepatan PSB
  • Marketing
  • Percepatan Operasi

Melalui usaha-usaha peningkatan sumber pendapatan tersebut diharapkan kinerja keuangan PDAM dapat menjadi lebiih baik, sehingga kinerja perusahaan dan kualitas produk air yang dihasilkan diharapkan dapat meningkat seiring peningkatan kinerja keuangan perusahaan.

Kinerja Umum PDAM di Indonesia


Kinerja PDAM di Indonesia diukur dengan menggunakan kriteria keuangan, manajemen dan operasional yang terdiri dari 13 indikator terpilih. Adapun kriteria, Indikator dan bobot masing-masing dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel 5.1 Kriteria dan Bobot Pengukuran Kinerja PDAM



Dari hasil pembobotan terhadap 13 indikator kinerja PDAM tersebut akan diperoleh indeks tingkat kinerja dari PDAM yang dinilai.
Kategori kinerja dibagi menjadi tiga kategori yakni Sehat, Kurang Sehat, dan Sakit. Adapun pembagian kategori kinerja PDAM dapat dilihat dalam Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Kategori Kinerja PDAM


Berdasarkan hasil pengukuran secara agregat
pada tahun 2008, secara nasional kinerja PDAM di Indonesia masih tergolong kurang sehat (lihat Tabel 5.3). Hasil ini menggambarkan kondisi pengelolaan air minum perpipaan yang belum optimal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), permasalahan umum PDAM adalah sebagai berikut:
  • Hutang yang sangat besar
  • Cakupan Pelayanan rendah
  • Tingkat kehilangan air tinggi
  • Tingkat penagihan piutang rendah
  • Meningkatnya komponen biaya produksi
  • Tarif yang belum menutupi biaya produksi
  • Inefisiensi tenaga kerja
  • Kebijakan investasi kurang terarah
  • Campur tangan Pemda & DPRD terlalu besar dalam pengambilan kebijakan.
Kinerja yang tidak sehat menggambarkan kondisi dari sebagian besar PDAM yang beroperasi di Indonesia memiliki kondisi keuangan yang tidak sehat akibat mengalami keterikatan terhadap hutang dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini disebabkan tingkat tarif yang berada di bawah biaya produksi di sebagaian besar daerah menyebabkan banyak PDAM mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Dampaknya terhadap sisi teknis, ketidakcukupan tarif layanan terhadap biaya produksi menyebabkan kualitas air yang disediakan belum memadai dari sisi kualitas maupun kesinambungan investasi untuk ekspansi usaha sehingga menimbulkan keluhan dari pelanggan pengguna jasa layanan PDAM. Sedangkan dari pengelolaan manajemen perusahaan juga belum dapat dinilai efisien. Akuntabilitas perusahaan yang belum terbuka hingga masuknya intervensi birokrasi dalam pengambilan keputusan perusahaan, menyebabkan PDAM cenderung bertindak lambat dalam merespon dinamika pasar hingga penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Pengelolaan sumber daya manusia yang berlebihan menyebabkan tingkat produktivitas pegawai yang rendah sehingga semakin membebani kondisi keuangan perusahaan. Dampaknya terjadi lingkaran kesulitan dana (vicious funding cycle) yang menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan untuk dapat beroperasi memenuhi standar kinerja yang diharapkan

Bila ditinjau dari kinerja PDAM di masing-masing provinsi, hanya provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten yang memiliki rata-rata kinerja PDAM dengan kategori sehat. Sedangkan provinsi lainnya masih tergolong kurang sehat. Rincian lebih lanjut rata-rata kinerja PDAM di Indonesia dapat dilihat dalam gambar 5.8.

Gambar 5.2. Rata-Rata Status Kinerja PDAM per Provinsi Tahun 2008


Ditinjau dari kinerja masing-masing PDAM di Indonesia pada tahun 2008, PDAM yang memiliki kategori sehat masih tergolong minim. D
ari 324 PDAM yang telah diukur kinerjanya, baru 86 PDAM atau 26,5% dari total PDAM yang berkinerja sehat. Sedangkan 121 atau 37,3% PDAM berkinerja kurang sehat dan 117 atau 36,1% dinyatakan sakit.

Gambar 5.3. Kinerja PDAM di Indonesia Tahun 2008


Selain itu, Distribusi kinerja PDAM menurut provinsi turut menunjukkan penyebaran kinerja PDAM yang tidak merata.
Sejumlah provinsi bahkan sama sekali tidak memiliki PDAM dengan kinerja yang sehat. Provinsi-provinsi tersebut meliputi Provinsi Jambi, Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Sedangkan Provinsi Banten merupakan provinsi dengan persentase PDAM berkinerja sehat terbesar yakni 66,7%.

Gambar 5.4. Distribusi PDAM Berkinerja Sehat Menurut Provinsi Tahun 2008

Tabel 5.3. Indikator Kesehatan PDAM di Perkotaan dan Kabupaten Tahun 2006 - 2008

Tabel 5.4. Indikator Tambahan PDAM di Perkotaan dan Kabupaten Tahun 2006 - 2008


Tabel 5.3 dan Tabel 5.4 diatas menjabarkan mengenai indikator kinerja secara agregat dari PDAM yang ada di Indonesia, baik yang beroperasi di wilayah administrasi kota maupun kabupaten. Dari tabel tersebut dapat dilihat secara umum belum terjadi peningkatan kinerja PDAM sepanjang kurun tahun 2006 – 2008. Walaupun secara sekilas terlihat terjadi perbaikan pada bebrapa indikator, tingkat perbaikan tersebut belum cukup signifikan untuk meningkatkan nilai kinerja dari PDAM yang beroperasi di Indonesia. Selain itu terlihat agregat kinerja PDAM di daerah kota sedikit lebih baik dibandingkan PDAM di daerah kabupaten. Untuk lebih menggambarkan kondisi kinerja PDAM di Indonesia dengan lebih komprehensif, akan dilakukan pembahasan indikator kinerja PDAM pada setiap kelompok indikator yakni keuangan, manajemen, dan teknik.