Selasa, 05 Januari 2010

ANALISIS EKONOMI DAN SOSBUD KOTA BANDUNG

dikerjakan bersama DR, Anang Muftiadi.

PEREKONOMIAN KOTA BANDUNG DALAM KONSTELASI JAWA BARAT


Perkembangan dan pembangunan suatu kota saling berkaitan dengan jumlah, struktur dan dinamika penduduknya, tingkat sosial ekonomi serta luas wilayahnya. Jumlah penduduk yang banyak memerlukan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, sehingga semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan sarana dan prasarana di kota tersebut. Tingkat sosial ekonomi dapat membentuk watak dan kualitas kehidupan penduduk. Kota dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah cenderung dapat menimbulkan kekumuhan, sebaliknya kota dengan tingkat sosial ekonomi yang baik cenderung akan lebih teratur. Pada aspek luas wilayah, akan berkaitan dengan tingkat mobilitas dan interaksi antar penduduk. Ketiga hal tersebut di atas merupakan faktor penting dalam penentuan strategi pembangunan suatu kota.

Dalam sudut pandang tersebut, Kota Bandung dapat dikatakan pusat aktivitas perekonomian Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan Kota Bandung menjadi magnet penarik bagi kota-kota disekitarnya. Kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Bandung telah menyatu dan relatif sulit untuk dapat dibedakan secara jelas dengan masyarakat daerah tetangga. Selain itu, pasca dibukanya akses jalan tol langsung menuju Kota Jakarta, Kota Bandung telah menjadi salah satu tujuan wisata favorit warga Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) khususnya di masa akhir pekan. Hal ini berdampak semakin besarnya permintaan khususnya barang konsumsi dan jasa di Kota Bandung yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi Kota Bandung.

Karena itu, analisis ekonomi Kota Bandung akan berkaitan erat dengan perkembangan daerah sekitarnya (Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung) serta Kota Jakarta. Bahkan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung sudah sedemikian menyatu, khususnya yang tinggal berdekatan dengan perbatasan kota. Kondisi ini dicirikan oleh penduduk yang dalam pergerakannya cenderung memusat ke Kota Bandung baik untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Karena itu, sebenarnya memisahkan secara administratif untuk kegiatan ekonomi Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung relatif sulit karena keduanya secara empiris saling berkaitan yang melebur (aglomerasi) dalam kesatuan daerah Bandung Metropolitan.

Gambar 1. Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung
dan Sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2006


Kawasan Bandung Metropolitan memiliki peranan yang signifikan dalam perekonomian Jawa Barat. Kawasan Bandung Metropolitan memberikan kontribusi sebesar 21% dari total PDB Jawa Barat, dimana Kota Bandung sendiri memiliki kontribusi terbesar yakni 10,03% dari perekonomian Jawa Barat. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung juga tergolong tinggi, atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan bahkan nasional. Pada tahun 2006 tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Bandung mencapai 7,83% dan diperkirakan pada tahun 2007 mencapai 8,24%. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa Kota Bandung adalah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting di Jawa Barat maupun di Indonesia.

Gambar 2. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung dan Jawa Barat tahun 2004-2007 (%)

STRUKTUR EKONOMI KOTA BANDUNG

Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp.51,3 trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp.22.640.000,-. Tingkat pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi sekitar 36,4% dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor industri pengolahan sekitar 29,8%. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sekitar 10,8% demikian juga dengan sektor jasa-jasa. Pembentukan investasi di Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai Rp.5,4 trilyun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp.4,2 trilyun.

Sebagai pusat perekonomian Jawa Barat dan sekaligus sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, aktivitas ketenagakerjaan di Kota Bandung pada umumnya adalah pada sektor jasa dan perdagangan. Pada tahun 2007, 36,7% penduduk Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sebanyak 24,9% tenaga kerja Kota Bogor bekerja di sektor jasa yang meliputi jasa pemerintahan umum dan swasta. Walaupun menyerap tenaga kerja dalam jumlah terbesar, namun bila dibandingkan dengan jumlah produksi ekonomi, maka produktivitas tenaga kerja di sektor jasa-jasa jauh lebih rendah dibandingkan sektor lainya. Kondisi ini menunjukkan pekerja sektor jasa yang di dalamnya meliputi jasa pemerintahan umum dan sosial kemasyarakatan relatif mendapat tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang relatif rendah atau distribusi pendapatan di sektor ini tidak merata. Selain itu ada kemungkinan sektor jasa-jasa menampung banyak tenaga kerja kurang produktif, sehingga ada potensi pengangguran semu cukup besar pada sektor ini.

Gambar 3. Kontribusi Sektor Ekonomi dan Persentase Serapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi Kota Bandung Tahun 2007 (%)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 2007 Kota Bandung sebesar 49,44%. Angka ini jauh di bawah TPAK Jawa Barat yang mencapai 62,51%. TPAK Kota Bandung yang masih rendah disebabkan oleh struktur penduduk Kota Bandung yang walaupun lebih didominasi oleh penduduk pria (50,77%), namun pada usia produktif struktur penduduk Kota Bandung justru lebih didominasi oleh perempuan (50,95%), atau dengan kata lain jumlah penduduk pria yang besar lebih banyak pada penduduk usia yang tidak produktif. Selain itu, sebagai salah satu kota tujuan pendidikan di Indonesia, menjadikan penduduk usia sekolah di Kota Bandung sebagian besar memilih untuk tidak berada di dalam angkatan kerja. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk Kota Bandung yang terlibat dalam angkatan kerja cenderung lebih rendah dibandingkan daerah lain di Jawa Barat.

Permasalahan lain, walaupun TPAK Kota Bandung tidak terlalu besar, jumlah pengganguran terbuka Kota Bandung justru tergolong tinggi. Pada tahun 2007 Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT) di Kota Bandung mencapai 21,92%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan TPT Jawa Barat yang mencapai 13,08% pada tahun 2007. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa perekonomian Kota Bandung telah terintegrasi dengan perekonomian daerah sekitarnya (Metropolitan Bandung). Sehingga walaupun TPAK di Kota Bandung cenderung lebih rendah, tetap tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan karena sebagian kebutuhan tenaga kerja di Kota Bandung telah dipenuhi oleh pekerja dari penduduk daerah penyangga Kota Bandung.

Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kota Bandung



Selanjutnya dapat dianalisis tentang PDRB per kapita sebagai pendekatan untuk perhitungan rata-rata pendapatan penduduk walaupun relatif kurang tepat. Dari tahun 2003-2007, PDRB perkapita penduduk Kota Bandung mengalami kecenderungan peningkatan yang cukup pesat yakni rata-rata, mengalami peningkatan mencapai 20% setiap tahunnya. Hal ini semakin menunjukkan eksistensi Kota Bandung sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Selain itu, walaupun meningkat dengan pesat, pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung relatif merata dirasakan oleh penduduknya. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pemerataan pendapatan di Kota Bandung yang relatif lebih baik daripada pemerataan pendapatan Jawa Barat maupun Nasional. Pada tahun 2005 koefisien gini ratio Kota Bandung sebesar 0,159, nilai ini lebih rendah dari koefisien gini ratio Jawa Barat yang sebesar 0,191 maupun tingkat nasional yang mencapai 0,39. Artinya distribusi pendapatan di Kota Bogor relatif lebih merata dibandingkan kabupaten/kota di Jawa Barat maupun secara nasional.

Gambar 4. Koefisien Gini Kab/Kota Jawa Barat

Intensitas kegiatan ekonomi pada umumnya berbeda-beda menurut lokasinya. Intensitas ini juga terkait dengan penggunaan lahan yang ada di area tersebut. Lahan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi secara perlahan akan menggeser penggunaannya dari permukiman menjadi area komersial. Dalam situasi ini, umumnya kebutuhan lahan semakin didorong oleh upaya pencapaian produktivitas ekonomi yang lebih tinggi atas lahan tersebut.

Struktur ekonomi Kota Bandung, terutama berasal dari kegiatan sektor jasa (tersier) dan sektor industry pengolahan (sekunder). Tingkat produktivitas ekonomi lahan untuk berbagai jenis kegiatan ekonomi yang ada di Kota Bandung secara umum dapat dianalisis dengan nilai produktivitas lahan per km2. Semakin tinggi nilai produktivitas ekonomi, menunjukkan bahwa setiap km2 area di daerah tersebut memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi bila dibandingkan daerah lainnya. Tingkat produktivitas lahan dapat dibedakan ke dalam nilai bruto (kotor) dan neto (bersih). Nilai produktivitas ekonomi lahan bruto menunjukkan nilai produktivitas ekonomi rata dari seluruh lahan di suatu wilayah, atau tidak spesifik mengacu pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi saja. Tingkat produktivitas ekonomi lahan ini dapat diklasifikasi menurut kecamatan yang ada di Kota Bandung.

Pada tahun 2002 nilai produktivitas ekonomi lahan (bruto) Kota Bandung adalah Rp.126 milyar per km2 dan terus mengalami peningkatan, hingga tahun 2007 mencapai Rp.307 milyar per km2. Kenaikan nominal nilai produktivitas lahan ini relatif sangat cepat dalam masa 5 tahun tersebut, yaitu rata-rata tumbuh 19,54% pertahun. Namun bila mempertimbangkan adanya tingkat inflasi atau produktivitas ekonomi riil, maka pada dasarnya rata-rata pertumbuhan lebih lambat, yaitu 7,68% pertahun. Kenaikan produktivitas nominal yang tinggi dapat menjadi indikasi tuntutan produktivitas ekonomi yang lebih tinggi atau dapat menurunkan daya saing ekonomi. Artinya dibutuhkan biaya investasi dan operasional yang lebih tinggi per luasan lahan tertentu. Perkembangan produktivitas ekonomi lahan (bruto) di Kota Bandung dari tahun 2002-2007 dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut ini,

Gambar 5. Produktivitas Ekonomi Lahan Bruto
Kota Bandung Tahun 2002-2007

Selanjutnya nilai produktivitas ekonomi lahan bruto di Kota Bandung, khususnya pada tahun 2006 dapat dikelompokkan menurut Kecamatan. Pengelompokkan ini dapat menunjukkan kecamatan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi dalam konsep ruang wilayah. Intensitas ekonomi per luasan wilayah yang relatif tinggi di Kota Bandung adalah Cicendo, Andir, Astanaanyar dan Babakan Ciparay. Kecamatan yang tergolong sedang antara lain Bandung Wetan, Bandung Kulon, Ujungberung, Regol, Kiaracondong, Batununggal, Cibeunying Kidul, Bojongloa Kidul, Sukajadi dan Gedebage. Secara faktual, kecamatan-kecamatan tersebut menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi penting di Kota Bandung. Keberadaan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut dapat mendorong pergerakan penduduk untuk bekerja atau beraktivitas ekonomi. Dengan demikian posisi kecamatan ini dapat menjadi pembangkit pergerakan penduduk.

Tabel 2. Klasifikasi Kecamatan Menurut
Produktivitas Ekonomi Lahan Bruto Tahun 2006


Nilai produktivitas ekonomi lahan Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh sektor perdagangan dan jasa. Wilayah yang memiliki kontribusi yang besar dari kedua sektor tersebut hampir dapat dipastikan memiliki produktivitas ekonomi lahan yang tinggi. Sedangkan sektor pertanian dinilai tidak memberikan nilai ekonomi yang signifikan terhadap lahan. Hal ini terlihat dari wilayah dengan konsentrasi pertanian yang tinggi justru tidak memiliki produktivitas ekonomi lahan yang tinggi. Secara lebih lengkap sebaran kegiatan ekonomi Kota Bandung dijabarkan dalam gambar berikut.

Gambar 6. Sebaran Kegiatan Ekonomi Kota Bandung


Selain itu, dapat dianalisis antara kecamatan dengan intensitas kegiatan ekonomi tinggi dengan tingkat kepadatan penduduknya. Dengan dasar klasifikasi adalah rata-rata kepadatan penduduk per km2 dan produktivitas ekonomi per km2, maka dapat diperoleh informasi klasifikasi sebaran penduduk dan aktivitas perekonomian Kota Bandung. Kecamatan Bandung Wetan, Cicendo dan Ujungberung termasuk kecamatan dengan produktivitas ekonomi tinggi, namun tingkat kepadatan penduduk di bawah rata-rata. Daerah-daerah seperti ini dapat menjadi orientasi pergerakan kerja penduduk. Selanjutnya kecamatan Andir, Astanaanyar, Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Batununggal, Bojongloa Kidul, Cibeunying Kidul, Kiaracondong, Regol dan Sukajadi termasuk memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi termasuk pula pusat kepadatan penduduk. Posisi kecamatan di atas dapat dituangkan ke dalam gambar berikut ini,

Gambar 7. Sebaran Penduduk dan Kegiatan Ekonomi Kota Bandung


Dari hasil sebaran penduduk dan kegiatan ekonomi Kota Bandung tersebut dapat terlihat bagaiman pola pergerakan penduduk tidak hanya terjadi di dalam Kota Bandung sendiri, namun turut pula melibatkan penduduk dari daerah sekitar (Metropolitan Bandung). Hal ini harus diantisipasi dengan penyediaan sarana dan prasarana perhubungan yang lebih memadai untuk dapat menampung aktivitas pergerakan penduduk tersebut tanpa menyebabkan terjadinya kemacetan arus transportasi baik dalam Kota Bandung sendiri maupun daerah perbatasan.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat, penduduk yang terdidik, dan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah (tingkat Man Power Kota Bandung mencapai 73,74%, hal ini belum termasuk daerah sekitar Metropolitan Bandung) membantu Kota Bandung sebagai Kota yang cocok digunakan sebagai tempat investasi. Hal ini turut dibuktikan melalui hasil survei tingkat kepuasan dan rekomendasi investasi yang dilakukan oleh Majalah Swa pada tahun 2009, mendudukan Kota Bandung sebagai kota kedua yang paling banyak direkomendasikan sebagai tujuan investasi setelah Kota Pekanbaru. Tingkat kepuasan dan rekomendasi yang tinggi menjadi peluang yang sangat besar bagi Kota Bandung untuk mengembangkan diri menjadi kota jasa yang Bermartabat. Untuk itu, perlu persiapan yang matang untuk menyambut perkembangan Kota Bandung menjadi kota jasa yang metropolitan. Pembangunan hunian vertikal mau tidak mau harus dijadikan tren gaya hidup baru guna mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang semakin besar. Selain itu, Kota Bandung memerlukan reformasi dan penataan kembali pola transportasi masal yang lebih efektif untuk menghindari terjadinya stagnasi akibat kelebihan beban angkutan dibandingkan volume jalan yang ada.

Gambar 8. Persepsi Pengusaha dalam Kota Tujuan Investasi


SOSIAL DAN BUDAYA

Kesejahteraan penduduk secara umum dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen, yaitu derajat pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sebagai indikator utama, pada dasarnya IPM adalah berfungsi sebagai indikator impact, yaitu terbentuk karena banyak aspek pembangunan yang dilakukan. Pada tahun 2007 IPM Kota Bandung mencapai 78,09, dibentuk oleh indeks kesehatan sebesar 80,65, indeks pendidikan sebesar 89,60, dan indeks daya beli masyarakat sebesar 64,04. Indeks tertinggi adalah indek pendidikan yang semakin mengukuhkan Kota Bandung sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia.

Tabel 3. Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung Tahun 2004-2007


Kecamatan Sukasari tercatat sebagai kecamatan dengan nilai IPM terbaik yakni 81,03. Sebaliknya Kecamatan Kiaracondong memiliki nilai IPM terendah yakni 76,69. Walaupun demikian, berdasarkan kriteria UNDP, tingkat IPM yang mencapai Kecamatan Kiaranconding yang sebesar 76,69, telah mencapai status pembangunan manusia pada tingkat menengah atas. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat Kota Bandung dapat dikatakan sudah cukup baik dalam hal kesehatan, pendidikan dan daya belinya.

Gambar 9 Pencapaian Pembangunan Manusia Kecamatan di Kota Bandung

Pada tahun 2004 IPM Kota Bandung mencapai 77,17 dan sampai dengan tahun 2007 relatif tumbuh sangat lambat. Mengikuti pola tersebut, dapat diproyeksikan IPM sampai dengan tahun 2013. Struktur IPM Kota Bandung bervariasi menurut aspeknya. Indeks Pendidikan adalah indeks tertinggi, sedangkan Indeks Daya Beli adalah indeks terendah. Berdasarkan data yang ada, Indeks Kesehatan adalah indeks yang diperkirakan dapat mengalami pertumbuhan paling cepat. Bila pada tahun 2007 adalah sekitar 80, maka ada kemunngkinan dapat mengalami peningkatan hingga 91, atau sedikit lebih rendah daripada indeks pendidikan. Indeks pendidikan walaupun mengalami peningkatan, namun peningkatan relatif lambat. Perkembangan yang mengkuatirkan adalah Indeks Daya Beli, yang terdapat kecenderungan mengalami penurunan karena beberapa ancaman, misalnya inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan perubahan-perubahan ekonomi makro lain yang menyebabkan penurunan daya beli.

Lebih lanjut, sebaran tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bandung dijabarkan dalam gambar berikut:

Gambar 10. Sebaran Kesejahteraan Penduduk Kota Bandung

Dari sebaran tersebut dapat terlihat bagaimana, tingkat kesejahteraan wilayah utara dan timur Kota Bandung relatif lebih baik daripada wilayah selatan dan barat. Hal ini menunjukkan masih diperlukan upaya pemerataan pembangunan Kota Bandung khususnya di daerah selatan Kota Bandung yang relatif masih tertinggal dibandingkan wilayah lainnya di Kota Bandung.

PROSPEK DAN KEBUTUHAN PERUMAHAN JANGKA MENENGAH DI INDONESIA 2010 - 2014.

Tempat tinggal dan lingkungan yang layak merupakan hak dasar manusia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H. Pembangunan perumahan dalam rangka memenuhi hak tersebut dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, agar mampu menghuni rumah yang layak huni dan terjangkau.

Pembangunan perumahan akan sangat dipengaruhi dari dua sisi, yakni sisi permintaan (demand) dan penawaran (supply). Dari sisi permintaan, rumah merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia, sehingga pertumbuhan jumlah penduduk memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap pertumbuhan kebutuhan atas rumah. Selain dari sisi kuantitas yang tersedia, kebutuhan atas rumah juga mencakup kebutuhan atas prasarana, sarana, dan utilitas yang baik dan didukung dengan lingkungan yang sehat.

Dari sisi penawaran (supply) pembangunan perumahan akan digerakkan oleh tiga pelaku utama yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat. Peran ketiga pelaku tersebut dapat dilihat melalui beberapa variabel makroekonomi yang akan mewakili ketiga unsur pelaku pembangunan tersebut. Peran pemerintah dalam pembangunan perumahan diwujudkan melalui belanja perumahan dan fasilitas umum, masyarakat melalui konsumsi rumah tangga terhadap rumah dan perlengkapan rumah tangga, sedangkan peran swasta dapat diwakili melalui variabel laju pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan pertumbuhan investasi maupun pertumbuhan tingkat output yang dihasilkan dalam perekonomi.

Oleh karena itu, untuk melihat bagaimana pembangunan perumahan secara sederhana dapat dilakukan melalui bentuk model makroekonomi sebagai berikut:

〖Rumah〗_t= ∝_0+ ∝_1 〖Gov〗_t+ ∝_2 〖Mas〗_t+ ∝_3 〖LPE〗_t+ϵ_t

Dimana:
Rumah : Jumlah Rumah Terbangun
Gov : Pengeluaran pemerintah untuk perumahan dan fasilitas umum
Mas : Pengeluaran Masyarakat untuk rumah dan perlengkapan rumah tangga
LPE : Laju pertumbuhan ekonomi
α : Konstanta
t : Waktu (tahun)

Kebutuhan Perumahan Jangka Menengah

Pada tahun 2004, jumlah kekurangan rumah (backlog) di Indonesia mencapai 5,8 juta unit. Nilai ini diperkirakan meningkat menjadi 7,4 juta unit pada tahun 2009 akibat pembangunan perumahan tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan masyarakat. Untuk itu, guna menurunkan angka backlog yang ada, pembangunan perumahan harus mampu menyamai tingkat pertumbuhan rumah tangga serta jumlah backlog yang ingin diselesaikan.

Sepanjang periode 2010 – 2014, pertumbuhan rumah tangga baru diperkirakan akan mencapai 3,54 juta rumah tangga. Dengan demikian dengan target penurunan backlog sebesar 25% atau 1,84 juta rumah pada periode RPJM 2010 – 2014, maka kebutuhan pembangunan perumahan pada periode 2010 – 2014 akan mencapai 5,39 juta unit.

Tabel 1. Kebutuhan Pembangunan Perumahan 2010 – 2014

sumber: Hasil Perhitungan (2009)

Prospek Ekonomi Jangka Menengah

Sebagaimana model makroekonomi sederhana yang telah dibangun diatas, untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah jangka panjang akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pengeluaran pemerintah dan masyarakat atas perumahan dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Secara makro perkembangan perekonomian dunia yang memburuk dan belum munculnya tanda-tanda akan segera berakhirnya krisis global menyebabkan prospek perekonomian Indonesia ke depan masih diliputi oleh nuansa ketidakpastian yang tinggi. Dampak krisis dipastikan akan memberikan tekanan yang cukup signifikan, tidak saja pada perekonomian domestik jangka pendek, namun juga akan mempengaruhi lintasan variabel-variabel kunci ekonomi makro dalam jangka menengah.

Walau demikian, perekonomian Indonesia dalam jangka menengah diperkirakan akan tetap bergerak dalam lintasan pertumbuhan ekonomi yang makin tinggi, namun mampu dibarengi dengan tetap terkendalinya tingkat inflasi. Permintaan domestik diperkirakan akan tetap menjadi kekuatan utama pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah ditunjukkan dalam satu dasawarsa terakhir. Sementara itu, kinerja ekspor juga akan kembali mengalami penguatan sejalan dengan mulai bangkitnya perekonomian global. Kuatnya sisi permintaan ini mampu diimbangi dengan meningkatnya daya dukung kapasitas perekonomian, sehingga mampu menjaga kecukupan di sisi produksi. Terjaganya keseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran inilah yang merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan perekonomian mampu terus tumbuh tanpa harus mengorbankan stabilitas harga.

Dengan adanya optimisme keberhasilan implementasi kebijakan penanganan krisis di berbagai negara terutama di negara maju seperti AS dan negara-negara di kawasan Eropa, perekonomian dunia diperkirakan mulai mengalami rebound pada tahun 2010. Ekspansi perekonomian dunia tersebut diharapkan terus berlanjut secara bertahap hingga tahun 2014. Untuk Indonesia, keberhasilan implementasi paket stimulus fiskal yang berspektrum jangka pendek terkait dengan upaya pencegahan dan penanganan dampak krisis, juga menjadi pijakan yang sangat penting dan menentukan keberhasilan program perbaikan ekonomi dalam jangka menengah.

Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia, perekonomian Indonesia pada tahun 2013 dan 2014 diprakirakan dapat tumbuh masing-masing pada kisaran 5,7 - 6,7% dan 6,0 - 7,0%. Sementara itu, laju inflasi pada tahun 2013 dan 2014 diprakirakan akan berada dalam kisaran 4,4 - 5,4% dan 4,0 - 5,0%, serta pertumbuhan ekspor pada 2014 diperkirakan mencapai 10,5-11,5%.

Tabel 2. Proyeksi Perekonomian Indonesia 2010 – 2014

Kebutuhan Anggaran Pembangunan Perumahan

Kebutuhan anggaran pembangunan perumahan akan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan pembangunan itu sendiri. Anggaran pembangunan perumahan tersebut kemudian akan disalurkan melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat sebagai pelaksana tugas perumahan di Indonesia.

Dalam pembahasan ini, akan disusun dua skenario kebutuhan anggaran pembangunan perumahan. Skenario pertama adalah skenario pertumbuhan anggaran berdasarkan proyeksi ekonomi jangak menengah Indonesia. Skenario ini disusun untuk memprediksi seberapa besar jumlah rumah yang akan terbangun berdasarkan asumsi kenaikan konsumsi perumahan pemerintah dan masyarakat sesuai dengan proyeksi pertumbuhan jangka menengahnya. Dalam skenario ini turut diperhitungkan laju pertumbuhan ekonomi sehingga dapat diestimasi berapa banyak rumah yang dapat dibangun dengan sumber daya yang tumbuh berdasarkan proyeksi perekonomian jangka menengah. Dengan demikian, dapat diketahui berapa besar tingkat pencapaian pembangunan yang realitis yang dapat terealisasi dibandingkan kebutuhan rumah yang harus disediakan guna mendapatkan kondisi yang ideal.

Skenario kedua adalah skenario kebutuhan anggaran pembangunan pemerintah yang ideal. Skenario ini disusun untuk memprediksi seberapa besar anggaran perumahan yang dibutuhan oleh pemerintah agar dapat memenuhi target pembangunan guna memenuhi kebutuhan masyarakat atas ketersediaan perumahan yang ideal. Dalam skenario ini ditentukan jumlah rumah yang ingin dicapai serta pertumbuhan ekonomi dan konsumsi masyarakat sesuai dengan hasil proyeksi jangka menengah. Dengan demikian dapat diketahui seberapa besar kebutuhan dana yang harus dianggarkan oleh pemerintah serta seberapa besar anggaran yang dibutuhkan oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat sebagai pelaksana fungsi bidang perumahan di Indonesia.

Skenario 1 : Target Baseline

Proyeksi jangka menengah Indonesia menunjukkan adanya trend peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik pada tahun 2014 perekonomian Indonesia diyakini mampu tumbuh pada kisaran 6,0 – 7,0% yang didorong oleh perbaikan kondisi perekonomian dunia serta penguatan permintaan domestik. Hal tersebut diyakini pula akan mampu mendorong konsumsi masyarakat sehingga trend pertumbuhannya akan semakin baik dan mencapai 5,1 - 6,1% pada akhir tahun 2014. Sementara itu, konsumsi pemerintah diperkirakan akan semakin menurun yang disebakan oleh arah kebijakan fiskal yang mengedepankan tercapainya sustainabilitas fiskal (seperti tertuang dalam Kerangka APBN Jangka Menengah-APBN 2009). Dengan kondisi yang demikian, pengeluaran pemerintah yang terdiri atas pengeluaran konsumsi dan investasi diperkirakan mengalami trend pertumbuhan yang menurun dan akan tumbuh pada kisaran 3,8 - 4,8% pada tahun 2014.

Berdasarkan proyeksi perekonomian jangka menengah tersebut, secara umum pengeluaran pembangunan bidang perumahan dan fasilitas umum yang dapat direalisasikan oleh pemerintah akan sebesar Rp. 110,72 Triliun sepanjang periode 2010 – 2014. Nilai tersebut, bila melihat rata-rata peran dan bagian Kementerian Perumahan Rakyat terhadap pembanguan perumahan dan fasilitas umum (secara rata-rata hanya sebesar 5,58% dari anggaran pembangunan perumahan dan fasilitas umum) maka jumlah dana yang dapat disediakan kepada Kementerian Negara Perumahan Rakyat akan mencapai Rp. 6,18 Triliun untuk jangka waktu 2010 – 2014.

Dengan anggaran sebesar itu, sepanjang periode RPJM 2010 – 2014 diperkirakan akan tercapai pembangunan perumahan sebanyak 2,38 juta unit. Pencapaian ini hanya mampu memenuhi 43,77% dari target kebutuhan pembangunan perumahan pada periode tersebut. Tidak terpenuhinya target pembangunan RPJM ini, akan berdampak pada meningkatnya jumlah backlog menjadi 8,56 juta unit pada akhir tahun 2014.

Skenario 2 : Target Ideal

Dalam skenario ini, dilakukan pembalikan arah dimana jumlah rumah terbangun akan ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan target kebutuhan pembangunan perumahan pada periode RPJM 2010 – 2014 sehingga kemudian dapat diketahui berapa besar dana pembangunan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk memenuhi target tersebut. Adapun variabel lain, seperti konsumsi masyarakat dan laju pertumbuhan ekonomi diasumsikan akan tumbuh sesuai dengan proyeksi perekonomian jangka menengah.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk dapat memenuhi target pembangunan perumahan sebanyak 5,39 juta unit pada periode RPJM 2010 – 2014, total anggaran pembangunan perumahan dan fasilitas umum yang harus disediakan oleh pemerintah mencapai Rp. 368,5 Triliun. Dari dana tersebut maka kebutuhan anggaran Kementerian Negara Perumahan Rakyat untuk dapat memenuhi target RPJM mencapai Rp. 20,57 Triliun sepanjang periode 2010 – 2014. Besaran dana tersebut dengan asumsi bahwa tidak terjadi perubahan Tupoksi dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Sehingga apabila terjadi penambahan Tupoksi seperti penugasan penanganan permukiman kumuh, maka jumlah anggaran yang dibutuhkan tentu akan semakin besar dari nilai tersebut.

Anggaran ini 3,3 kali lebih besar dibandingkan jumlah anggaran yang mampu disediakan oleh pemerintah berdasarkan kondisi perekonomian jangka menengah (skenario 1). Padahal jumlah rumah yang terbangun dengan dana tersebut hanya 2,3 kali lebih besar dibandingkan skenario 1. Perbedaan antara peningkatan jumlah anggaran dengan jumlah pencapaian pembangunan antara skenario 1 dan skenario 2, disebabkan dalam skenario 2 kondisi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi masyarakat adalah sama dengan kondisi pada skenario 1. Sehingga setiap usaha untuk dapat meningkatkan jumlah pembangunan perumahan dari kemampuan skenario 1, seluruhnya harus ditanggung oleh dana pemerintah karena sektor lainnya sudah mencapai nilai optimalnya. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan proporsi dana yang jauh lebih besar dibandingkan hasil pembangunan yang akan diperoleh.

Tabel 3 Perbandingan Kebutuhan Anggaran Kemenpera
dan Pencapaian Pembangunan Perumahan
sumber: Hasil Perhitungan (2009)

Kesimpulan

Secara umum, bila dilihat dari prospek perkembangan perekonomian dalam jangka menengah, anggaran Kementerian Negara Perumahan Rakyat yang mampu disediakan oleh pemerintah sepanjang periode RPJM 2010 – 2014 adalah sebesar Rp. 6,18 Triliun. Dengan anggaran sebesar tersebut, pembangunan perumahan yang dapat direalisasikan diperkirakan akan mencapai 2,36 juta unit atau hanya 43,77% dari target pembangunan sepanjang periode RPJM 2010 – 2014. Selain itu dengan pencapaian sebesar itu, jumlah kekurangan rumah (backlog) pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,56 juta unit. Untuk dapat memenuhi target pembangunan perumahan yang diamanatkan yakni menurunkan 25% angka backlog pada akhit tahun 2014, Kementerian Negara Perumahan Rakyat memerlukan anggaran sebesar Rp. 20,57 Trilun sepanjang periode 2010 – 2014.

Sabtu, 02 Januari 2010

Aspek Ekonomi TBT: Masyarakat Tak Hanya Butuh Lemon!

I. Mengapa TBT Diperlukan?

Standard dan label dapat muncul secara sukarela di sektor swasta sebagai alat diferensiasi produk dalam lingkungan persaingan kompetitif. Namun perlu ditekankan bahwa terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan akibat adanya informasi yang tidak sempurna memerlukan standard, regulasi teknis, dan kebutuhan pelabelan sebagai tujuan kebijakan domestik yang murni berhubungan dengan perlindungan konsumen yang secara tidak sengaja dapat membatasi impor.

Kedua, peraturan intervensi dalam upaya perlindungan konsumen yang menjadi tugas pemerintah, dalam kenyataannya mungkin dilakukan sebagai kedok untuk melakukan perlindungan kepada industri domestik dari persaingan terhadap produk impor. Untuk membedakan apakah ukuran restriksi yang diterapkan merupakan murni bagi perlindungan konsumen dengan yang didisain untuk melakukan perlindungan industri domestik, dalam pelaksanaannya, dapat saja menimbulkan keteganggan dalam perdagangan.

TBT Agreement bertujuan untuk meyakinkan bahwa standard, regulasi teknis, pengujian dan prosedur sertifikasi tidak berubah menjadi hambatan bagi perdagangan internasional yang tidak diperlukan. kesepakatan tersebut mengakui hak suatu negara untuk mengadopsi standard yang diperlukan untuk mencapai tujuan kebijakan domestik yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, lingkungan, binatang, tumbuhan, dan keselamatan manusia. Namun tidak untuk upaya perlindungan industri domestik yang dapat melahirkan persaingan perdagangan yang tidak sehat antara mitra dagang WTO.

Dengan menggunakan prinsip dasar GATT yakni non-discrimination melalui most-favored nation dan national treatment, regulasi teknis dan standard tidak dapat digunakan untuk menghalangi impor barang akibat adanya preferensi atas suatu negara.

II. Aspek Ekonomi TBT.

Pelabelan (melalui sertifikasi standar) menurunkan biaya informasi bagi konsumen. Beberapa bentuk label memiliki proteksi langsung terhadap konsumen seperti persyaratan label yang ada di produk makanan maupun peringatan kesehatan dalam rokok. Selain itu, beberapa bentuk label berhubungan dengan beberapa informasi yang menyangkut persoalan etika, seperti penggunaan tenaga kerja anak dan lainnya.

Sisi ekonomi dari penerapan label dan standard teknis adalah untuk memperbaiki kegagalan pasar akibat dari adanya informasi yang tidak sempurna dan eksternalitas negatif. Pelabelan juga digunakan untuk perbaikan ketidakadilan dalam akses terhadap informasi. Karena informasi yang ada tidak sempurna, pasar akan menghasilkan dampak yang tidak efisien.

Jika konsumen tidak memiliki keyakinan tentang kualitas yang sebenarnya dari suatu barang, maka harga yang ingin dibayarkan (willingness to pay) turut menjadi tidak pasti. Kondisi ini biasanya akan berdampak pada rata-rata harga pasar yang lebih rendah dan akan mengurangi insentif bagi penjual dengan kualitas baik untuk masuk ke pasar, sehingga pasar akan didominasi oleh barang-barang berkualitas buruk (“lemons”).

Sementara itu dari sisi produsen, kepentingan untuk menggunakan label adalah untuk memastikan bahwa penjualan yang dilakukan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama. Tingkat kepuasan konsumen atas suatu barang biasanya ditentukan dari pengalaman penggunaan barang tersebut. Sehingga penjual akan tidak berinsentif untuk melakukan kecurangan pada pasar yang penjualan berlaku secara berkelanjutan (repeated purchase market) atau adanya kebebasan konsumen untuk keluar dari pasar dan menginformasikan kualitas produk tersebut kepada konsumen yang lainnya. Oleh karena itu, sertifikasi (pelabelan) yang akurat dan kredibel akan meningkatkan efisiensi pasar melalui pengalokasian sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan keinginan konsumen.

Namun, pasar akan gagal dalam rangka melaksanakan sertifikasi yang bertujuan untuk mengunggkapkan kualitas sebenarnya dari suatu barang dan jasa apabila nilai informasi bagi konsumen (yang ditandai melalui keingginan untuk membayar) lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh produsen untuk menyediakan informasi tersebut. Kegagalan juga dapat terjadi bila kualitas yang buruk terjadi pada seluruh kategori produk, sehingga tidak ada insentif bagi produsen untuk menutupi kekurangan dari produknya.

Sanitary and Phytosanitary (SPS) Measures

Kesepakatan SPS adalah bagian dari kesepakatan WTO yang berkaitan dengan hubungan antara kesehatan dan perdagangan internasional. Perdagangan dan perjalanan internasional telah mengalami perluasan secara signifikan dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Hal ini berakibat meningkatnya perpindahan produk pertanian yang selanjutnya dapat meningkatkan resiko kesehatan. Kesepakatan SPS memperkenalkan perlunya bagi negara anggota WTO untuk tidak hanya melindungi dari resiko yang disebabkan oleh masuknya hama, penyakit, dan gulma, tetapi juga untuk meminimalkan efek negatif dari ketentuan SPS terhadap perdagangan.

Aspek kesehatan dari Kesepakatan SPS pada dasarnya berarti bahwa anggota WTO dapat melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola resiko yang berhubungan dengan impor. Ketentuan tersebut biasanya dalam bentuk persyaratan karantina atau keamanan pangan yang dapat diklasifikasikan sebagai sanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan) atau fitosanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan tumbuhan).

Aspek perdagangan internasional dalam Kesepakatan SPS secara prinsip berarti bahwa dalam usaha melindungi kesehatan, anggota WTO tidak seharusnya menggunakan ketentuan SPS yang tidak diperlukan, tidak berdasarkan pada pertimbangan ilmiah, tidak mengada-ada, atau secara tersembunyi (tersamar) membatasi perdagangan internasional.

Kesepakatan SPS dijalankan oleh Komite Ketentuan Sanitasi dan Fitosanitasi (the SPS Committee, Komite SPS), dimana semua anggota WTO dapat berpartisipasi. Komite SPS adalah forum konsultasi dimana anggota WTO secara reguler bertemu untuk berdiskusi tentang ketentuan SPS dan efeknya terhadap perdagangan, mengawasi pelaksanaan Kesepakatan SPS, dan mencari cara untuk menghindari terjadinya potensi perbedaan pendapat.

Kegagalan-Kegagalan Konfrensi Tingkat Menteri WTO

Pada tahun 1999, kota Seattle, Amerika Serikat, menjadi saksi mata bagaimana Konferensi Tingkat Menteri WTO yang ketiga mendapatkan penolaknya yang sangat besar dari masyarakat. Pada saat itu, puluhan ribu orang dari berbagai golongan dan kelompok orang berkumpul dan memblokir jalan-jalan menuju ke tempat penyelenggaraan konferensi. Mereka menuduh WTO sebagai biang dari semua kekacauan dan kejahatan dunia: membuat orang miskin makin miskin, membuat pendidikan mahal, membuat lingkungan rusak, membuat buruh kehilangan pekerjaan, membuat kaum perempuan kian tertindas, membuat anak-anak dipaksa bekerja, dan sebagainya.

Aksi tersebut mampu membuat pusat bisnis di kota Seattle berhenti. Konferensi yang dibayangkan akan menjadi pesta yang menyenangkan berubah menjadi ajang pertempuran. Di luar para demonstran menggebu menuju tempat konferensi dan dicegat oleh polisi. Pada awalnya aksi unjuk rasa berlangsung dengan damai dan tidak ada kekerasan, tetapi lambat laun kekerasan tidak terhindarkan. Tidak ada lagi suasana damai di Seattle, digantikan "suasana perang".

Akibatnya Konferensi Tingkat Menteri WTO di Seattle gagal total dan tidak menghasilkan kesimpulan apapun. Para menteri perdagangan pulang dengan tangan hampa. Kejadian itu menjadi satu bentuk perlawanan oleh masyarakat sipil paling besar dan paling berhasil yang pernah dilakukan. Mereka berhasil menggagalkan konferensi elite tingkat tinggi yang diklaim sebagai persekongkolan antara pemerintah dan pelaku bisnis.

Di luar semua itu, tragedi Seattle 1999 menjadi pelajaran bagi para pemimpin dunia, bahwa keputusan harus diambil dengan memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Atau bila tidak tantangan itupun akan tiba.

Setelah mengalami kegagalan dalam KTM III Seattle, WTO kembali mengalami kegagalan dalam perundingan di KTM V Cancun. Kegagalan perundingan di KTM V Cancun disebabkan karena sidang mengalami kebuntuan akibat perbedaan pandangan antara negara-negara maju dan negara berkembang mengenai isu-isu khususnya di bidang pertanian.

Perundingan untuk isu pertanian diwarnai dengan munculnya joint paper AS-UE, proposal Group 20 (yang menentang proposal gabungan AS-UE) dan proposal Group 33 (yang memperjuangkan konsep special product dan special safeguard mechanism)

Secara singkat, joint paper AS-UE antara lain memuat proposal yang menghendaki adanya penurunan tarif yang cukup signifikan di negara berkembang, tetapi tidak menginginkan adanya pengurangan subsidi dan tidak secara tegas memuat komitmen untuk menurunkan tarif tinggi (tariff peak) di negara maju.

Sebaliknya, negara berkembang yang tergabung dalam Group 20 menginginkan adanya penurunan subsidi domestik (domestik support) dan penghapusan subsidi ekspor pertanian di negara-negara maju, sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi Doha.

Sementara itu, kelompok negara-negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group 33 (group yang dimotori Indonesia dan Filipina) mengajukan proposal yang menghendaki adanya pengecualian dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang.

WTO: Koin Emas Bersisi Dua?

Bagi pendukungnya, WTO dinilai sebagai salah satu pencapaian terbesar bagi kemajuan perdagangan dunia. Namun, di balik semua itu, WTO terus mendapatkan kritikan dan tantangan yang keras terutama dari masyarakat pekerja yang menilai WTO sebagai ancaman laten bagi kehidupan mereka.

Hampir setiap kegiatan WTO direspon dengan aksi unjuk rasa dari kelas pekerja dan petani, bahkan tidak jarang dari aksi tersebut berakhir menjadi kerusuhan masal. WTO dinilai hanya menguntungkan bagi perusahaan multinasional untuk mencapai skala ekonomisnya, namun tidak bersahabat kepada usaha-usaha rakyat yang terus berusaha mempertahankan kehidupannya.

Tidak hanya itu, walaupun secara aturan keputusan WTO diambil dengan cara konsensus, dalam kenyataannya naskah awal kesepakatan lebih ditentukan oleh faktor lain yakni kekuatan politik negara-negara anggota. Di dalam WTO dikenal ada “power bloc” yang disebut “Quad” terdiri dari Uni Eropa, Jepang, AS, dan Canada. Sehingga seringkali keputusan yang diambil dalam perundingan WTO tidak sesuai dengan kepentingan negara-negara berkembang walaupun mereka merupakan mayoritas anggota di WTO.

Dengan berbagai kelebihan dan kekurangnya tersebut, WTO terus dipertahankan sebagai satu-satunya organisasi internasional yang mengurusi masalah perdagangan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini WTO dirasakan lebih banyak memberikan dampak positif dibandingkan dampak negatif kepada negara anggotanya. Sesuai dengan sebuah pepatah, “seindah apapun sebuah koin emas, ia selalu memiliki dua sisi.”

Sistem Bretton Woods: Mimpi Yang Terhenti di Tengah Jalan.

Pada saat berlangsungnya Perang Dunia II, para negara sekutu menilai perlunya suatu sistem yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi dunia. Bermula pada bulan July tahun 1944 seluruh 730 delegasi dari 44 negara Sekutu berkumpul di Mount Washington Hotel Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, sebagai bagian Konferensi PBB di bidang Moneter dan Keuangan. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyiapkan sistem aturan, lembaga, dan prosedur untuk mengatur sistem moneter internasional.

Dari hasil kesepakatan tersebut kemudian direncanakan upaya untuk mendirikan Dana Moneter Internasional/ international monetary fund (IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan/ International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang hari ini menjadi bagian dari Kelompok Bank Dunia (World Bank). Organisasi-organisasi ini mulai beroperasi pada tahun 1945 setelah cukup banyak negara telah meratifikasi perjanjian.

Selain kedua organisasi internasional tersebut, sistem ini turut merencanakan pembentukan organisasi perdagangan internasional/ international trade organization (ITO). Namun akibat kegagalan ratifikasi di kongres Amerika, organisasi ini secara nyata tidak pernah terbentuk.

Inti utama dari sistem Bretton Woods adalah adanya kewajiban bagi setiap negara untuk mengadaptasi kebijakan moneter yang dapat mempertahankan nilai tukar mata uang dalam nilai tetap (dengan toleransi plus atau minus 1%) terhadap nilai emas serta pemanfaatan IMF untuk menjadi jembatan bagi ketidakseimbangan neraca pembayaran yang terjadi sementara antar negara.

Pada akhirnya sistem ini harus menghadapi keruntuhannya setelah setelah Amerika Serikat secara sepihak menghentikan konvertibilitas dolar menjadi emas akibat kekurangan cadangan emas yang dihadapi oleh Amerika.

TBT Agremeent: Membangun Tembok Arus Perdagangan

Setelah lebih dari 6 dekade sejak disepakati, GATT yang kemudian bertransformasi menjadi WTO telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam upaya pembentukan perdagangan bebas melalui berbagai kesepakatan penurunan tarif dan kuota. Namun dibalik semua itu, perkembangan perdagangan dunia yang komplek dan penuh kepentingan telah melahirkan upaya proteksi perdagangan melalui hambatan teknis (technical barriers to trade). Untuk mencegah agar hambatan teknis ini tidak digunakan sebagai tembok dalam upaya melakukan proteksi perdagangan yang kontra produktif terhadap perdagangan multilateral, maka disusunlah kesepakatan mengenai hambatan teknis perdagangan atau yang dikenal sebagai technical barriers to trade agreement.

I. Pengertian dan Unsur TBT

Hambatan teknis perdagangan / technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan atau kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional, dimana penerapannya dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. TBT merupakan salah satu bagian perjanjian dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure).

Perjanjian TBT mengakui hak setiap negara untuk mengadopsi standar yang dianggap memadai. Dalam TBT hak penggunaan hambatan teknis yang dibenarkan adalah untuk:

  • Melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, tumbuhan
  • Perlindungan kelestarian lingkungan
  • Kepentingan keamanan nasional
  • Pencegahan praktek perdagangan tidak sehat dari mitra dagang
  • Kepentingan konsumen lainnya.

Sebagai upaya untuk mencegah terlalu banyaknya ragam standar, Perjanjian TBT mendorong negara anggota untuk menggunakan standar-standar internasional dimana dianggap perlu. Lebih lanjut, negara anggota tidak dicegah dari mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin standar nasionalnya dipenuhi.

TBT telah menjadi hambatan non-tarif untuk perdagangan yang penting. TBT muncul ketika kebijakan domestik memaksakan regulasi, standar teknis, pengujian dan prosedur sertifikasi, atau persyaratan pelabelan berpengaruh pada kemampuan eksportir untuk mengakses pasar.

Walau sering digunakan secara bersamaan, TBT memiliki pengertian yang berbeda antara technical regulation dan standard atas dasar kategori kepatuhan. Secara baku berdasarkan TBT Agreement pengertian mengenai technical regulation, standard, dan conformity assessment procedure adalah sebagai berikut:

  • Peraturan Teknis (technical regulation) adalah: Dokumen yang mengatur sifat produk atau proses dan metoda produksi terkait, termasuk aturan administrasi yang berlaku dimana pemenuhannya bersifat wajib. Regulasi teknis dapat juga meliputi atau berkaitan secara khusus dengan persyaratan terminologi, simbol, pengepakan, penandaan atau pelabelan yang diterapkan untuk suatu produk, proses atau metoda produksi.
  • Standar (standard) adalah: Dokumen yang dikeluarkan oleh suatu badan resmi, yang untuk penggunaan umum dan berulang, menyediakan aturan, pedoman, atau sifat untuk suatu produk atau proses dan metoda produksi terkait yang pemenuhannya bersifat tidak wajib (sukarela). Standar dapat juga meliputi atau berkaitan secara khusus dengan persyaratan terminologi, simbol pengepakan, penandaan atau pelabelan yang diterapkan untuk suatu produk, proses atau metoda produksi.
  • Prosedur Penilaian Kesesuaian (conformity assessment procedure) adalah: Prosedur yang dipakai langsung atau tidak langsung untuk menetapkan bahwa persyaratan yang relevan dalam regulasi teknis atau standar telah terpenuhi.

Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan utama antara regulasi teknis dengan standard adalah pada kewajiban pemenuhannya. Regulasi teknis merupakan peraturan yang wajib dipenuhi dimana barang impor dapat dihalangi masuk ke dalam pasar domestik apabila gagal memenuhi regulasi teknis yang ditetapkan. Sementara itu standar diberlakukan secara sukarela. Barang impor yang gagal memenuhi standar dapat diperbolehkan untuk masuk ke dalam pasar domestik, tetapi dapat gagal memperoleh pangsa pasar yang signifikan apabila konsumen memutuskan untuk lebih memilih produk yang memenuhi standar dibandingkan yang tidak sehingga dalam prakteknya dapat menjadi persyaratan wajib bagi suatu barang untuk dapat mengakses pasar. Selain itu, regulasi teknis ditetapkan oleh pemerintah sedangkan standar dikeluarkan oleh badan akreditasi resmi yang ada.

Regulasi teknis dan standar merupakan bagian integral dari inisiasi kebijakan domestik untuk melindungi konsumen, pekerja, dan perusahaan. TBT dapat mencakup persyaratan label, sertifikasi, pengemasan, spesifikasi teknis, dan lainnya. Regulasi ini menjadi hambatan bagi perdagangan jika eksportir dipaksa untuk memenuhi standard yang berbeda untuk dapat mengakses pasar di berbagai negara, dan/atau jika mereka tidak memiliki kemampuan teknis untuk memenuhi regulasi teknis.

II. Prinsip TBT

Sebagaian bagian dari GATT dan WTO, TBT Agreement turut mengadaptasi semangat dari WTO dalam mewujudkan perdagangan multilateral tanpa hambatan. Untuk itu, TBT memiliki prinsip dasar yang digunakan dalam perumusannya yakni:

  • Tidak diskriminasi. Dalam prinsip ini berlaku prinsip Most Favored Nation dan National treatment sehingga penggenaan regulasi teknis dan standard atas suatu barang harus diberlakukan secara seimbang kepada barang sejenis tanpa memperdulikan dari mana asal barang tersebut.
  • Mencegah hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan. Dalam hal ini pelaksanaan TBT di suatu negara diupayakan memiliki hambatan yang paling minim (the least trade restrictive measure) dan memperhitungkan adanya resiko persyaratan yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi.
  • Harmonisasi. Untuk menghindari terjadinya standar yang berbeda-beda, negara anggota didorong untuk merujuk kepada standar yang berlaku secara internasional yang disepakati dalam menyusun standar domestiknya.
  • Transparansi. Seluruh proses penetapan regulasi teknis, standard, maupun prosedur penilaian kesesuainya dilakukan secara terbuka dengan mengikuti ketentuan-ketentuan notifikasi di tingkat internasional.

III. Manfaat Penggunaan TBT

Kesepakatan WTO mengenai hambatan tersebut diatur melalui TBT agreement. kesepakatan tersebut berisikan hak negara untuk mengadaptasi standard yang diperlukan untuk tujuan kebijakan domestik yang meliputi perlindungan kepentingan konsumen dan lingkungan. Adapun keuntungan yang dapat diperoleh melalui penerapan TBT Agreement antara lain:

  • TBT Agreement menciptakan mekanisme untuk memastikan regulasi teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian tidak menciptakan hambatan yang tidak diperlukan dalam perdagangan.
  • Penggunaan Standar Internasional yang seragam dapat menghemat biaya dan sumber daya.
  • Penggunaan Standar Internasional dapat berkontribusi pada transfer teknologi dari negara maju kepada negara berkembang.

Dengan demikian, kesepakatan tersebut dapat mencengah penggunaan hambatan teknis yang tidak patut sebagai alat untuk melindungi industri domestik terhadap persaingan dengan produk impor. Namun tetap saja hal ini adalah bagian yang sulit untuk dibuktikan. Penentuan apakah ukuran pembatasan perdagangan ditentukan oleh kepentingan proteksionis domestik, atau murni untuk perlindungan konsumen ataupun lingkungan sering mengalami kesulitan.

IV. Pengecualian Dalam TBT

Pada dasarnya Perjanjian TBT diterapkan untuk semua jenis produk, baik produk industri maupun produk-produk pertanian serta produk-produk yang berkaitan dengan lingkungan/ kelestarian sumberdaya alam. Namun demikian, terdapat beberapa produk yang mendapatkan pengecualian dalam penerapan TBT karena telah terikat peraturan lain yakni produk-produk yang berkaitan dengan:

  • Sanitary dan phitosanitary (SPS measures)
  • Produk yang berkaitan dengan sektor jasa
  • Pengadaan pemerintah (government procurement). Khusus untuk pengadaan pemerintah terdapat ketentuan Agreement on Government Procurement (GPA) yang bersifat plurilateral.

V. Komite TBT

Sesuai dengan Pasal 13.1 Kesepakatan TBT, dibentuk suatu Komite TBT yang berisikan perwakilan dari setiap anggota. Komite TBT melakukan pertemuan secara rutin minimal satu kali dalam setahun. Dalam pelaksanaannya, Komite TBT biasanya melakukan pertemuan antara 3 hingga 4 kali dalam setahun.

Dalam struktur organisasi WTO, Komite TBT berada di bawah council for trade in goods. Komite ini memiliki tugas untuk:

  • Berdasarkan permintaan, memberikan pengecualian dalam batas waktu tertentu secara keseluruhan maupun sebagian dari kesepakatan kepada negara berkembang yang mengalami kesulitan menerapkan kesepakatan.
  • Mengkaji secara berkala perlakuan khusus dan berbeda yang diberikan kepada anggota negara berkembang.
  • Membentuk kelompok kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban khusus.
  • Menghindari duplikasi tidak perlu antara pekerjaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan badan teknis lainnya.
  • Mengkaji secara berkala setiap tahun hasil implementasi dan operasi dari Kesepakatan TBT.
  • Mengkaji hasil implementasi dan operasi Kesepakatan TBT setiap periode tiga tahun sekali.

VI. Notifikasi Dalam TBT

Salah satu mekanisme penting dalam Perjanjian TBT ialah notifikasi. Notifikasi adalah penyampaian informasi kepada negara-negara anggota WTO lainnya tentang rencana pemberlakuan regulasi teknis yang berpotensi menimbulkan hambatan perdagangan internasional dan merupakan kewajiban bagi negara anggota untuk menginformasikan kepada sekretariat WTO dan anggota yang lain. Disamping itu, notifikasi juga dilakukan bila suatu negara bergabung menjadi anggota WTO, menerapkan Perjanjian TBT, atau menerapkan Code of Good Practice for the Preparation, Adoption and Application of Standards sesuai dengan pasal 15.2 dalam perjanjian TBT. Keharusan menotifikasi juga berlaku bagi program kerja pengembangan standar, yang notifikasinya dialamatkan ke Sekretariat Pusat ISO/IEC.

Untuk membantu menjamin bahwa informasi ini dapat diketahui dengan mudah, semua negara anggota WTO disyaratkan untuk menetapkan national enquiry points dan melakukan notifikasi atas hal-hal yang spesifik atas kebijakan perdagangannya. Di Indonesia, sebagai enquiry point dan notification body ialah Badan Standardisasi Nasional.

Dalam Perjanjian TBT WTO, notifikasi dilakukan pada saat rancangan regulasi teknis tersebut akan diberlakukan secara wajib oleh regulator (article 2.9.2), dimana diberikan waktu 60 hari bagi anggota WTO untuk memberikan tanggapan. Khusus bagi negara berkembang, jika mengajukan permintaan, berhak mendapatkan perpanjangan waktu pemberian tanggapan sampai 90 hari.

Terkecuali dalam keadaan mendesak (article 2.10.1) (urgent matter) rancangan peraturan teknis tersebut dapat ditetapkan terlebih dahulu kemudian dinotifikasi ke sekretariat WTO akan tetapi perlu disertakan alasan utama pemberlakuan tersebut (legitimate objective) dan scientific evidence. Secintific evidence diperlukan untuk untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang akan diterima dari negara-negara anggota terkait notifikasi tersebut.

Secara lebih rinci, prosedur pelaksanaan notifikasi digambarkan dalam skema berikut:





Apa Itu WTO?

Sebagai satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara, World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan sebuah pintu gerbang bagi suatu negara untuk memperluas akses pasarnya. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.



I. Sejarah pembentukan WTO

Pasca Perang Dunia II, kondisi perekonomian dunia mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Perbedaan pandangan politik di tengah terbentuknya dua blok baru antara kapitalisme dan komunisme, menyebabkan semakin menguatnya upaya proteksionisme perdagangan yang semakin menekan upaya perbaikan ekonomi pasca perang dunia. Kondisi ini mendorong beberapa negara yang memiliki tingkat perdagangan dunia yang besar untuk menyusun sebuah sistem perdagangan multilateral yang kemudian menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947.

Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara anggota tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan tidak meratifikasi Piagam Havana, sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional.

Bersama berjalannya waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk menjadi anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan akhirnya terus berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru yakni WTO. Setelah melewati masa transisi untuk memberikan kesempatan ratifikasi di tingkat nasional anggota, WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Walau telah terbentuk organisasi baru di bidang perjanjian perdagangan internasional, GATT masih tetap ada sebagai “payung perjanjian” di dalam WTO berdampingan dengan perjanjian lain seperti General Agreement on Trade in Service (GATS) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).

II. Tujuan dan Manfaat WTO

Pembentukan WTO sebagai organisasi di tingkat internasional yang mengatur mengenai kebijakan perdagangan di tingkat dunia, tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Beberapa tujuan tersebut antara lain:

  • Mendorong arus perdagangan antara negara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan (baik dalam bentuk tarif maupun bukan tarif) yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.
  • Menyediakan forum perundingan yang lebih permanen sehingga akses pasar dapat terbuka dan berkesinambungan.
  • Memfasilitasi penyelesaian sengketa akibat konflik-konflik kepentingan yang ditimbulkan dalam hubungan dagang.

Cita-cita WTO perdagangan dunia yang lebih bebas menjadi hal yang menarik bagi banyak negara. Hal ini terlihat dari semakin banyak negara yang bergabung dalam WTO. Pada tahun 2008 jumlah negara yang bergabung dalam keanggotaan WTO telah mencapai 153 negara yang merepresentasikan 95% volume perdagangan dunia dan 30 negara observer yang sedang menanti keanggotaan WTO. Banyaknya negara yang bergabung dalam WTO mengindikasikan besarnya manfaat yang dapat diberikan WTO dalam perdagangan dunia. Setidaknya terdapat 10 keuntungan yang diklaim melalui penerapan sistem perdagangan WTO (WTO, 2008) yakni:

  • Sistem perdagangan multilateral yang diterapkan oleh WTO dapat mendorong terjaganya perdamaian. Penerapan sistem proteksionisme pada dekade 1930 dinilai menjadi salah satu pemicu meletusnya Perang Dunia. Dengan adanya sistem perdagangan yang lebih terbuka melalui WTO, konflik kepentingan dagang antar negara diharapkan dapat dihindari sehingga perdamaian dunia akan lebih terjaga.
  • Persengketaan dagang antar negara dapat diatasi secara konstruktif. Selain menyediakan forum penyediaan sengketa antara negara, kesepakatan WTO dapat menjadi basis penilaian atas sengketa perdagangan yang terjadi. Dengan demikian melalui WTO, sengketa perdagangan dapat diselesaikan dengan menyesuaikan terhadap kesepakatan yang ada dibandingkan melakukan negosiasi bilateral yang lebih berpotensi melahirkan ketegangan hubungan diplomatik.
  • Peraturan yang seragam akan memudahkan perdagangan antar negara. Dengan adanya peraturan yang seragam bagi setiap anggota, variasi-variasi dalam perdagangan dapat dihindari sehingga proses perdagangan akan berjalan dengan lebih lancar.
  • Perdagangan bebas dapat membuat biaya hidup menjadi lebih murah. Dengan adanya pembebasan tarif, harga yang harus dibayarkan oleh konsumen maupun bahan baku yang akan digunakan dalam proses produksi dapat menjadi lebih murah sehingga biaya hidup yang ditanggung akan menjadi lebih rendah.
  • Memberikan lebih banyak pilihan produk dan kualitas untuk kosumen. Dengan sistem perdagangan yang lebih global, konsumen di setiap negara dapat mengakses produk-produk yang dihasilkan di negara lain sehingga akan ada lebih banyak pilihan baik dari sisi produk maupun kualitas.
  • Perdagangan dapat meningkatkan pendapatan. Berdasarkan estimasi WTO, semenjak Putaran Uruguay, perdagangan dunia menyumbangkan $ 109 Milyar - $ 510 Milyar terhadap perekonomian dunia.
  • Mendorong pertumbuhan ekonomi. Meluasnya akses pasar hasil produksi akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang berarti akan semakin besarnya jumlah lapangan pekerjaan yang dapat disediakan.
  • Mendorong sistem ekonomi berjalan lebih efisien. Perdagangan menyebabkan dapat terjadinya perputaran sumber daya baik bahan baku maupun tenaga kerja sehingga sistem ekonomi dapat berjalan dengan lebih efisien.
  • Negara–negara anggota WTO akan terlindung dari praktek–praktek persaigan yang tidak sehat. Aturan perdagangan yang dihasilkan dalam kesepakatan WTO dapat mencegah terjadinya praktek perdagangan yang tidak sehat dari negara lain.
  • Mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih. Kesepakatan WTO berkomitmen untuk menciptakan perdagangan yang lebih bebas yang berkelanjutan. Kondisi ini akan memberikan tingkat kepastian yang lebih baik kepada dunia usaha sekaligus dapat mengawal pelaksanaan pemerintahan yang bersih.

III. Prinsip WTO

Untuk menjaga agar tujuan dari WTO dapat dicapai dengan baik, diperlukan prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota. Prinsip-prinsip ini disusun dengan tujuan mencegah pembatasan perdagangan yang tidak diperlukan. Prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh seluruh anggota WTO meliputi:

  • Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation). Prinsip ini menekankan bahwa semua anggota WTO diharuskan memperlakukan mitra dagangnya sebagai rekan dagang yang paling difavoritkan. Sehingga satu kebijakan perdagangan spesial yang diberikan kepada satu mitra dagang harus diberikan pula kepada seluruh anggota WTO yang lain. Dengan demikian, anggota WTO tidak dapat melakukan diskriminasi kepada negara tertentu. Namun terdapat beberapa pengecualian kepada negara-negara yang bergabung dalam perjanjian pasar bebas yang dapat memberlakukan kebijakan eksklusif kepada kelompoknya serta perdagangan di bidang jasa dalam batas dan kondisi tertentu.
  • Perlakuan Nasional (National Treatment). Selain bertindak sama kepada seluruh mitra dagang, anggota WTO turut memegang prinsip tidak melakukan diskriminasi terhadap produk impor yang masuk ke negaranya. Prinsip ini menyatakan bahwa produk impor harus diperlakukan setara dengan kebijakan yang dilakukan terhadap produk domestik setidaknya setelah produk impor tersebut masuk ke dalam pasar domestik.
  • Transparansi (Transparency). Demi menjaga kesinambungan kebijakan WTO, negara anggota diwajibkan untuk transparan terhadap kebijakan perdagangan yang diambil sehingga mempermudah para pelaku usaha dalam membuat perencanaan dan mengambil keputusan. Oleh karena itu, setiap negara diwajibkan untuk menotifikasi seluruh kebijakan perdagangan yang diambil.
  • Pengikatan Tarif (Tariff Binding). Walau dalam perjanjian GATT suatu negara tidak dilarang untuk mengenakan tarif terhadap barang impor, GATT memberikan kesempatan untuk masing-masing negara mengikatkan diri untuk memberikan konsensi tarif berdasarkan negosiasi tarif secara multilateral. Apabila telah disepakati, tarif suatu negara atas produk tersebut tidak boleh melebihi komitmen tarif yang telah disepakati. Dalam hal pelanggaran komitmen dari negara importir, negara eksportir berhak untuk mendapatkan kompensasi ataupun bila tidak melakukan tindakan balasan (retaliasi) dengan meningkatkan tarif untuk produk yang menjadi kepentingan negara eksportir. Selain itu, dalam Protokol Maraskesh disepakati untuk melakukan penurunan tarif secara bertahap antar negara anggota WTO.
  • Penghapusan Kuota. Sesuai dengan Artikel XI dalam GATT, WTO bertujuan untuk melakukan pengurangan hambatan kuota atas ekspor dan impor. Pertimbangan ini dilakukan untuk mencegah kurangnya transparansi dalam pengaturan bea masuk dan distorsi harga yang disebabkan tidak berlakunya hukum permintaan dan penawaran. Terdapat pengecualian terhadap prinsip tersebut yakni apabila penerapan kuota tersebut dimaksudkan dalam rangka program stabilitas pasar terkait produk pertanian, permasalahan pada neraca pembayaran, dan alokasi kuota.

IV. Sistem Organisasi WTO

Berbeda dengan beberapa organisasi internasional yang lain seperti IMF dan Bank Dunia, WTO merupakan organisasi yang sepenuhnya dijalankan oleh anggota. Di dalam WTO, setiap negara memiliki kedudukan yang sama dan saling bernegosiasi dalam mengambil kesepakatan bersama. Dengan demikian tidak terdapat susunan dewan direksi yang akan menjalankan kegiatan organisasi, namun seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama oleh perwakilan negara anggota WTO.

Oleh karena itu, WTO dalam mengambil keputusan melalui berbagai jenis dewan (council) dan komite (committee). Sedangkan keputusan tertinggi WTO diambil melalui forum Konferensi Tingkat Menteri yang dilakukan secara periodik selama 2 tahun sekali. Konferensi Tingkat Menteri ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas semua hal-hal yang dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang akan dirundingkan dimasa mendatang. Struktur di bawah Konferensi Tingkat Menteri adalah General Council (Dewan Umum) yang didukung oleh 2 badan pendukung yakni Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) dan Trade Policy Review Body (Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan). Untuk mendukung kinerjanya, General Council membawahi 3 badan yaitu:

  • Council For Trade in Goods (CTG) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan barang. Badan ini membawahi berbagai komite ditambah kelompok kerja (working group) serta badan yang khusus menangani masalah textil dan pakaian jadi yaitu Textiles Monitoring Body (TMB). Komite-komite yang berada di bawah CTG adalah Komite yang menyangkut masalah Market Access, Agriculture, Sanitary and Phytosanitary, Rules of Origin, Subsidies and Countervailing measures, Custom Valuation, Technical Barriers to Trade, Anti-dumping Practices, Import Licensing, dan Safeguard.
  • Council For Trade in Services (CTS) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan jasa. CTS hanya membawahi satu komite yaitu Committee Trade in Financial Services ditambah dengan satu kelompok kerja (working party) di bidang jasa profesional (professional services).
  • Council For Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Council For TRIPs) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan yang berkaitan dengan masalah penggunaan hak kekayaan intelektual.

Selain dewan dan komite tersebut, WTO mempunyai Komite Plurilateral yang mengatur kesepakatan khusus diantara beberapa anggota WTO saja. Keputusan dari Komite Plurilateral ini hanya mengikat kepada negara yang menandatangani kesepakatan tersebut saja. Adapun Komite Plurilateral diwajibkan untuk menginformasikan aktivitas dan keputusan mereka kepada General Council maupun badan di bawahnya.

Untuk mendukung peran dari organisasi WTO tersebut, dibentuk sebuah sekretariat yang berlokasi di Jenewa, Swiss. Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang diangkat oleh sidang tingkat menteri. Sekretariat tersebut tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan. Tugas utama dari sekretariat WTO antara lain:

  • Menyediakan bantuan teknis dan profesional kepada badan-badan yang berada di dalam struktur WTO.
  • Memberikan bantuan teknis untuk negara berkembang.
  • Mengawasi dan menganalisa perkembangan perdagangan dunia.
  • Menyediakan informasi kepada publik dan media.
  • Memberikan bantuan hukum dalam proses penyelesaian sengketa.
  • Memberikan saran kepada pemerintah yang ingin bergabung menjadi anggota WTO.
  • Menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri.

Pengambilan keputusan dalam WTO dilakukan melalui konsensus yang diperoleh dari hasil perundingan seluruh negara anggota. Namun, apabila konsesus tersebut sulit untuk dicapai, pengambilan keputusan akan dilakukan dengan pengambilan suara terbanyak (voting) dengan sistem satu negara satu suara yang ditentukan oleh suara mayoritas. Adapun kondisi yang harus dipenuhi dalam pengambilan suara terbanyak antara lain:

  • Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk memutuskan kesepakatan perdagangan multilateral.
  • Mendapat persetujuan minimal ¾ anggota WTO untuk melepaskan suatu negara dari suatu kewajiban dalam WTO.
  • Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk mengamandemen kesepakatan WTO.
  • Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk menetapkan anggota baru.

V. Putaran-putaran Perundingan WTO

Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan di GATT dan WTO dilakukan melalui mekanisme perundingan multilateral yang kemudian dikenal sebagai “Putaran Perdagangan” (trade round). Perundingan ini dilakukan untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

Pada tahun-tahun awal ,dari Putaran Jenewa 1 sampai Putaran Dillon, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Baru pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) mulai dibahas mengenai kesepakatan di luar tarif yakni Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).

Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tarif secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tarif rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tarif, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” yakni semakin tinggi tarif, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tarif telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.

Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Selain itu, pencapaian terbesar dari Putaran Uruguay tentunya adalah tercapainya kesepakatan pembentukan organisasi perdagangan dunia yang kemudian dikenal sebagai WTO. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.

Setelah terbentuknya WTO, putaran perdagangan digantikan dengan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi di WTO. KTM pertama diselenggarakan pada 9 – 13 Desember 1996 di Singapura. Diikuti lebih dari 120 Menteri negara anggota WTO, KTM Singapura tersebut menghasilkan 2 deklarasi yakni dalam bidang standar inti perburuhan dan keputusan untuk membentuk kelompok kerja (working group) untuk melakukan pengkajian atas hubungan antara perdagangan dan investasi, hubungan antara perdagangan dan kompetisi, fasilitasi perdagangan, dan transparansi di bidang pengadaan pemerintah (government procurement) yang kemudian dikenal sebagai Isu Singapura (Singapore Issues).

KTM kedua dilaksanakan di Jenewa pada 18 – 20 Mei 1998 sebagai peringatan atas 50 tahun tercapainya kesepakatan di bidang perdagangan multilateral melalui GATT. Hasil utama dari KTM ini adalah deklarasi di bidang perdagangan elektronik global (global electronic commerce) termasuk penguatan komitmen negara anggota WTO untuk meneruskan upaya pembebasan kepabeanan (customs duties) dalam transmisi elektronik.

Setelah mencapai beberapa keberhasilan di kedua KTM sebelumnya, KTM ketiga yang dilaksanakan di Seattle pada tahun 1999 yang diagendakan untuk merumuskan agenda millenium WTO justru mengalami kegagalan. Demonstrasi besar-besaran di luar gedung pertemuan delegasi WTO dan di berbagai kota di dunia serta perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara berkembang menyebabkan KTM Seattle gagal dalam mencapai kesepakatan.

Sebagai upaya perbaikan dari kegagalan di KTM Seattle, dilaksanakan KTM keempat di Doha (9-14 November 2001) yang dihadiri oleh 142 negara. KTM Doha menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa, dan peraturan WTO.

Deklarasi tersebut mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi tercapainya konsensus mengenai Singapore Issues. Deklarasi juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, usaha kecil (small economies), serta hubungan antara perdagangan, hutang dan alih teknologi.

Deklarasi Doha dikenal pula dengan sebutan ”Agenda Pembangunan Doha” (Doha Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang paling terbelakang (Least developed countries/LDCs), seperti bantuan teknik untuk peningkatan kapasitas (capacity building), pertumbuhan, dan integrasi ke dalam sistem WTO.

Mengenai perlakuan khusus dan berbeda” (special and differential treatment), deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkrit mengenai isu tersebut. Para menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional.

KTM kelima WTO berlangsung di Cancun, Meksiko tanggal 10-14 September 2003. Berbeda dengan KTM IV di Doha, KTM V di Cancun kali ini tidak mengeluarkan Deklarasi yang rinci dan substantif, karena gagal menyepakati secara konsensus, terutama terhadap draft teks pertanian, akses pasar produk non pertanian (MANAP) dan Singapore issues.

Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003, Sidang Dewan Umum WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang Program Kerja Doha, yang juga sering disebut sebagai Paket Juli. Pada kesempatan tersebut berhasil disepakati kerangka (framework) perundingan lebih lanjut untuk DDA (Doha Development Agenda) bagi lima isu utama yaitu perundingan pertanian, akses pasar produk non-pertanian/Non Agriculture Market Access (NAMA), isu-isu pembangunan dan impelementasi, jasa, serta fasilitasi perdagangan dan penanganan Singapore issues lainnya.

Perundingan WTO dilanjutkan pada 13 – 18 Desember 2005 melalui KTM VI yang dilaksanakan di Hongkong. Salah satu keputusan penting yang masuk dalam Deklarasi Hongkong adalah isu menyangkut bantuan untuk perdagangan serta penetapan batas waktu negosiasi untuk beberapa isu seperti isu mengenai modalitas pertanian dan NAMA.

Sedangkan Perundingan WTO selanjutnya direncanakan di luar rutinitas agenda yang dilaksanakan 2 tahun sekali yakni dilaksanakan di Jenewa pada 30 November hingga 2 Desember 2009. Dalam KTM VII Jenewa ini, Indonesia melalui Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu ditunjuk sebagai wakil ketua konferensi. Pada akhirnya KTM VII Jenewa tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti dimana para menteri menegaskan kembali komitmen mereka untuk menyelesaikan perundingan putaran Doha dan mengharapkan adanya perubahan yang positif pada kuartal pertama 2010.

VI. Kesepakatan-Kesepakatan WTO

Sepanjang perjalanannya, WTO telah berhasil mencapai berbagai kesepakatan yang memiliki peranan penting dalam perkembangan perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Adapun secara umum struktur dasar kesepakatan dalam WTO meliputi:

  • General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni kesepakatan di bidang perdagangan barang
  • General Agreement on Trade and Services (GATS) yakni kesepakatan di bidang perdagangan jasa
  • General Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Properties (TRIPs) yakni kesepakatan di bidang hak kekayaan intelektual.
  • Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

Dari keempat kesepakatan utama yang dihasilkan oleh WTO, GATT dinilai memiliki peranan terbesar bagi sistem perdagangan multilateral mengingat peranan perdagangan barang yang jauh lebih besar dibandingkan peranan perdagangan dari sektor jasa.

Hasil kesepakatan GATT mengatur banyak hal guna mengurangi hambatan-hambatan yang terjadi dalam perdagangan multilateral dari mulai upaya penurunan hambatan tarif dan non tarif hingga upaya pengaturan penggunaan hambatan teknis/ technical barriers to trade (TBT) sehingga menjadi lebih transparan dan berkesinambungan.