Kamis, 16 Desember 2010

Ayo Jadi Konsumen Cerdas

Dalam dunia bisnis terdapat pepatah bahwa “Konsumen adalah Raja”, ya benar dari pepatah tersebut saja sudah menunjukkan bahwa Konsumen memiliki posisi yang istimewa dalam sebuah perekonomian karena Konsumenlah yang akan menggerakkan konsumsi dari suatu Negara yang akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Hal inilah yang menyebabkan seorang Konsumen seperti Kita semua memiliki posisi yang terhormat sehingga perlu mendapatkan perlindungan yang dilembagakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut yang dimaksud dengan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian Konsumen adalah semua pengguna produk (barang/jasa) baik yang membeli maupun yang tidak membeli (tidak membeli seperti penerima hadiah maupun penerima sampel) selama produk tersebut tidak untuk diperjualbelikan kembali kepada pihak ketiga.

Dalam UU 8/1999 juga diatur mengenai hak dan kewajiban bagi seorang konsumen. Sebagai bagian dari konsumen yang cerdas, maka kita akan membahas bagian ini dengan lebih seksama sehingga terhindar dari kasus sengketa konsumen.


HAK KONSUMEN

Hak seorang konsumen menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam UU 8/1999, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa hak seorang konsumen adalah sebagai berikut:
  • Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  • Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  • Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari rincian hak yang terkandung di dalam UU 8/1999 sesungguhnya sangat luas hak dari seorang konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa diterapkan melalui penyusunan standar bagi produk yang kita kenal sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI dirumuskan untuk menjaga kualitas produk di Indonesia, bahkan apabila dipandang dapat mengancam Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan lingkungan hidup (K3L) maka SNI tersebut dapat diterapakan secara wajib atau menjadi SNI Wajib. SNI Wajib berdampak pada kewajiban bagi produk yang beredar di Indonesia harus memenuhi parameter-parameter yang diatur dalam SNI tersebut. Salah satu contohnya adalah Helm yang telah diterapakan SNI Wajib sehingga seluruh helm yang dijual di Indonesia harus sesuai dengan SNI sedangkan yang tidak sesuai akan ditarik dari pasar.

Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan memberikan kekuatan kepada konsumen untuk mendapatkan kembalian dari pembayaran sesuai dengan besaran yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa pengembalian pembayaran harus dilakukan dengan mata uang tidak melalui pengembalian berupa barang. Dengan demikian, pengembalian berupa permen yang sering dijumpai pada pasar modern merupakan tindakan yang melanggar hak konsumen sehingga konsumen berhak untuk menolak pengembalian permen dan menuntut pengembaliannya dalam mata uang rupiah. Kondisi ini telah didukung oleh Kementerian Perdagangan yang bekerjasama dengan Bank Indonesia untuk menyediakan uang recehan guna memenuhi kebutuhan pengembalian mata uang dari nominal terkecil.

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur menuntut pelaku usaha untuk memberikan label atas produk dalam bahasa yang dimengerti oleh Konsumen, oleh karena itulah sesuai dengan Permendag 22/2010 maka produk yang beredar di Indonesia diwajibkan untuk mencantumkan label dalam bahasa Indonesia. Selain itu juga diatur mengenai tata cara pengiklanan yang tidak dibenarkan memberikan informasi yang tidak sesuai.

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, serta Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya berkosekuensi terhadap adanya penyediaan jasa purna jual dari produk-produk yang bermasa guna lebih dari 1 tahun. Sebagai contoh dahulu pernah terjadi gejolak antara pemerintah dengan provider Blackberry yang dituntut untuk menyediakan layanan purna jualnya di Indonesia. Hal tersebut merupakan bentuk pemenuhan hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas produk yang digunakannya.

Dan yang terakhir adalah Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak tersebutlah yang mendorong terbentuknya lembaga-lembaga perlindungan konsumen seperti Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengeketa Konsumen (BPSK). LPKSM merupakan lembaga yang dibentuk mandiri oleh masyarakat untuk mengawasi praktek perlindungan konsumen melalui pengawasan dan advokasi. Sedangkan BPSK merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan sengeketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha di luar mekanisme peradilan untuk menjadi solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak.

Dengan demikian hak-hak konsumen sangat luas, namun tetap saja terdapat kewajiban yang harus dilakukan konsumen.

KEWAJIBAN KONSUMEN

Dalam UU 8/1999 Pasal 5 disebutkan bahwa kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen adalah:
  • membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
  • barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  • beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  • membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  • mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Untuk dapat menjalankan Kewajiban tersebut sekaligus memposisikan diri sebagai Konsumen Cerdas, cukup simpel dengan menerapkan 4 tips yang dianjurkan dari Gerakan Konsumen Cerdas yakni:
  • Teliti sebelum membeli
  • Perhatikan label dan masa kadaluwarsa
  • Pastikan produk bertanda jaminan mutu sni
  • Beli sesuai kebutuhan, bukan keinginan



Dengan menerapkan 4 prinsip tersebut dan dengan memperhatikan hak-hak yang telah ditetapkan dalam UU 8/1999, kita semua pasti akan dapat menjadi Konsumen Cerdas. Maka Ayo Jadi Konsumen Cerdas.




Rabu, 08 Desember 2010

Standardisasi Bukan Standarisasi

Sampai saat ini, masih banyak terjadi kesalahan dalam penulisan Standardisasi, dimana dalam masyarakat seringkali digunakan kata standarisasi untuk mengartikan proses perumusan standar. Bahkan kejadian seperti itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam saja, para profesional yang tidak terlalu akrab dengan bidang Standardisasi juga sering kali salah dalam menuliskannya sebagai Standarisasi. Padahal dalam dunia birokrasi kesalahan kecil tersebut akan berdampak sangat luar biasa, sehingga sekiranya perlu untuk dilakukan klarifikasi bahwa penggunaan kata yang tepat adalah Standardisasi bukan Standarisasi


Kesalahan standarisasi didasarkan pada logika bahwa standarisasi merupakan kata standar + isasi, yang merupakan akhiran yang digunakan untuk menunjukkan proses. sehingga dengan demikian banyak yang beranggapan bahwa proses perumusan dan penerapan standar sebagai standarisasi.

Padahal dalam struktur bahasa Indonesia, tidak dikenal akhiran -isasi. yang mana kata-kata yang memiliki akhiran berupa -isasi merupakan penyerapan bahasa asing yang disesuaikan dalam bahasa Indonesia. Sehingga kata Standardisasi merupakan penyerapan bahasa asing yakni Standardization sama seperti Organization menjadi Organisasi, Mobilization menjadi Mobilisasi, dan lainnya.

Adapun kata Standar digunakan merupakan hasil penyerapan juga dari bahasa asing yakni Standard. Namun karena disesuaikan dengan lidah orang Indonesia maka huruf d pada kata Standard dihilangkan menjadi Standar.

Hal inilah yang mungkin menjadi permasalahan dari kosa kata bahasa Indonesia akibat modifikasi bahasa asing yang diserap, sehungga pada saat penambahan kata Ization dalam kata Standard, orang Indonesia sering melupakan huruf D yang ada.

Dengan demikian, bersama-sama kita dapat menyatakan STANDARDISASI bukan standarisasi. kalo masih belum percaya coba lihat apa kepanjangan dari Ditjen SPK, yup Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen......

Kondisi Infrastruktur Standardisasi di Indonesia


Keberhasilan standardisasi tidak akan terlepas dari kondisi infrastruktur mutu yang ada di negara tersebut. Infrastruktur mutu mencakup berbagai aspek yang meliputi pengujian, akreditasi, sertifikasi, metrologi, dan pengembangan standar itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan integrasi dan pengembangan kapasitas yang memadai untuk seluruh aspek tersebut guna memastikan terciptanya sistem jaminan mutu yang baik.

Gambar 1 Aspek –Aspek Infrastruktur Mutu


Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI yang telah diberlakukan wajib tersebut. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator.

Penilaian kesesuaian akan bergantung dari kapasitas Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang terdiri dari Lembaga Sertifikasi, Laboratorium, dan Lembaga Inspeksi. Kapasitas LPK tidak hanya dilihat dari segi ketersediaan jumlah yang cukup saja namun turut mempertimbangkan aspek kemampuan dalam melaksanakan penilaian kesesuaian itu sendiri. Sehingga kapasitas sumber daya manusia yang ada juga memiliki peranan yang vital.

Pada tahun 2009, terdapat 616 Lembaga Penilaian Kesesuaian yang di Indonesia dengan ruang lingkup yang cukup beragam. Dari jumlah tersebut, 64% atau 397 diantaranya adalah laboratorium uji, 17% atau 102 unit adalah laboratorium kalibrasi, 15% atau 94 unit adalalah lembaga sertifikasi, 3% atau 18 unit adalah lembaga inspeksi, dan sisanya sebanyak 5 unit adalah laboratorium medik.

Gambar 2 Kondisi LPK di Indonesia

Pada tahun 2007 telah diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Dalam Permendag tersebut mulai diberlakukan aturan mengenai pengawasan pemberlakuan SNI Wajib yang mana salah satu poinnya mewajibkan LPK yang mengeluarkan sertifikat kesesuaian terhadap barang yang diberlakukan SNI Wajib untuk didaftarkan pada Pusat Standardisasi Kementerian Perdagangan yang kini bertransformasi menjadi Direktorat Standardisasi.

Setelah diberlakukannya Permendag tersebut, proses pendaftaran terhadap LPK yang mengeluarkan SPPT SNI yang telah diberlakukan wajib dimulai pada tahun 2007 dengan jumlah LPK terdaftar sebanyak 12 lembaga. Seiring dengan peningkatan pemberlakuan SNI Wajib yang diberlakukan oleh kementerian teknis, jumlah LPK terdaftar turut mengalami peningkatan hingga mencapai 19 lembaga pada tahun 2009.

Dari segi ruang lingkupnya, LPK yang terdaftar di Pusat Standardisasi telah mencakup seluruh produk SNI yang telah diberlakukan wajib. Yang mana dari segi luasan ruang lingkup, Lembaga Sertifikasi Produk Pusat Standardisasi Departemen Perindustrian (LSPro – Pustand Depperin) merupakan LPK dengan ruang lingkup terbesar yang mencakup 43 produk SNI wajib. Sementara itu, Lembaga Sertifikasi Produk Balai Riset dan Standardisasi Industri Bandar Lampung (LSPro Lampung) dan Lembaga Sertifikasi Produk Agro-Based Industry Product Certification Services (LSPro ABI-Pro) merupakan LPK dengan ruang lingkup terkecil yang keduanya hanya melayani sertifikasi produk tepung terigu sebagai bahan makanan.

Mengenal Standardisasi Bidang Perdagangan di Indonesia


Perkembangan perekonomian dunia saat ini sangat dipengaruhi perubahan yang sangat dinamis dan negara-negara di dunia lebih mengkonsentrasikan diri pada kemampuan ekonominya. Perdangangan dunia bergerak menuju efisiensi yang mendorong kepada pembentukan integrasi ekonomi antar negara. Integrasi tersebut memaksa terjadinya penghapusan terhadap batasan-batasan perdagangan yang selama ini dilakukan oleh semua negara. Hal tersebut berdampak pada terjadinya penurunan hambatan tarif dalam perdagangan internasional.

Komitmen penurunan tarif perdagangan tidak terlepas dari komitmen pembentukan area perdagangan bebas (free trade area) yang semakin berkembang di berbagai regional wilayah. Tabel 1.1 menunjukan bagaimana komitmen penerapan area perdagangan bebas antara di ASEAN yang telah menargetkan penurunan tingkat tarif di negara-negara ASEAN hingga 100%.

Tabel 1. Komitmen Penurunan Tarif Perdagangan Dalam AFTA

Menurunnya penggunaan hambatan tarif dalam perdagangan menuntut setiap negara mengembangkan instrumen hambatan perdagangan lainnya. Untuk menjaga dan melindungi kepentingan domestik dari serbuan masuknya barang impor, kini seluruh negara menggunakan instrumen non tariff yang salah satunya adalah penerapan standar baik terhadap barang dan jasa yang akan beredar di pasar domestik.

Oleh karena itu peranan standardisasi semakin besar dalam kegiatan perdagangan. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) setiap negara diperbolehkan menerapkan hambatan non tarif yang meliputi Technical Barrier to Trade dan Sanitary and Phytosanitary Agreement dengan syarat tidak ada perbedaan/diskriminasi perlakuan antara produk dalam negeri dengan produk impor.

Hambatan teknis perdagangan/technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan atau kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional, dimana penerapannya dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. TBT merupakan salah satu bagian perjanjian dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure). Ketentuan-ketentuan tersebut digunakan oleh banyak negara, terutama negara-negara maju yang mempunyai teknologi tinggi menggunakan ketentuan tersebut sebagai alat untuk melindungi masyarakat dari aspek keselamatan, kesehatan, keamanan dan pelestarian lingkungan hidup, serta melindungi industri dalam negeri dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Sebagai upaya untuk mencegah terlalu banyaknya ragam standar, Perjanjian TBT mendorong negara anggota untuk menggunakan standar-standar internasional dimana dianggap perlu atau melakukan harmonisasi standarnya dengan standar internasional. Walaupun demikian, negara anggota tidak dicegah dari mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin standar nasionalnya dipenuhi.

Perkembangan standardisasi di Indonesia turut semakin menggeliat pasca pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang dikoordinasikan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dibantu dengan Kementerian teknis yang bertugas membantu BSN dalam melaksanakan penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan.

Apa Itu Standardisasi??

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 yang dimaksud dengan Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Sedangkan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengam memperhatikan syarat-syarat keselematan, keamanan, kesehatan lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional.

Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait. Pada umumya, panitia teknis diselenggarakan oleh Kementerian Teknis (yang salah satunya adalah Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Standardisasi) dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri dari perwakilan pemerintah, produsen, konsumen, dan pakar. Dengan demikian diharapkan setiap SNI yang dirumuskan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan.

Pengembangan SNI dilaksanakan mengikuti Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang telah disusun dengan mengikuti norma-norma yang terkandung dalam WTO Code of good practice yakni:
  • Openess: Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI.
  • Transparency: Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya. Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
  • Consensus and impartiality: Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
  • Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan internasional;
  • Development dimension: Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Dengan demikian proses perumusan SNI dilakukan secara bersama-sama oleh BSN, Kementerian Teknis, dan masyarakat. Tahapan perumusan SNI dimulai dari penyusunan Program Nasional Perumusan Standar (PNPS), penyusunan rancangan dari RSNI1 hingga RASNI, dan pada akhirnya ditetapakan oleh BSN.

Gambar 1 Tahapan Perumusan SNI

Perkembangan Standardisasi di Indonesia.

Sampai dengan tahun 2010, tercatat terdapat 6839 SNI yang telah ditetapkan dengan rincian 6050 SNI penetapan baru, 782 SNI revisi, dan 7 SNI amandemen. Selain itu telah terdapat 1436 SNI yang diabolisi dengan berbagai pertimbangan.

Tabel 2. Jumlah SNI Yang Ditetapkan Sampai Dengan Tahun 2010
Berdasarkan ruang lingkupnya, mayoritas SNI memiliki ruang lingkup mengenai teknologi dimana 2026 SNI menyangkut teknologi bahan, 1134 SNI menyangku teknologi perekayasaan, dan 181 SNI menyangkut teknologi khusus. Adapun penyebaran ruang lingkup SNI dapat dijabarkan dalam Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Statistik Ruang Lingkup SNI

Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, artinya kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI tidak dilarang untuk diperdagangkan. Dengan demikian untuk menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan standar internasional merupakan faktor yang sangat penting. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.

Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang untuk diperdagangkan. Ketentuan tersebut berlaku secara universal baik kepada produk yang diproduksi di dalam negeri maupun produk impor yang masuk ke dalam pasar domestik.

Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindarkan sejumlah dampak sebagai berikut:
  • menghambat persaingan yang sehat;
  • menghambat inovasi
  • menghambat perkembangan UKM.

Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi terutama yang menyangkut Keselamatan, Keamanan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L), sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan.

Di Indonesia, pemberlakuan standar wajib mengalami peningkatan yang cukup pesat sepanjang periode 2005 – 2009. Pada akhir tahun 2009 tercatat telah diberlakukan standar wajib terhadap 56 Standar Nasional Indonesia (SNI), bahkan hingga akhir tahun 2010 setidaknya tercatat sudah terdapat 69 SNI Wajib. Dengan demikian produk-produk yang diatur dalam SNI tersebut harus memenuhi persyaratan teknis yang dipersyaratkan apabila diperdagangkan di pasar domestik. Kondisi tersebut berlaku untuk seluruh produk baik produk yang diproduksi di dalam negeri maupun produk eskpor.