Selasa, 21 Februari 2012

MODEL KEBIJAKAN SISTEMATIS PENANGANAN KELANGKAAN KOMODITI BAHAN POKOK DAN STRATEGIS




Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perdagangan periode 2010 – 2014, disebutkan salah satu permasalahan utama pada perdagangan dalam negeri adalah timbulnya gejolak dan disparitas harga untuk komoditi bahan pokok dan strategis. Gejolak harga atau dapat digolongkan sebagai inflasi dapat disebabkan oleh dua faktor yakni tarikan permintaan (Demand-Pull) maupun Desakan Biaya (Cost-Push) (Samuelson & Nordhaus, 1990). Dari sisi biaya, salah satu faktor penyebab terjadinya gejolak harga adalah akibat terjadinya gangguan dari segi pasokan karena adanya kelangkaan produk maupun bahan baku tersebut. Di Indonesia, kondisi kelangkaan tersebut sangat sering terjadi pada sektor-sektor industri primer seperti beras, minyak goreng, cabai, gula, terigu, dan kedelai maupun pada sektor industri bahan baku & penolong seperti pupuk dan semen.

Masalah kelangkaan komoditi tidak terlepas dari kegagalan mekanisme pasar dalam melakukan alokasi sumber daya khususnya dalam hal pemerataan (Sukirno, 1981). Oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah untuk memastikan bahwa seluruh komoditi yang diperlukan oleh masyarakat dapat teralokasi dan terdistribusi secara merata. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2 yang menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dengan demikian, distribusi komoditi bahan pokok dan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak selayaknya dikuasai oleh negara melalui kebijakan intervensi dan pengawasan atas distribusi komoditi-komoditi tersebut.

Upaya penanganan kelangkaan melalui intervensi pemerintah telah banyak dikaji namun cenderung bersifat parsial. Kajian-kajian tersebut cenderung mencoba menyelesaikan permasalahan kelangkaan dari satu aspek saja seperti aspek transportasi, regulasi, dan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan yang terintegrasi untuk dapat memecahkan permasalahan kelangkaan yang mencakup seluruh kemungkinan aspek yang terlibat.

Dalam pendekatan sistem logistik, masalah kelangkaan akan sangat berkaitan dengan variabel tingkat pelayanan (ŋ) yang diterapkan oleh manajemen. Oleh karena itu, untuk dapat menyelesaikan permasalahan kelangkaan tersebut, perlu dilakukan kajian mengenai komponen-komponen pembentuk dari variabel tingkat pelayanan. Sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah yang perlu diterapkan berdasarkan komponen-komponen dari variabel tingkat pelayanan tersebut.

Tingkat pelayanan dalam sistem logistik dimaksudkan sebagai kemampuan dalam memenuhi permintaan segera (Bahagia, 2006). Dimana tingkat pelayanan ditentukan oleh seberapa besar persentase permintaan yang tidak terpenuhi. Secara umum, tingkat pelayanan dapat dihitung sebagai berikut:

ŋ=1- N/(D L)=1- (S [f(Z_∝ )- Z_∝ (φZ_α ) ])/(D √L) (1)

Dari persamaan (1) tersebut, diketahui bahwa persentase permintaan yang tidak terpenuhi dipengaruhi oleh besarnya nilai kemungkinan terjadinya kekurangan barang (α). Dengan mempertimbangkan bahwa pasar komoditi bahan pokok dan strategis merupakan pasar yang harus dipenuhi permintaannya, maka digunakan kondisi Back Order dimana pemesanan darurat akan dilakukan untuk memenuhi kekurang persediaan yang dimiliki. Dalam kasus Back Order, nilai kemungkinan terjadinya kekurangan barang (α) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

∝ = (h q_0)/(C_u D)= √((2 A h)/(〖C_u〗^2 D)) (2)

Dengan demikian, merujuk pada persamaan (1) dan (2) dapat diidentifikasikan bahwa tingkat pelayanan (ŋ) dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan standar deviasi hasil peramalan (S), menurunkan biaya simpan (h), menurunkan biaya pesan (A), dan meningkatkan kuantitas barang yang dikelola (D). Selanjutnya perlu dianalisa faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hal itu terjadi. Sebagai alat bantu analisa digunakan metode Mind Map yang dikembangkan oleh Tony Buzan. Dari hasil analisa diperoleh factor-faktor pembentuk tingkat pelayanan sebagaimana Gambar 1 sebagai berikut:



Gambar 1. Faktor-Faktor Pembentuk Tingkat Pelayanan

Berdasarkan hasil analisa tersebut, dapat disimpulkan terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tingkat pelayanan atas komoditi barang pokok dan strategis sehingga dapat menyelesaikan permasalahan kelangkaan yang terjadi. Adapun solusi-solusi yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
  1. Industrialisasi sektor primer. Untuk dapat meningkatkan ketersediaan komoditi diperlukan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Upaya peningkatan kapasitas produksi tersebut akan dapat berlangsung dengan cepat dan berkesinambungan dengan cara pelaksanaan industrialisasi (Todaro, 1998). Industrialisasi sektor primer dilakukan dengan penerapan teknologi produksi mengantikan metode produksi tradisional yang masih banyak dilakukan di Indonesia. Permasalahannya adalah, produsen sektor primer di Indonesia seperti petani dan nelayan tidak memiliki kemampuan modal yang kuat untuk melakukan investasi dalam rangka industrialisasi. Oleh karena itu, perlu dibentuk Pusat-Pusat Produksi yang bersifat komunal dengan berperinsip pada nilai kerja sama dan kekeluargaan melalui pembentukan Koperasi. Dengan demikian produsen-produsen kecil yang pada mulanya bersifat independen diharapkan bergabung membentuk satu wadah pusat produksi yang memiliki alat-alat produksi komunal yang digunakan secara bersama-sama dengan tetap menghormati keunikan dari masing-masing produsen.
  2. Subsidi bahan baku dan penolong. Kapasitas produksi dalam negeri tidak akan terlepas dari peranan bahan baku dan penolong untuk menghasilkan komoditi bahan pokok dan strategis tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan produktivitas harga pada sektor bahan baku dan penolong perlu dikendalikan melalui mekanisme subsidi. Pola subsidi dapat dilakukan mengikuti pola yang telah diterapkan dalam subsidi pupuk maupun bahan bakar.
  3. Penyusunan rencana impor komoditi. Apabila kebutuhan komoditi bahan pokok dan strategis sudah tidak dapat dipenuhi oleh hasil produksi dalam negeri, maka satu-satunya cara mengatasi kelangkaan adalah melalui impor komoditi. Namun perlu dipastikan bahwa impor yang dilakukan tidak merugikan pihak produsen dalam negeri yang memproduksi komoditi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penyusunan rencana impor komoditi untuk memastikan bahwa besaran impor yang dilakukan sesuai dengan jumlah kekurangan yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri saja.
  4. Penurunan suku bunga. Salah satu komponen terbesar dari biaya simpan persediaan ada biaya modal (capital cost) yang dikeluarkan oleh pengusaha karena kehilangan peluang untuk melakukan investasi yang lain. Oleh karena itu meningkatkan efisiensi sistem logistik nasional perlu dilakukan upaya penurunan suku bunga sehingga menghindari terjadinya ekonomi biaya tinggi.
  5. Pemanfaatan fasilitas bersama. Selain suku bunga komponen biaya simpan yang lain adalah biaya pergudangan dan manajemen. Oleh karena itu, untuk dapat menekan komponen biaya ini diperlukan penggunaan fasilitas bersama untuk mengejar tercapainya skala ekonomis (economics of scale). Konsep ini dapat diwujudkan melalui penerapan Pusat Distribusi (Distribution Center) sehingga pengelolaan persediaan bahan pokok dan strategis dapat dilakukan secara bersama-sama.
  6. Zonasi Distribusi. Biaya transportasi meruapakan salah satu komponen biaya trerbesar dalam pendistribusian barang. Berdasarkan hasil penelitian komponen biaya transportasi setidaknya mencapai 25% dari biaya sistem logistik (Harian Fajar Online, 2011). oleh karena itu, untuk dapat melakukan penghematan dari sisi transportasi, distribusi bahan pokok dan strategis sebaiknya dilakukan dengan sistem zonasi seperti pada kasus pupuk bersubsidi.
  7. Pembangunan infrastruktur. Selain melaksanakan zonasi distribusi, upaya yang dapat dilakukan untuk menekan biaya transportasi adalah melalui pembangunan infrastruktur khususnya yang bersifat inter-moda sehingga dapat menurunkan biaya penanganan material dari distribusi bahan pokok dan strategis.
  8. Penyusunan rencana kebutuhan. Perencanaan sistem logistik memerlukan dukungan data yang kuat sehingga kebijakan yang diambil sesuai dengan kondisi yang terjadi. Dalam hal meningkatkan akurasi data permintaan komoditi bahan pokok dan strategis diperlukan penyusunan rencana kebutuhan. Proses penyusunan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran pusat distribusi untuk mengumpulkan pola permintaan masyarakat yang berada di wilayah pelayananannya. Selanjutnya dengan menggunakan metode Distribution Requirement Planning (DRP) dapat diketahui berapa besar kebutuhan masyarakat untuk setiap komoditi bahan pokok dan strategis. Selanjutnya informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan penyusunan rencana produksi oleh pusat-pusat produksi maupun rencana kebutuhan impor oleh pemerintah.
  9. Penerapan sistem informasi. Untuk dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan informasi dalam manajemen sistem logistik tersebut, diperlukan dukungan sistem informasi yang dapat mempermudah dan mempercepat aliran data antar pelaku sehingga proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan akurat dan cepat.
  10. Penyusunan regulasi. Untuk dapat menjalankan seluruh aktivitas manajemen logistik tersebut tentunya diperlukan dasar hukum yang dapat melandasi seluruh kebijakan tersebut. Regulasi yang dipandang menjadi prioritas adalah penetapan komoditi-komoditi yang tergolong sebagai bahan pokok dan strategis.

Dengan mempertimbangkan seluruh solusi tersebut, maka dapat digambarkan model kebijakan sistematis dalam mengatasi kelangkaan komoditi bahan pokok dan strategis sebagaimana Gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Kebijakan Sistematis Penanganan
Kelangkaan Komoditi Bahan Pokok dan Strategis