Mari kita melihat kembali sejarah penjajahan Indonesia yang selama 3,5 abad dijajah oleh Belanda. Pada hakikatnya penjajahan yang dilakukan oleh belanda melalui VOC bukanlah merupakan penjajahan politik namun merupakan penjajahan ekonomi melalui monopoli perdagangan rempah-rempah. Dapat kita bilang secara politik dan kedaulatan wilayah saat itu pemerintahan-pemerintahan setempat dalam hal ini kerajaan-kerajaan nusantara masih berdiri dan diakui baik secara de jure ataupun de facto oleh VOC, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadi mitra VOC dalam menindas rakyat.
Bila kita lihat secara mendalam pola-pola penjajahan Belanda yang sukses dan bertahan sangat lama di Indonesia salah satunya adalah dengan memperdayakan para “pemimpin” menjadi “penguasa”. Di mana pada akhirnya penjajah dan penguasa bekerja sama dalam melawan rakyat dan menindas mereka dengan mengutip upeti atau yang kita kenal sebagai pajak pada masa modern ini dan membiarkan rakyat menjalankan proses “Tanam Paksa” yang menyengsarakan itu.
Hasilnya tentu akan dibagi dua, sebagian untuk penguasa sebagian untuk penjajah. Penjajah semakin kaya untuk memajukan negerinya, penguasa semakin kaya untuk berfoya-foya. Hal tentu belum lengkap bila belum diikuti dengan “obat penenang” yang bernama Agama. Agama menjadi jurus yang paling ampuh untuk meredam semangat perlawanan. Agama-agama “taklit” ini membuat rakyat terus memikirkan surga dan neraka hingga lupa akan realita sosial yang terjadi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu dengan turut menjadikan ulama (pemimpim agama) sebagai penguasa juga, yakni penguasa agama, penguasa kebenaran yang tidak boleh di bantah. Yang akhirnya membuat agama yang rasional dan setiap orang seharusnya dapat secara mandiri mengapai Tuhan-nya menjadi agama perasaan yang bertumpu pada elite-elite agama, para penguasa agama dan penentang mereka langsung di cap kafir.
Sehingga dapat kita lihat walaupun ada beberapa perlawaan yang dilakukan oleh kaum agama itu di dasarkan atas nama pelecehan agama bukan sebagai bentuk perlawanan atas penindasan dan pelanggaran hak hidup manusia. Dimana perlawanan yang terjadi hanya karena ada pemaksaan menghormat ke arah matahari yang mereka anggap sebagai “syirik” bukan karena penjajah itu telah menindas dan merenggut kesejahteraan masyarakat. Budaya inilah yaitu dengan memperdayakan para pemimpin sebagai penguasa yang membuat penjajahan bisa awet di negeri ini.
Berbeda dengan masa penjajahan Jepang yang hanya seumuran jagung. Kegagalan Jepang yang menopoli kekuasaan bukan ekonomi membuat timbul perlawanan para pemimpin untuk merebut kekuasaan tersebut. selain itu kesalahan Jepang yang kedua ia tidak menjadikan agama sebagai ajaran sakral yang boleh disentuh seperti pada masa Belanda. Akhirnya perlawanan terhadap penjajah semakin memuncak pada masa penjajahan Jepang akibat kegagalan mereka melaksanakan budaya penjajahan halus yang berhasil dilaksanakan oleh penjajah terdahulu.
Yang akhirnya pada puncaknya tanggal 17 Agustus Indonesia memproklamasikan kekuasaan atas bangsa dan menendang kekuasaan Jepang. Namun apakah proklamasi kekuasaan itu seperti yang tertulis dalam teks proklamasi “ dan hal-hal lain yang menyangkut pemindahan kekuasaan akan dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” telah mengakhiri penjajahan di Indonesia? Apakah benar kita telah merdeka secara hakiki atau justru kemerdekaan kita hanya pada konteks kekuasaan saja?.
Coba kita perhatikan secara mendalam kondisi bangsa Indonesia saat ini atau pada masa pemerintahan yang lampau. Sudahkah kita mandiri secara ekonomi? Sudahkah kita mampu mengambil keputusan tanpa campur tangan pihak lain? Bila kita renungkan secara mendalam dan dengan hati yang bersih tentu kita akan menjawab kita belum merdeka, kita masih dijajah, tidak ada yang berbeda saat ini dengan masa-masa penjajahan VOC (Belanda) pada ratusan tahun yang lalu. Yang berbeda hanya pada varian dan lembaga serta kedoknya saja.
Kalau dahulu kita lihat bagaimana seluruh rempah-rempah dikuasai oleh VOC atau kita sebut sebagai pihak asing apa bedanya dengan penguasaan sumber daya alam baik migas ataupun pertambangan yang pada saat ini dikuasai oleh pihak asing (lihat artikel Merdeka: Mereka Mendikte Kita!). Kita saksikan saat ini perusahaan-perusahaan Negara seperti Pertamina hanya jadi penonton atau kita sebut sebagai “penguasa” yang mendapatkan upeti berupa bagi keuntungan dari joint operation (persekutuan dengan penjajah). Yang akhirnya dana tersebut digunakan untuk “berfoya-foya” melalui bentuk baru yakni gaji besar ditambah korupsi lagi. Bagaimana pula kita saksikan perusahaan-perusahaan anak bangsa seperti PT Medco harus mengais-gais sumur minyak sampai ke jazirah arab sedangkan sumur-sumur di negeri sendiri diserahkan kepada pihak asing yang tidak bertanggung jawab kepada lingkungan sosial sekitarnya. Banyak kasus pencemaran yang mereka lakukan seperti kasus newmont di teluk buyat akhirnya diselesaikan dengan cara “damai suap” atau istilah kerennya cost recovering.
Hal ini tidak hanya berlaku pada sektor sumber daya alam saja bisa kita lihat dari mulai makanan, pakaian, hingga bahasapun tidak lepas dari penjajahan asing ini. Perubahan budaya dengan kedok globalisasi yang justru menjadi “westrenisasi” tak jauh beda dengan gaya-gaya Belanda yang memaksakan budayanya bahkan agamanya sekalipun.
Tidak hanya masalah-masalah monopoli ekonomi yang kembali terjadi penjajahan politikpun kembali muncul melalui lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, ADB, dll. Bagaikan laskar kompeni yang melawan kerajaan-kerajaan nusantara dan kerajaan yang kalah diwajibkan menandatangani perjanjian-perjanjian yang hanya akan menguntungkan sang penjajah saja. Lembaga-lembaga internasional tersebut datang membawa petisi-petisi bantuan yang mereka sebut sebagai program bantuan bagi Negara-negara yang kalah akibat ekonominya koleps diserang spekulan-spekulan pasar yang bisa kita identikkan dengan tentara-tentara VOC.
Program bantuan itulah yang akhirnya membuat Negara-negara yang kalah akan terus terjajah. Program bantuan yang berbentuk utang tersebut tentulah disertai dengan bunga yang tinggi yang akhirnya Negara-negara penerima utang tidak dapat mengembalikannya karena uang dari utang tadi digunakan untuk program “pembangunan” infrastruktur guna mendukung iklim investasi bagi investor-investor asing. Akhirnya untuk menutupi utang-utang tersebut Negara terpaksa menjual perusahaannya satu persatu kepada pihak asing tentunya dengan harga yang murah ,agar rasional dijual mereka dilabeli sebagai perusahaan-perusahaan yang “Sakit” dan dengan diembel-embeli tujuan yang seakan-akan mulia mengembangkan ekonomi pasar.
Akhirnya karena terbelit utang maka satu-satunya cara adalah dengan membuat utang baru atau kita kenal dengan metode gali lubang tutup lubang. Namun karena saat ini dalam keadaan terdesak, utang-utang tersebut diembel-embeli dengan program-program politik ataupun ekonomi seperti yang dipraktekkan oleh IMF yang mensyaratkan berbagai program seperti liberalisasi perekonomian dan privatisasi perusahaan-perusahaan Negara.
Tidak hanya sampai pada titik itu saja, saat ini penjajahan mereka jauh lebih manusiawi melalaui penjajahan pendidikan yang sebenarnya merupakan penyempurnaan “Politik Etis” penjajahan Belanda dahulu. Kalau dulu kita mengenalnya sebagai Irigasi, Transmigrasi dan edukasi, kita telah melihat saat ini dimodifikasi menjadi Irigasi sebagai penyaluran utang kepada Negara terjajah yang menjadi pengikat ketergantungan dan Transmigrasi sebagai perpindahan aset baik sumber daya alam dan perusahaan-perusahaan dari kepemilikan Negara ataupun domestik menjadi kepemilikan global atau asing. Dan yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar proses penjajahan ini tidak mendapat perlawanan yakni dengan menyebarkan pendidikan (edukasi) yang akan membutakan pandangan masyarakat bahwa ia sedang dijajah.
Salah satu cara yang paling aman dan mudah adalah dengan merusak pola pikir masyarakat tentang apa itu keadilan. Bagaimana pada awal orde baru begitu giatnya pemerintah Amerika menawarkan beasiswa kepada para ekonom Indonesia yang setelah itu menjadi menteri-menteri perekonomian dan menerapkan apa yang telah diajarkan kepada mereka yakni kebebasan pasar yang selanjutnya generasi ini kita mengenal mereka sebagai mafia Berkeley yang masih ada bahkan masih menguasai pemerintahan hingga saat ini.
Bagaimana saat ini perguruan-perguruan tinggi sibuk menengakkan apa yang mereka sebut “Invisible Hands” dan mengecam pemerintah agar tidak mencampuri ekonomi untuk tidak melindungi masyarakat dari ancaman kebuasan pasar. Bagaimana mereka mempropagandakan campur tangan pemerintah seperti subsidi sebagai bentuk pemborosan daripada kewajiban pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya. Dan mereka yang saya sebut sebagai “Dosen Neolib” selalu menekakankan bagaimana pentingnya peranan investor asing dalam perekonomian kita dan perusahaan-perusahaan Negara harus diprivatisasi.
Tidak hanya sampai disitu saja para Dosen Neolib itu terus saja mengagung-agungkan globalisasi bersama pasar bebasnya walaupun mereka tau bahwa itu tidak akan menguntungkan Indonesia karena asumsi-asumsinya mustahil terpenuhi. Namun walau begitu mereka justru menyalakan bangsa ini karena tidak dapat bersaing dalam perkonomian global tapi mereka menolak Negara melakukan proteksi untuk melindungi rakyatnya yang tidak mampu bersaing itu. Apa sih yang mereka inginkan?
Pentingnya perekonomian yang terintegrasi kepada perkonomian global membuat mereka memaksakan paham “Spesialisasi” yang diambil dari teori “Keunggulan Relatif” yang dikemukakan oleh David Ricardo. Bagaimana menurut mereka Negara seharusnya menspesialisasikan produk yang diproduksi sesuai dengan keunggulan relatifnya tanpa harus memperhatikan apa yang sesungguhnya sangat dan benar-benar dibutuhkan oleh rakyatnya. Yang nantinya produk yang dispesialisasikan itu akan dijual kepada pasar internasional dan membeli barang-barang lain yang dibutuhkan dalam pasar internasional tersebut.
Kalau kita perhatikan dengan lebih seksama lagi dapatkah kita melihat kesamaan konsep “Spesialisasi” ini dengan “Tanam Paksa”? bukankah “Tanam Paksa” yang dilakukan oleh penjajahan Belanda membuat petani-petani Indonesia diwajibkan menanam kopi yang saat itu memiliki keunggulan relative. Yang akhirnya banyak petani-petani yang harus mati akibat kekurangan bahan pangan yang tidak boleh ditananam karena lahan mereka digunakan untuk menanam kopi yang dijual kepasar internasonal.
Maka dapat kita lihat bagaimana saat ini pendidikan kita yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi kini hanya menjadi pentransformasian dan pemaksaan ideology pasar bagai mahasiswa-mahasiswa bangsa ini. Perguruan tinggi yang seharusnya mengembangkan sistem pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa justru kini berbalik memaksa bangsa melalui mahasiswa-mahasiswanya untuk mengikutisistem global yang sudah kita tahu bakal merugikan kita yang pasti membuat kita tersisih bahkan terjajah karena penguasaan sumber daya dan teknologi kini telah dikuasai oleh segelintir orang yang terabung dalam Multinasional Coporates (MNCs).
Karena itulah dapat kita simpulkan bahwa kini kita masih belum merdeka. Kita masih terjajah, tidak hanya dalam masalah ekonomi, politik, bahkan kita telah terjajah secara pemikiran. Untuk itulah untuk dapat merebut kembali kemerdekaan yang selama ini kita cita-citakan sudah saatnya kita merebut kembali semua yang telah terebut dari kita.
Pertama kita harus kembali merebut aset-aset dan sumber daya alam kita dari penguasaan pihak asing. Selanjutnya kedua kita harus mampu membentuk pemerintahan yang mampu mandiri dalam mengambil keputusannya. Untuk itu utang masa lampau yang sebagian besar dilakukan oleh pemerintahan otoriter (Orde Baru) yang dapat kita sebut mengambil istilah Alexannder Nahum Sack bahwa utang itu adalah Utang Haram (Odious Debt). Sehingga pemerintahan saat ini tidak perlu membayarnya. Dengan begitu pemerintah akan mendapatkan tambahan dana untuk menyejahterakan rakyat dan tidak perlu lagi menuruti perkataan-perkataan pihak asing lagi.
Namun yang terpenting adalah bagaimana kita memerdekakan cara dan pola pikir kita untuk mengatakan tidak untuk semua penjajahan. Karena selama kita belum bisa melepaskan diri dari pemikiran yang terus mengagung-agungkan peranan asing (mental inlander) dalam kehidupan kita selama itu pula kita akan terus terjajah. Sudah saatnya kita hidup secara mandiri, sudah saatnya kita merdeka, merdeka 100%, merdeka sepenuhnya(&ri).