Kamis, 23 Juli 2009

PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH BERBASIS KOMUNITAS: BELAJAR DARI BAAN MAKONG

Tidak hanya di Indonesia, permukiman kumuh turut menjadi salah satu permasalahan yang hadir di banyak negara. Timbulnya kawasan permukiman kumuh seakan-akan menjadi suatu hal yang hampir mustahil untuk dihalangi di berbagai kota besar di dunia. Hal ini tidak terlepas karena masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam menyediakan rumah yang layak bagi dirinya sendiri, padahal hampir sebagian besar perumahan disediakan secara swadaya oleh masyarakat.
Secara umum pembangunan perumahan bagi masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:
1. Perumahan Publik
Dalam sistem perumahan yang lebih bergaya sosialis ini, rumah siap pakai (biasanya dalam bentuk blok atau flat atau rumah kecil berderet) dibangun oleh negara dan kemudian disewakan pada masyarakat, biasanya diberikan subsidi, menjadikan pemerintah sebagai penyedia perumahan. Di Asia, sistem penyediaan perumahan seperti ini dilakukan terutama di Singapura (yang 95% perumahannya dibangun oleh pemerintah) dan Hong Kong (yang proporsi persediaan perumahan publik menurun tajam).



2. Perumahan Sektor Pasar
Dalam sistem penyediaan perumahan ini, pihak swasta mendesain dan membangun proyek perumahan (dibanyak tempat, mulai dari rumah pribadi kemudian kondominium dan sejumlah flat) kemudian menjual atau menyewakannya demi mendapatkan kembali biaya pembangunan serta keuntungannya. Sistem yang memandang perumahan bukan sebagai kebutuhan mendasar umat manusia tetapi sebagai komoditas ini merupakam sistem perumahan yang kini lazim di kebanyakan negara Asia. Sistem ini mampu membantu pemerintah dalam menyediakan kebutuhan rumah, tetapi, dari banyak kasus yang terjadi, sektor ini tidak dapat menjangkau kaum miskin yang berjumlah 30% dari penduduk perkotaan Asia.
3. Sektor Perumahan Masyarakat
Dalam sistem ini sebuah keluarga membangun rumahnya sendiri di tanah yang mereka beli atau warisi, ataupun bisa juga membeli rumah yang telah jadi dari pengembang real estate. Di Indonesia sistem ini masih menjadi pilihan utama masyarkana. Pada tahun 2004, berdasarkan data BPS, 68,4% masyarakat Indonesia memperoleh rumah tingga secara swadaya.
4. Perumahan Komunitas
Perumahan komunitas merupakan perumahan yang direncanakan, dibiayai, dan dibangun oleh sekelompok orang. Di negara seperti Denmark, masih ditemukan proyek perumahan yang dibangun oleh sekelompok keluarga perkotaan yang tidak mau hidup dalam rumah atau apartemen yang teripisah. Keluarga ini memilih bergabung dengan keluarga lain untuk merencanakan sebuah komunitas baru serta membangun perumahan baru mereka sebagai sebuah kelompok. Sistem pembuatan perumahan seperti ini dapat berjalan baik ketika ada pengaturan keuangan yang membiayai mereka, instrumen legal untuk memberikan status legal bagi kelompok yang akan membangun rumah tersebut, dan berbagai aturan tentang organisasi komunal untuk mendukung proses tersebut. Kebanyakan proyek perumahan yang dibiayai CODI di Thailand, sepanjang tahun 1990-an sampai awal 2000, turut dibangun berdasarkan pola ini, dengan membentuk kerjasama komunitas.
5. Perumahan “Komunitas dan Kota”
Sistem baru dalam penyediaan perumahan ini diawali dengan Program Baan Mankong. Dalam sistem ini, komunitas yang tergabung dalam jaringan komunitas bersama mengadakan survei secara kelompok tentang berbagai persoalan perumahan mereka, kemudian mengadakan kerjasama dengan pemerintah kota mereka dan juga dengan organisasi-organisasai yang punya perhatian terhadap persoalan tersebut untuk bersama-sama membuat rencana yang bisa memecahkan persoalan dan dapat memperbaiki semua komunitas, dengan dana dan dukungan dari pemerintah. Bentuk pembangunan di masing-masing komunitas adalah fleksibel, dan dapat mengikutsertakan upgrading, pindah ke lahan terdekat, pembagian lahan, ataupun reblocking. Yang lebih penting dari bentuk adalah fakta bahwa rencana pembangunan perumahan mencakup semua pemukiman, dan lahir dari proses bersama semua stakeholder lokal.
Salah satu program pengentasan masalah permukiman yang inovatif adalah program pembangunan perumahan berbasiskan komunitas dan kota yang bernama Baan Makong Program di Thailand.
Pada Januari 2003, pemerintah Thailand mencanangkan program perbaikan perumahan kumuh melalui Baan Makong Program yang kemudian dijalankan oleh suatu badan yang bernama Community Organizations Development Institute (CODI). Dalam program ini pemerintah menyediakan pinjaman lunak dan bantuan infrastruktur bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah yang berencana untuk melakukan perbaikan terhadap rumah dan lingkungan permukiman mereka. Pada pelaksanaan program ini, komunitas tersebut diberikan kepercayaan penuh untuk dapat mengelola anggaran pembangunan secara mandiri. salah satu kekuatan dari Baan Makong Program ini adalah perbaikan rumah dilakukan langsung pada lokasi-lokasi kumuh tanpa menyebabkan terjadinya penggusuran masyarakat penghuni daerah tesebut, sehingga program ini secara langsung berkontribusi dalam menggurangi lokasi-lokasi permukiman kumuh.
Sampai bulan Maret 2008, tercatat sebanyak 53.976 rumah tangga telah mendapatkan perbaikan rumah melalui program ini. Sebagai cara penanganan masalah perumahan yang tidak konvensional, kekuatan dari program Baan Makong sangat ditopang oleh adanya kerja sama yang erat antara komunitas masyarakat dengan pemerintah lokal, profesional di bidang perumahan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam mensurvei seluruh lokasi permukiman kumuh dan kemudian menyusun rencana perbaikan. Selain itu, program ini didukung oleh usaha pemerintah yang telah disusun selama 10 tahun secara bertahap dan sistematis dalam mengatasi permasalahan perumahan, seperti pembentukan tabungan masyarakat dan kredit usaha yang berskala besar, pembentukan dan penguatan hubungan jaringan antar masyarakat, dan kemudian secara bertahap menggunakan kemampuan masyarakat tersebut dalam menyelesaikan masalah perumahan.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkirin bahwa salah satu kunci sukses dari pelaksanaan program Baan Makong adalah adanya komitmen dan kontribusi yang besar dari pemerintah pusat, serta adanya kepercayaan untuk menyertakan masyarakat sebagai dari inti pengerak penyelesaian masalah. Desentralisasi proses penyelesaian masalah ini menyebabkan penyelesaian masalah perumahan menjadi lebih tetap sasaran dan tidak memarjinalkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Tidak seperti kasus rekonstruksi kawasan kumuh di beberapa kota besar, program Baan Makong mendapatkan penerimaan yang luas dari masyarakat kawasan kumuh itu sendiri untuk memperbaiki lingkungan permukiman tersebut. Hal ini disebabkan, program Baan Makong tidak memaksakan satu pola rekonstruksi kepada masyarakat kawasan kumuh yang bersifat menggusur. Program Baan Makong memberikan pilihan kepada kelompok masyarakat untuk memilih salah satu pola perbaikan lingkungan kumuh sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat penghuni daerah tersebut. Adapun pola yang ditawarkan dalam program Baan Makong adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Kualitas Permukiman (Upgrading).
Pola ini melakukan perbaikan baik pada kondisi rumah masyarakat maupun kondisi lingkungan yang ada, tanpa merubah tata ruang dari lingkungan permukiman itu sendiri. Adapun hal yang diperbaiki meliputi perbaikan rumah, jalan, drainase, dan perbaikan ruang terbuka. Dengan pola ini, perbaikan lingkungan dapat dilaksanakan dengan melestarikan lokasi, karakter, dan struktur sosial masyarakat yang telah berkembang di daerah permukiman tersebut.
2. Penataan Ruang Kembali (Reblocking)
Rebloking merupakan suatu penataan kembali lingkungan permukiman yang lebih tersistematis dengan adanya peningkatan kualitas infrastrukur, fasilitas fisik, dan penataan kembali tata ruang dari lokasi rumah hingga jalan dan drainase. Setelah adanya penyusunan tata ruang yang baru, masyarakat dapat mengembangkan kembali rumahnya sesuai dengan tingkat kemampuannya. Namun kosekuensi yang harus dihadapi adalah terjadinya pemindahan sebahagian atau bahkan keseluruhan bangunan rumah yang ada untuk dapat membangun akses jalan serta sarana dan prasarana lainnya.
3. Pembangunan Ulang (Reconstruction)
Pada pola ini, permukiman kumuh yang ada secara menyeluruh dibangun ulang menjadi kawasan permukiman yang layak huni. Dampaknya perumahan yang ada seluruhnya harus dirobohkan, dan selanjutnya masyarakat penghuni diberikan pilihan untuk menghuni rumah yang baru baik dengan cara menyewa maupun dengan cara membeli. Adapun keuntungan yang diperoleh dengan cara ini adalah adanya kepastian hukum (secure tenure) bagi masyarakat untuk menghuni di kawasan permukiman tersebut.
4. Pembagian Lahan (Land Sharing)
Banyak kasus yang terjadi akibat adanya persengketaan lahan, seperti perebutan tanah oleh penghuni lahan informal dengan pemilik tanah yang sah. Salah satu tawaran yang diberikan dalam program Baan Makong adalah adanya pembagian lahan (land sharing) antara penghuni dengan pemilik lahan. Tanah permukiman yang telah ada kemudian ditata kembali menjadi dua are yakni area permukiman, yang mana penghuni membeli atau menyewa lahan tersebut, dan area yang dikembalikan kepada pemilik lahan untuk dikembangkan menjadi kawasan komersial. Dengan demikian diharapkan konflik yang terjadi antara penghuni dan pemilik lahan dapat dihindari.
5. Pemindahan (Relocation)
Strategi relokasi merupakan suatu strategi penanganan kawasan kumuh yang paling sering digunakan. Dalam strategi ini, penghuni kawasan kumuh secara total dipindahkan kepada daerah permukiman baru yang telah disediakan. Dalam realitasnya, strategi ini sering kali mendapat perlawanan dari penghuni karena relokasi membuat penghuni kehilangan komunitas sosialnya, kesempatan kerja, dan fasilitas lainnya yang selama ini mereka dapatkan. Namun, relokasi memberikan kepastian hukum bagi para penghuni kawasan kumuh untuk dapat tinggal di rumah yang layak huni.
Tantangan terbesar dalam menjalankan program seperti Baan Makong adalah bagaimana memastikan bahwa kelompok-komunitas adalah pemegang peranan penting dalam proses pembangunan permukiman tersebut serta bagaiaman membangun kerja sama lokal di komunitas tersebut. Dalam mengahadapi tantangan tersebut, terdapat beberapa langkah yang harus dilaksanakan guna memecahkan permasalahan tersebut, antara lain:
1. Mengenali pihak-pihak terkait dan mengampanyekan program. Baik diprakarsai oleh komunitas jaringan yang sudah ada, suatu kepanitiaan warga, maupun pembentukan suatu lembaga nasional seperti CODI. Proses tersebut diawali dengan melakukan koordinasi meliputi semua pihak terkait dalam pemecahan permasalahan perumahan kota dan menjelaskan peluang yang ditawarkan dalam program tersebut. Ini dilakukan untuk memperoleh dukungan sebagai dasar kerjasama. Untuk memberi dorongan besar bagi keberlanjutan program sebaiknya mengundang para pihak terkait untuk mengunjungi daerah yang telah memulai proses.
2. Mengorganisir pertemuan jaringan. Jaringan komunitas memegang peranan penting dalam menyukseskan program Baan Makong di masing-masing kota, maka ide dan pengertian mereka sangat penting untuk dimasukkan dalam rumusan proyek. Hal ini dapat dilakukan pada pertemuan-pertemuan komunitas dan pimpinan jaringan. Perwakilan komunitas dari kota lain juga dapat menghadiri pertemuan ini untuk saling tukar pemikiran, membangun kerjasama sejajar, dan memaparkan berbagai kemungkinan.
3. Mengorganisir pertemuan kelompok. Jaringan kemudian mengadakan pertemuan kelompok, pada masing-masing kotanya (melibatkan pemerintah kota jika dimungkinkan) untuk menjelaskan program pengembangan dan membantu kelompok-kelompok memulai persiapan perbaikan yang mereka rencanakan dan kerjakan sendiri.
4. Membentuk panitia bersama. Dibentuklah panitia gabungan untuk mengawasi pelaksanaan program di masing-masing kota. Komposisi keanggotaannya tidak pasti, tetapi harus menyertakan pimpinan-pimpinan komunitas dan jaringan, pihak-pihak dari pemerintah kota, akademisi lokal, LSM lokal, dan pihak-pihak lain yang terkait. Dengan adanya kerjasama berbagai pihak dalam satu panitia bersama, maka diharapkan bisa membangun hubungan dan kerjasama baru, mengintegrasikan perumahan ke dalam pembangunan kota secara keseluruhan serta menciptakan mekanisme kerja untuk memecahkan permasalahan perumahan di masa mendatang.
5. Mengadakan pertemuan kota. Pekerjaan pertama panitia bersama adalah mengusahakan adanya pertemuan antar perwakilan komunitas-komunitas miskin untuk menginformasikan kepada semuanya tentang langkah-langkah yang diambil dalam melaksanakan program Baan Makong, serta memulai penelitian dan mempersiapkan proses di masing-masing kelompoknya.
6. Menyurvei komunitas-komunitas. Jaringan dan panitia bersama lantas mengumpulkan informasi yang rinci tentang kelompok-kelompok miskin di seluruh kota (atau memperbaharui data yang sudah ada). Informasi mengenai jumlah rumah tangga, keamanan perumahan, pemilikan lahan, masalah sarana, organisasi kelompok yang sudah ada, kegiatan tabungan (koperasi), dan prakarsa-prakarsa pembangunan yang sudah ada akan dikumpulan. Selain mengumpulkan data yang secara langsung dibutuhkan untuk program pengembangan, survei ini juga membuka peluang bagi komunitas di seluruh kota untuk saling bercerita tentang masalah masing-masing dan memperkuat jaringan, yang akan berguna dalam perencanaan bersama nantinya.
7. Merencanakan pembangunan seluruh kota. Data hasil penelitian akan membantu menentukan daerah kota yang paling penting untuk diperbaiki, dan menginformasikan rencana pembangunan rumah dan sarana lain pada masing-masing kelompok. Selama proses ini berlangsung, pimpinan kelompok mulai memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya lokal yang ada (misalnya: tanah, keahlian, dan anggaran) untuk menentukan lokasi proses pengembangan, memperluas lingkaran gotong-royong, dan mengatasi berbagai rintangan.
8. Membentuk tabungan kelompok sebagai alat yang sangat penting untuk menggerakkan potensi yang ada pada masing-masing kelompok, memperkuat semangat kemandirian, serta membangun keahlian mengurusi masalah bersama di antara sesama penduduk miskin. Beberapa kota sudah memiliki kegiatan tabungan kelompok, tetapi tetap masih harus terus diperbaiki dan diperluas.
9. Memilih proyek percontohan. Panitia bersama memilih beberapa kelompok sebagai proyek percontohan di tahun pertama untuk memberikan “belajar sambil mengerjakan” pada seluruh kota. Proyek percontohan mungkin bisa dipilih berdasarkan kesiapan kelompok, tingkat permasalahan perumahan yang dihadapi, dan seberapa banyak kemungkinan pembelajaran yang bisa dipetik.
10. Mempersiapkan rencana pembangunan pada proyek percontohan. Langkah berikutnya adalah komunitas percontohan mempersiapkan rencana pembangunan perumahan dan sarana mereka, dengan bantuan para arsitek atau dari universitas setempat. Rencana ini harus komprehensif, bukan hanya meliputi pembangunan fisik, perumahan, dan pengelolaan yang rinci, tetapi juga aspek-aspek sosial seperti kesejahteraan dan ruang usaha perekonomian yang lebih luas bagi warga miskin.
11. Menyetujui proyek percontohan. Kelompok yang daerahnya dijadikan sebagai proyek percontohan harus menerangkan rencana pengembangannya kepada panitia bersama untuk didiskusikan dan disetujui, sebelum dikirim kepada panitia pusat untuk persetujuan akhir, dengan langkah ini proyek kurang lebih menjadi pasti.
12. Memulai pembangunan. Setelah rencana kelompok sudah matang, anggaran diturunkan, lantas penduduk bisa memulai pembangunan rumah dan sarana baru mereka dengan menggunakan pemborong dan tenaga kerja lokal sesuai dengan rencana mereka.
13. Menjadikan proyek percontohan sebagai pusat pembelajaran. Proyek percontohan ini dapat menjadi pusat pembelajaran bagi kelompok dan pihak terkait lain di dalam atau di luar kota, oleh sebab itu kelompok pemilik proyek percontohan harus merancang bagaimana memaksimalkan pertukaran pengetahuan, keahlian, gagasan dan kerjasama pada pimpinan-pimpinan kelompok dan organisasi-orgnasisi pembangunan lokal.
14. Memperluas proses perbaikan. Pengalaman yang dipetik dari proyek percontohan harus memunculkan pengembangan berikutnya bagi komunitas miskin yang masih ada. Untuk diselesaikan dalam tiga tahun. Rencana perbaikan perumahan ini juga harus mencakup keluarga lemah yang tinggal di luar kelompok yang sudah terbentuk, warga yang tak memiliki rumah, dan pekerja yang berpindah-pindah, dan harus mempertimbangkan persoalan di masa depan karena migrasi dan kepadatan penduduk.
15. Mengintegrasikan rencana pengembangan ke dalam pembangunan perkotaan. Adalah penting untuk menggabungkan proses kerjasama pemecahan masalah ke dalam program yang lebih besar yaitu rencana pembangunan kota. Ini meliputi koordinasi dengan pemilik lahan swasta atau negara dalam memberikan status kepemilikan lahan atau lahan alternatif untuk pemukiman ulang, penggabungan infrastruktur komunitas dengan jaringan yang lebih luas, serta memasukkan proses pengembangan ke dalam program pembangunan kota, seperti program nasional: “Livable Cities Program” (Program Kota Layak Huni).
16. Membangun jaringan warga yang lebih luas. Jaringan kelompok sudah terbentuk dengan kokoh di kurang dari setengah dari 200 kota sasaran. Jadi, adalah penting bagi komunitas-komunitas di dalam kota “baru” untuk membentuk jaringan bersama seputar isu-isu pembangunan yang penting, seperti: kepemilikan lahan bersama, pembangunan bersama, badan usaha kerjasama, kesejahteraan komunitas, pemeliharaan irigasi bersama, pendauran ulang, dan pembuangan sampah.
17. Pertukaran. Suatu program yang didalamnya selalu terjadi pertukaran antara proyek, kota dan wilayah, melibatkan kelompok masyarakat, pemerintah kota, arsitek, LSM dan pihak terkait lainnya dalam proses pengembangan, merupakan salah satu strategi penting untuk menyukseskan program tersebut secara nasional.
Ada hal yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan perumahan dengan metode seperti Baan Makong, yakni pembangunan perumahan tidak hanya memperhatikan perbaikan fisik saja, namun juga memperhatikan aspek perencanaan yang lebih komprehensif dan holistik, yakni sebagai berikut:
1. Rencana pembangunan infrastruktur yang disiapkan komunitas mesti memasukan hal-hal seperti: pemetaan tanah, gang dan jalan, sistem pasokan air dan listrik saluran pembuangan tinja, serta lokasi pembuangan sampah padat, di level komunitas maupun rumah tangga.
2. Rencana pembangunan lingkungan mencakup lokasi penanaman pohon dan daerah hijau, pengecatan rumah, pembersih saluran air, taman, daur ulang sampah dan air buangan, sistem energi alternatif, taman bermain, area rekreasi, dan sebagainya.
3. Rencana pembangunan sosial bagi komunitas meliputi pusat pendirian pusat kesejahteraan, pusat kesehatan anak, klinik, asrama untuk orang miskin atau orang jompo, community center, ruang serbaguna, sistem komunikasi, fasilitas pemadam kebakaran, dan sebagainya.
4. Rencana pembangunan ekonomi untuk komunitas meliputi pembangunan pasar atau pertokoan komunitas, membuat wilayah konservasi dan rekreasi yang baik, meningkatkan pendapatan penduduk melalui wirausaha komunitas, pinjaman bagi usaha kecil, dukungan pada industry.
Dari program Baan Makong tersebut, setidaknya terdapat 10 hal yang dapat menjadi pelajaran dalam pelaksanaan pembangunan perumahan, terutama dalam hal perbaikan kawasan permukiman kumuh, yakni:
1. Menjadikan komunitas dan jaringan kerjanya sebagai pelaku utama
Program perumahan konvensional bagi orang miskin menyisakan persoalan karena program ini justru mendorong badan-badan pemerintah, bukannya masyarakat, untuk menyelasaikan segala pekerjaannya. Berbagai kasus menunjukkan, badan itu tidak mampu memenuhi skala kebutuhan masyarakat. Strategi Baan Mankong dengan menggunakan komunitas, dan
jaringan kerja berbasis kota dengan komunitas sebagai pelopornya, dalam menyelesaikan masalah perumahan miskin Thailand mencerminkan tonggak sejarah penting bagi proses desentralisasi di Thailand, dan merupakan sebuah cara kongkret bagi pengembangan kapasitas lokal untuk menyelesaikan permasalahan perumahan lokal. Melalui pelibatan dan partisipasi komunitas untuk memperbaiki berbagai perumahan, program ini memperkuat bangunan organisasi komunitas dan mendorong kapasitas masyarakat untuk mengelola pembangunan mereka sendiri.
2. Program ini lebih “didorong permintaan” daripada “didorong persediaan”.
Karena program Baan Mankong membiarkan komunitas yang siap melaksanakan proyek pengembangan sesuai kebutuhan dan prioritas yang mereka temukan melalui proses survei, diskusi, dan sharing bersama secara ekstensif, program ini menciptakan pendekatan yang “didorong permintaan” bagi pengembangan komunitas. Pendekatan ini sungguh berbeda dengan model pendekatan konvensional yang “didorong persediaan” untuk menyelesaikan persoalan perumahan kota, yakni negara membangun unit-unit perumahan, penempatan penduduk, atau standar fasilitas insfrastruktur yang kesemuanya menurut rencana, kriteria seleksi, dan metode pembangunan yang dirancang pemerintah.
3. Menjadikan masyarakat sebagai pengontrol keuangan.
Inovasi paling radikal program ini barangkali adalah bahwa dana benar-benar disalurkan kepada komunitas untuk dikelola secara mandiri, setelah mereka membuat rencana pengembangan dan menegosiasikan status pemilikan tanah mereka. Melalui pengucuran dana langsung ke tangan masyarakat, program ini meletakkan komunitas sebagai pemegang kendali rencana perbaikan komunitas, bukannya agen pemerintah dan LSM. Masyarakat memutuskan sendiri bagaimana penggunaan subsidi per-keluarga itu. Komunitas berhak memutuskan, misalnya, menyediakan dana khusus untuk membeli material bangunan dengan murah secara borongan atau menyisakan uang untuk membangun tempat perawatan kesehatan publik. Proses manajemen keuangan secara fleksibel dalam program ini menjadikan masyarakat bisa membuat keputusan sendiri dan bisa mengatur bangunan sesuai realitas kehidupan mereka. Sementara itu, partisipasi multi-pihak ini mendorong munculnya transparansi dan penilaian personal pada setiap tahapan proses.
4. Menjadikan penggunaan sumberdaya negara bagi orang miskin lebih efisien.
Karena model pengembangan ini memposisikan komunitas sebagai pengambil kebijakan dan pengontrol keuangan, model ini juga memberi mereka kesempatan untuk lebih mengefisienkan penggunaan berbagai sumberdaya negara. Ketika dana yang biasanya digunakan untuk membangun perbaikan konvensional langsung diberikan kepada komunitas, bukannya pada kontraktor, mereka mampu membangun perbaikan yang sama dengan sebagian dana dan masih menyisakan uang untuk kebutuhan lain. Ketika komunitas masyarakat merencanakan dan memutuskan bagaimana menggunakan dana itu, mereka menjadi sangat hemat dan kreatif, banyak variasi dan inovasi muncul secara alami serta mencuatkan kekayaan sumberdaya, kehematan, dan kretivitas yang ada pada komunitas miskin. Jika sebuah komunitas sebanyak 200 keluarga, misalnya, memiliki dana yang cukup dari subsidi untuk pembangunan prasarana, mereka mampu menggunakan itu untuk menjawab lebih banyak kebutuhan ketimbang pengembangan standar yang akan menghabiskan seluruh dana. Selain memperbaiki jalan, pipa saluran, dan sistem penyediaan air, mereka juga mampu membangun sebuah kantor komunitas, atau mengecat semua rumah dengan warna, tanaman, tata letak taman, dapur organik secara terkoordinasi, sesuai dengan prioritas mereka.
5. Membiarkan masyarakat memilih partner kerja mereka.
Aspek penting lain dari program ini adalah bahwa komunitas dan aktor lokal, bukan pemerintah dan CODI, mempunyai kebebasan untuk memilih orang, LSM, arsitek, institusi atau universitas yang mereka kehendaki untuk membantu proses pembuatan rencana perbaikan komunitas. Kelompok yang mereka pilih itu kemudian akan menerima subsidi bantuan administratif guna menutup aneka ongkos mereka. Masing-masing kota menerima bantuan administratif sebesar 5% dari total anggaran. Di beberapa kota, kerjasama antara komunitas, pemerintah lokal, dan organisasi lain telah mapan dan menggunakan bantuan subsidi ini secara lebih fleksibel sebagai anggaran komunal untuk seluruh aspek manajemen program.
6. Mendorong konsep yang lebih luas tentang pengembangan.
Program Baan Mankong menggunakan keuangan untuk mendorong proses perbaikan komunitas secara lebih luas, menyeluruh, dan terintegrasi. Tujuan program lebih dari sekadar perbaikan fisik dan jaminan keamanan, yakni untuk perbaikan sosial, lingkungan, dan ekonomi secara lebih baik.
7. Mendorong keragaman ketimbang solusi standar.
Di masa lalu, ketika komunitas yang ada akan dikembangkan, atau akan dibangun area relokasi baru, proses itu mengikuti seperangkat rancangan standar dan norma-norma rekayasa, semua atas nama efisiensi. Hasilnya, seluruh perbaikan dan tata letak sangat seragam, tanpa mengindahkan siapa yang hidup di daerah tersebut. Kenyataannya, sangat mungkin untuk mengembangkan komunitas lama, atau merancang yang baru, dengan diikuti oleh pola ruang yang dapat menghantarkan kenyamanan dan kebahagiaan bagi perkampungan informal, seperti gang bersemilir angin, bangunan rumah berkelompok di sekitar jalan buntu melingkar, tempat rindang untuk berkumpul dan duduk bersama, pasar dan tempat ibadah, tanah bermain, dan sebagainya. Ketika komunitas merencakan perbaikan mereka sendiri dalam program Baan Mankong, mereka akan bekerja bersama untuk mengidentifikasi gambaran sosial dan ruang yang mereka inginkan untuk melindungi perkampungan, membangun jalan baru, serta selokan seputar mereka.
8. Membangun komunitas sebagai bagian integral kota.
Dalam proses pengembangan di bawah Baan Mankong, komunitas tidak merencanakan dan melaksanakan perbaikan mereka secara terpisah, tapi menjadi bagian dari proses penemuan solusi yang komprehensif dan kolaboratif atas problem perumahan bagi orang-orang miskin kota masa kini. Termasuk melaksanakan survei pemukiman di kota, dan kemudian mempersiapkan pengembangan rencana yang berusaha memecahkan persoalan penduduk, problem perumahan, dan infrastruktur seluruh komunitas dalam beberapa tahun. Tak ada seorangpun yang tertinggal. Ini merupakan cara untuk menjaring masalah perumahan warga negara termiskin di kota dengan proses perencanaan kota yang lebih luas. Ini sangat berbeda dengan pendekatan proyek demi proyek, yang mungkin bisa mengembangkan segelintir komunitas, tapi karena mereka tidak saling membangun jaringan, dan juga tidak terkait dengan proses pembangunan kota, mereka menjadi tidak kuat. Proyek kecil yang baik dalam komunitas kecil mungkin memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat di tempat itu, tapi jarang mengubah kehidupan kaum miskin atau membawa perubahan pada skala yang signifikan. Dalam jangka panjang, proses pengembangan juga dapat menggerakkan transformasi dalam proses pembangunan kota yang lebih luas, di mana komunitas tidak hanya dianggap sebagai warga negara yang sah tapi juga sebagai mitra yang sangat berarti dalam penyelesaian masalah seluruh kota.
9. Mengubah peran pemerintah secara dramatis.
Di kebanyakan program perumahan konvensional, pemerintah memegang kendali perencanaan, pelaksana, dan pengelolaan bangunan sekaligus, dengan menyisakan ruang kecil saja bagi partisipasi komunitas, dan hampir tak ada peran, hanya sebagai penerima pasif dari solusi yang dirancang orang lain. Proses perumahan ini, yang fokus pada penyediaan, tidak menyisakan ruang tumbuh dan belajar, tidak memberi kesempatan untuk mengubah sebuah hubungan, tidak memberi ruang bagi pembangunan sosial lain yang bisa lahir dari proses itu. Pada program Baan Mankong, karena komunitas, dan jaringan komunitas, membuat seluruh keputusan dan melaksanakan seluruh kerja mereka sendiri, pemerintah akhirnya mampu mengambil peran fasilitator dan pendukung bagi komunitas, yang sekarang mengambil peran sebagai penyedia perumahan. Dan dengan sedikit staf koordinasi untuk memfasilitasi proses luar biasa besar ini, CODI tidak bisa mengontrol program-program utama, bahkan jika mau.
10. Menjamin status lahan.
Aspek penting dari program Baan Mankong adalah memperluas cakupan untuk tidak hanya mencakup kondisi fisik tapi juga jaminan status kepemilikan lahan penduduk, yang dipandang sebagai pondasi keberlanjutan komunitas. Karena program itu bertalian dengan isu tanah, ia juga terkait dengan pola bagaimana masyarakat bermukim area tanah itu. Ini semua tergantung pada komunitas untuk menegosiasikan kedudukan mereka sendiri, sebagai prakondisi untuk berpartisipasi dalam program pengembangan, melalui strategi seperti pembelian tanah secara kooperatif, kontrak sewa jangka panjang, atau hak guna lahan. Negosiasi ini bisa dilakukan secara individu melalui komunitas atau secara kolektif dengan jaringan yang lebih luas. Meski demikian penekanan utamanya adalah mendapatkan jaminan status lahan secara kolektif daripada secara individual.

Selasa, 06 Januari 2009

Sertifikasi Caleg??

akhir-akhir ini, ada sebuah peristiwa yang membuat saya tidak tau harus bersikap seperti apa. apakah harus bersenang hati atau justru bersedih melihatnya. untuk kesekian kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menganulir undang-undang yang dibuat oleh DPR.

saya senang karena akhirnya supremasi hukum dan kedaulatan konstitusi dapat tegak diatas kepentingan elit-elit poliki. saya senang karena ini adalah harapan untuk bangsa yang berjalan atas peraturan bukan pengaturan elit. saya senang karena kini rakyat pun bisa mengontrol dan mengawasi wakilnya di senanyan.

namun dibalik itu rasa sedih juga menghinggapi. beginikan kualitas wakil-wakil kita di DPR??. dengan sangat mudah undang-undang yang disusun dengan biaya yang luar biasa besar, mengundang begitu banyak ahli-ahli, digugurkan bagai "sampah" di MK. ada apa sebenarnya dengan DPR? bukankah mereka itu orang-orang pilihan? bukankah mereka sudah dibantu dengan tenaga-tenaga ahli dan dana yang besar? kalau mereka saja tidak bisa lalu siapa yang dapat diharapkan membuat undang-undang?

hal ini membesitkan sebuah ide di dalam kepala saya. hal ini menunjukkan adanya kelemahan pengetahuan konstitusi di sebagian besar anggota DPR. dan tentunya ini harus diperbaiki di masa yang akan datang. oleh karena itu para anggota DPR harus diberikan pembekalan konstitusi. tapi bagaimana caranya?

kenapa tidak kita lakukan saja sertifikasi caleg? orang-orang yang berminat menjadi caleg haruslah mengikuti sebuah kursus atau pelatihan konstitusi untuk mendapatkan setifikat. dimana kemudian hanya mereka yang memiliki sertifikat inilah yang berhak mendaftarkan diri menjadi caleg.

tapi bukankan ini akan menghambat hak konstitusi seseorang untuk dipilih? tapi bukankah kita juga memerlukan kualitas? lagi pula inikan bukan sama sekali menghilangkan cuma mensyaraktkan tambahan pengetahuan untuk bisa mendaftar.

lagi pula kalau guru saja harus punya sertifikat, tukang las pun begitu, bahkan tukang bangunan saja dipaksa memiliki sertifikat, maka legislator yang notabenya adalah pekerjaan yang sulit dan menyangkut hidup orang banyak justru tidak boleh dilakukan sembarangan. maka pensertifikasian perlu dicoba untuk meningkatkan kualitas para caleg kita di senanyan.

ya semoga ide sederhana ini dapat berkembang menjadi sistem yang berguna untuk bangsa dan negara ini...