PEREKONOMIAN KOTA BANDUNG DALAM KONSTELASI JAWA BARAT
Perkembangan dan pembangunan suatu kota saling berkaitan dengan jumlah, struktur dan dinamika penduduknya, tingkat sosial ekonomi serta luas wilayahnya. Jumlah penduduk yang banyak memerlukan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, sehingga semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan sarana dan prasarana di kota tersebut. Tingkat sosial ekonomi dapat membentuk watak dan kualitas kehidupan penduduk. Kota dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah cenderung dapat menimbulkan kekumuhan, sebaliknya kota dengan tingkat sosial ekonomi yang baik cenderung akan lebih teratur. Pada aspek luas wilayah, akan berkaitan dengan tingkat mobilitas dan interaksi antar penduduk. Ketiga hal tersebut di atas merupakan faktor penting dalam penentuan strategi pembangunan suatu kota.
Dalam sudut pandang tersebut, Kota Bandung dapat dikatakan pusat aktivitas perekonomian Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan Kota Bandung menjadi magnet penarik bagi kota-kota disekitarnya. Kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Bandung telah menyatu dan relatif sulit untuk dapat dibedakan secara jelas dengan masyarakat daerah tetangga. Selain itu, pasca dibukanya akses jalan tol langsung menuju Kota Jakarta, Kota Bandung telah menjadi salah satu tujuan wisata favorit warga Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) khususnya di masa akhir pekan. Hal ini berdampak semakin besarnya permintaan khususnya barang konsumsi dan jasa di Kota Bandung yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi Kota Bandung.
Karena itu, analisis ekonomi Kota Bandung akan berkaitan erat dengan perkembangan daerah sekitarnya (Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung) serta Kota Jakarta. Bahkan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung sudah sedemikian menyatu, khususnya yang tinggal berdekatan dengan perbatasan kota. Kondisi ini dicirikan oleh penduduk yang dalam pergerakannya cenderung memusat ke Kota Bandung baik untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Karena itu, sebenarnya memisahkan secara administratif untuk kegiatan ekonomi Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung relatif sulit karena keduanya secara empiris saling berkaitan yang melebur (aglomerasi) dalam kesatuan daerah Bandung Metropolitan.
Dalam sudut pandang tersebut, Kota Bandung dapat dikatakan pusat aktivitas perekonomian Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan Kota Bandung menjadi magnet penarik bagi kota-kota disekitarnya. Kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Bandung telah menyatu dan relatif sulit untuk dapat dibedakan secara jelas dengan masyarakat daerah tetangga. Selain itu, pasca dibukanya akses jalan tol langsung menuju Kota Jakarta, Kota Bandung telah menjadi salah satu tujuan wisata favorit warga Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) khususnya di masa akhir pekan. Hal ini berdampak semakin besarnya permintaan khususnya barang konsumsi dan jasa di Kota Bandung yang memiliki dampak positif terhadap perkembangan ekonomi Kota Bandung.
Karena itu, analisis ekonomi Kota Bandung akan berkaitan erat dengan perkembangan daerah sekitarnya (Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung) serta Kota Jakarta. Bahkan kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung sudah sedemikian menyatu, khususnya yang tinggal berdekatan dengan perbatasan kota. Kondisi ini dicirikan oleh penduduk yang dalam pergerakannya cenderung memusat ke Kota Bandung baik untuk kegiatan ekonomi dan sosial. Karena itu, sebenarnya memisahkan secara administratif untuk kegiatan ekonomi Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung relatif sulit karena keduanya secara empiris saling berkaitan yang melebur (aglomerasi) dalam kesatuan daerah Bandung Metropolitan.
Gambar 1. Kontribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandung
dan Sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2006
dan Sekitarnya terhadap Ekonomi Jawa Barat Tahun 2006
Kawasan Bandung Metropolitan memiliki peranan yang signifikan dalam perekonomian Jawa Barat. Kawasan Bandung Metropolitan memberikan kontribusi sebesar 21% dari total PDB Jawa Barat, dimana Kota Bandung sendiri memiliki kontribusi terbesar yakni 10,03% dari perekonomian Jawa Barat. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung juga tergolong tinggi, atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dan bahkan nasional. Pada tahun 2006 tingkat pertumbuhan ekonomi Kota Bandung mencapai 7,83% dan diperkirakan pada tahun 2007 mencapai 8,24%. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa Kota Bandung adalah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang penting di Jawa Barat maupun di Indonesia.
STRUKTUR EKONOMI KOTA BANDUNG
Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp.51,3 trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp.22.640.000,-. Tingkat pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi sekitar 36,4% dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor industri pengolahan sekitar 29,8%. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sekitar 10,8% demikian juga dengan sektor jasa-jasa. Pembentukan investasi di Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai Rp.5,4 trilyun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp.4,2 trilyun.
Sebagai pusat perekonomian Jawa Barat dan sekaligus sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, aktivitas ketenagakerjaan di Kota Bandung pada umumnya adalah pada sektor jasa dan perdagangan. Pada tahun 2007, 36,7% penduduk Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sebanyak 24,9% tenaga kerja Kota Bogor bekerja di sektor jasa yang meliputi jasa pemerintahan umum dan swasta. Walaupun menyerap tenaga kerja dalam jumlah terbesar, namun bila dibandingkan dengan jumlah produksi ekonomi, maka produktivitas tenaga kerja di sektor jasa-jasa jauh lebih rendah dibandingkan sektor lainya. Kondisi ini menunjukkan pekerja sektor jasa yang di dalamnya meliputi jasa pemerintahan umum dan sosial kemasyarakatan relatif mendapat tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang relatif rendah atau distribusi pendapatan di sektor ini tidak merata. Selain itu ada kemungkinan sektor jasa-jasa menampung banyak tenaga kerja kurang produktif, sehingga ada potensi pengangguran semu cukup besar pada sektor ini.
Nilai PDRB Kota Bandung pada tahun 2007 adalah sebesar Rp.51,3 trilyun dengan tingkat PDRB per kapita sebesar Rp.22.640.000,-. Tingkat pendapatan perkapita ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Aktivitas ekonomi Kota Bandung, sebagian besar bersumber dari dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memberikan kontribusi sekitar 36,4% dari seluruh kegiatan ekonomi di Kota Bandung, disusul oleh sektor industri pengolahan sekitar 29,8%. Sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sekitar 10,8% demikian juga dengan sektor jasa-jasa. Pembentukan investasi di Kota Bandung pada tahun 2007 mencapai Rp.5,4 trilyun, meningkat dari tahun sebelumnya Rp.4,2 trilyun.
Sebagai pusat perekonomian Jawa Barat dan sekaligus sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, aktivitas ketenagakerjaan di Kota Bandung pada umumnya adalah pada sektor jasa dan perdagangan. Pada tahun 2007, 36,7% penduduk Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sebanyak 24,9% tenaga kerja Kota Bogor bekerja di sektor jasa yang meliputi jasa pemerintahan umum dan swasta. Walaupun menyerap tenaga kerja dalam jumlah terbesar, namun bila dibandingkan dengan jumlah produksi ekonomi, maka produktivitas tenaga kerja di sektor jasa-jasa jauh lebih rendah dibandingkan sektor lainya. Kondisi ini menunjukkan pekerja sektor jasa yang di dalamnya meliputi jasa pemerintahan umum dan sosial kemasyarakatan relatif mendapat tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang relatif rendah atau distribusi pendapatan di sektor ini tidak merata. Selain itu ada kemungkinan sektor jasa-jasa menampung banyak tenaga kerja kurang produktif, sehingga ada potensi pengangguran semu cukup besar pada sektor ini.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 2007 Kota Bandung sebesar 49,44%. Angka ini jauh di bawah TPAK Jawa Barat yang mencapai 62,51%. TPAK Kota Bandung yang masih rendah disebabkan oleh struktur penduduk Kota Bandung yang walaupun lebih didominasi oleh penduduk pria (50,77%), namun pada usia produktif struktur penduduk Kota Bandung justru lebih didominasi oleh perempuan (50,95%), atau dengan kata lain jumlah penduduk pria yang besar lebih banyak pada penduduk usia yang tidak produktif. Selain itu, sebagai salah satu kota tujuan pendidikan di Indonesia, menjadikan penduduk usia sekolah di Kota Bandung sebagian besar memilih untuk tidak berada di dalam angkatan kerja. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk Kota Bandung yang terlibat dalam angkatan kerja cenderung lebih rendah dibandingkan daerah lain di Jawa Barat.
Permasalahan lain, walaupun TPAK Kota Bandung tidak terlalu besar, jumlah pengganguran terbuka Kota Bandung justru tergolong tinggi. Pada tahun 2007 Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT) di Kota Bandung mencapai 21,92%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan TPT Jawa Barat yang mencapai 13,08% pada tahun 2007. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa perekonomian Kota Bandung telah terintegrasi dengan perekonomian daerah sekitarnya (Metropolitan Bandung). Sehingga walaupun TPAK di Kota Bandung cenderung lebih rendah, tetap tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan karena sebagian kebutuhan tenaga kerja di Kota Bandung telah dipenuhi oleh pekerja dari penduduk daerah penyangga Kota Bandung.
Selanjutnya dapat dianalisis tentang PDRB per kapita sebagai pendekatan untuk perhitungan rata-rata pendapatan penduduk walaupun relatif kurang tepat. Dari tahun 2003-2007, PDRB perkapita penduduk Kota Bandung mengalami kecenderungan peningkatan yang cukup pesat yakni rata-rata, mengalami peningkatan mencapai 20% setiap tahunnya. Hal ini semakin menunjukkan eksistensi Kota Bandung sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Selain itu, walaupun meningkat dengan pesat, pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung relatif merata dirasakan oleh penduduknya. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pemerataan pendapatan di Kota Bandung yang relatif lebih baik daripada pemerataan pendapatan Jawa Barat maupun Nasional. Pada tahun 2005 koefisien gini ratio Kota Bandung sebesar 0,159, nilai ini lebih rendah dari koefisien gini ratio Jawa Barat yang sebesar 0,191 maupun tingkat nasional yang mencapai 0,39. Artinya distribusi pendapatan di Kota Bogor relatif lebih merata dibandingkan kabupaten/kota di Jawa Barat maupun secara nasional.
Intensitas kegiatan ekonomi pada umumnya berbeda-beda menurut lokasinya. Intensitas ini juga terkait dengan penggunaan lahan yang ada di area tersebut. Lahan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi secara perlahan akan menggeser penggunaannya dari permukiman menjadi area komersial. Dalam situasi ini, umumnya kebutuhan lahan semakin didorong oleh upaya pencapaian produktivitas ekonomi yang lebih tinggi atas lahan tersebut.
Struktur ekonomi Kota Bandung, terutama berasal dari kegiatan sektor jasa (tersier) dan sektor industry pengolahan (sekunder). Tingkat produktivitas ekonomi lahan untuk berbagai jenis kegiatan ekonomi yang ada di Kota Bandung secara umum dapat dianalisis dengan nilai produktivitas lahan per km2. Semakin tinggi nilai produktivitas ekonomi, menunjukkan bahwa setiap km2 area di daerah tersebut memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi bila dibandingkan daerah lainnya. Tingkat produktivitas lahan dapat dibedakan ke dalam nilai bruto (kotor) dan neto (bersih). Nilai produktivitas ekonomi lahan bruto menunjukkan nilai produktivitas ekonomi rata dari seluruh lahan di suatu wilayah, atau tidak spesifik mengacu pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi saja. Tingkat produktivitas ekonomi lahan ini dapat diklasifikasi menurut kecamatan yang ada di Kota Bandung.
Pada tahun 2002 nilai produktivitas ekonomi lahan (bruto) Kota Bandung adalah Rp.126 milyar per km2 dan terus mengalami peningkatan, hingga tahun 2007 mencapai Rp.307 milyar per km2. Kenaikan nominal nilai produktivitas lahan ini relatif sangat cepat dalam masa 5 tahun tersebut, yaitu rata-rata tumbuh 19,54% pertahun. Namun bila mempertimbangkan adanya tingkat inflasi atau produktivitas ekonomi riil, maka pada dasarnya rata-rata pertumbuhan lebih lambat, yaitu 7,68% pertahun. Kenaikan produktivitas nominal yang tinggi dapat menjadi indikasi tuntutan produktivitas ekonomi yang lebih tinggi atau dapat menurunkan daya saing ekonomi. Artinya dibutuhkan biaya investasi dan operasional yang lebih tinggi per luasan lahan tertentu. Perkembangan produktivitas ekonomi lahan (bruto) di Kota Bandung dari tahun 2002-2007 dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut ini,
Selanjutnya nilai produktivitas ekonomi lahan bruto di Kota Bandung, khususnya pada tahun 2006 dapat dikelompokkan menurut Kecamatan. Pengelompokkan ini dapat menunjukkan kecamatan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi dalam konsep ruang wilayah. Intensitas ekonomi per luasan wilayah yang relatif tinggi di Kota Bandung adalah Cicendo, Andir, Astanaanyar dan Babakan Ciparay. Kecamatan yang tergolong sedang antara lain Bandung Wetan, Bandung Kulon, Ujungberung, Regol, Kiaracondong, Batununggal, Cibeunying Kidul, Bojongloa Kidul, Sukajadi dan Gedebage. Secara faktual, kecamatan-kecamatan tersebut menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi penting di Kota Bandung. Keberadaan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut dapat mendorong pergerakan penduduk untuk bekerja atau beraktivitas ekonomi. Dengan demikian posisi kecamatan ini dapat menjadi pembangkit pergerakan penduduk.
Permasalahan lain, walaupun TPAK Kota Bandung tidak terlalu besar, jumlah pengganguran terbuka Kota Bandung justru tergolong tinggi. Pada tahun 2007 Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT) di Kota Bandung mencapai 21,92%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan TPT Jawa Barat yang mencapai 13,08% pada tahun 2007. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa perekonomian Kota Bandung telah terintegrasi dengan perekonomian daerah sekitarnya (Metropolitan Bandung). Sehingga walaupun TPAK di Kota Bandung cenderung lebih rendah, tetap tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan karena sebagian kebutuhan tenaga kerja di Kota Bandung telah dipenuhi oleh pekerja dari penduduk daerah penyangga Kota Bandung.
Selanjutnya dapat dianalisis tentang PDRB per kapita sebagai pendekatan untuk perhitungan rata-rata pendapatan penduduk walaupun relatif kurang tepat. Dari tahun 2003-2007, PDRB perkapita penduduk Kota Bandung mengalami kecenderungan peningkatan yang cukup pesat yakni rata-rata, mengalami peningkatan mencapai 20% setiap tahunnya. Hal ini semakin menunjukkan eksistensi Kota Bandung sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Selain itu, walaupun meningkat dengan pesat, pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung relatif merata dirasakan oleh penduduknya. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pemerataan pendapatan di Kota Bandung yang relatif lebih baik daripada pemerataan pendapatan Jawa Barat maupun Nasional. Pada tahun 2005 koefisien gini ratio Kota Bandung sebesar 0,159, nilai ini lebih rendah dari koefisien gini ratio Jawa Barat yang sebesar 0,191 maupun tingkat nasional yang mencapai 0,39. Artinya distribusi pendapatan di Kota Bogor relatif lebih merata dibandingkan kabupaten/kota di Jawa Barat maupun secara nasional.
Intensitas kegiatan ekonomi pada umumnya berbeda-beda menurut lokasinya. Intensitas ini juga terkait dengan penggunaan lahan yang ada di area tersebut. Lahan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi secara perlahan akan menggeser penggunaannya dari permukiman menjadi area komersial. Dalam situasi ini, umumnya kebutuhan lahan semakin didorong oleh upaya pencapaian produktivitas ekonomi yang lebih tinggi atas lahan tersebut.
Struktur ekonomi Kota Bandung, terutama berasal dari kegiatan sektor jasa (tersier) dan sektor industry pengolahan (sekunder). Tingkat produktivitas ekonomi lahan untuk berbagai jenis kegiatan ekonomi yang ada di Kota Bandung secara umum dapat dianalisis dengan nilai produktivitas lahan per km2. Semakin tinggi nilai produktivitas ekonomi, menunjukkan bahwa setiap km2 area di daerah tersebut memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi bila dibandingkan daerah lainnya. Tingkat produktivitas lahan dapat dibedakan ke dalam nilai bruto (kotor) dan neto (bersih). Nilai produktivitas ekonomi lahan bruto menunjukkan nilai produktivitas ekonomi rata dari seluruh lahan di suatu wilayah, atau tidak spesifik mengacu pada lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi saja. Tingkat produktivitas ekonomi lahan ini dapat diklasifikasi menurut kecamatan yang ada di Kota Bandung.
Pada tahun 2002 nilai produktivitas ekonomi lahan (bruto) Kota Bandung adalah Rp.126 milyar per km2 dan terus mengalami peningkatan, hingga tahun 2007 mencapai Rp.307 milyar per km2. Kenaikan nominal nilai produktivitas lahan ini relatif sangat cepat dalam masa 5 tahun tersebut, yaitu rata-rata tumbuh 19,54% pertahun. Namun bila mempertimbangkan adanya tingkat inflasi atau produktivitas ekonomi riil, maka pada dasarnya rata-rata pertumbuhan lebih lambat, yaitu 7,68% pertahun. Kenaikan produktivitas nominal yang tinggi dapat menjadi indikasi tuntutan produktivitas ekonomi yang lebih tinggi atau dapat menurunkan daya saing ekonomi. Artinya dibutuhkan biaya investasi dan operasional yang lebih tinggi per luasan lahan tertentu. Perkembangan produktivitas ekonomi lahan (bruto) di Kota Bandung dari tahun 2002-2007 dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut ini,
Selanjutnya nilai produktivitas ekonomi lahan bruto di Kota Bandung, khususnya pada tahun 2006 dapat dikelompokkan menurut Kecamatan. Pengelompokkan ini dapat menunjukkan kecamatan yang memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi dalam konsep ruang wilayah. Intensitas ekonomi per luasan wilayah yang relatif tinggi di Kota Bandung adalah Cicendo, Andir, Astanaanyar dan Babakan Ciparay. Kecamatan yang tergolong sedang antara lain Bandung Wetan, Bandung Kulon, Ujungberung, Regol, Kiaracondong, Batununggal, Cibeunying Kidul, Bojongloa Kidul, Sukajadi dan Gedebage. Secara faktual, kecamatan-kecamatan tersebut menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi penting di Kota Bandung. Keberadaan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut dapat mendorong pergerakan penduduk untuk bekerja atau beraktivitas ekonomi. Dengan demikian posisi kecamatan ini dapat menjadi pembangkit pergerakan penduduk.
Tabel 2. Klasifikasi Kecamatan Menurut
Produktivitas Ekonomi Lahan Bruto Tahun 2006
Produktivitas Ekonomi Lahan Bruto Tahun 2006
Nilai produktivitas ekonomi lahan Kota Bandung sangat dipengaruhi oleh sektor perdagangan dan jasa. Wilayah yang memiliki kontribusi yang besar dari kedua sektor tersebut hampir dapat dipastikan memiliki produktivitas ekonomi lahan yang tinggi. Sedangkan sektor pertanian dinilai tidak memberikan nilai ekonomi yang signifikan terhadap lahan. Hal ini terlihat dari wilayah dengan konsentrasi pertanian yang tinggi justru tidak memiliki produktivitas ekonomi lahan yang tinggi. Secara lebih lengkap sebaran kegiatan ekonomi Kota Bandung dijabarkan dalam gambar berikut.
Selain itu, dapat dianalisis antara kecamatan dengan intensitas kegiatan ekonomi tinggi dengan tingkat kepadatan penduduknya. Dengan dasar klasifikasi adalah rata-rata kepadatan penduduk per km2 dan produktivitas ekonomi per km2, maka dapat diperoleh informasi klasifikasi sebaran penduduk dan aktivitas perekonomian Kota Bandung. Kecamatan Bandung Wetan, Cicendo dan Ujungberung termasuk kecamatan dengan produktivitas ekonomi tinggi, namun tingkat kepadatan penduduk di bawah rata-rata. Daerah-daerah seperti ini dapat menjadi orientasi pergerakan kerja penduduk. Selanjutnya kecamatan Andir, Astanaanyar, Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Batununggal, Bojongloa Kidul, Cibeunying Kidul, Kiaracondong, Regol dan Sukajadi termasuk memiliki intensitas kegiatan ekonomi tinggi termasuk pula pusat kepadatan penduduk. Posisi kecamatan di atas dapat dituangkan ke dalam gambar berikut ini,
Gambar 7. Sebaran Penduduk dan Kegiatan Ekonomi Kota Bandung
Dari hasil sebaran penduduk dan kegiatan ekonomi Kota Bandung tersebut dapat terlihat bagaiman pola pergerakan penduduk tidak hanya terjadi di dalam Kota Bandung sendiri, namun turut pula melibatkan penduduk dari daerah sekitar (Metropolitan Bandung). Hal ini harus diantisipasi dengan penyediaan sarana dan prasarana perhubungan yang lebih memadai untuk dapat menampung aktivitas pergerakan penduduk tersebut tanpa menyebabkan terjadinya kemacetan arus transportasi baik dalam Kota Bandung sendiri maupun daerah perbatasan.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat, penduduk yang terdidik, dan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah (tingkat Man Power Kota Bandung mencapai 73,74%, hal ini belum termasuk daerah sekitar Metropolitan Bandung) membantu Kota Bandung sebagai Kota yang cocok digunakan sebagai tempat investasi. Hal ini turut dibuktikan melalui hasil survei tingkat kepuasan dan rekomendasi investasi yang dilakukan oleh Majalah Swa pada tahun 2009, mendudukan Kota Bandung sebagai kota kedua yang paling banyak direkomendasikan sebagai tujuan investasi setelah Kota Pekanbaru. Tingkat kepuasan dan rekomendasi yang tinggi menjadi peluang yang sangat besar bagi Kota Bandung untuk mengembangkan diri menjadi kota jasa yang Bermartabat. Untuk itu, perlu persiapan yang matang untuk menyambut perkembangan Kota Bandung menjadi kota jasa yang metropolitan. Pembangunan hunian vertikal mau tidak mau harus dijadikan tren gaya hidup baru guna mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang semakin besar. Selain itu, Kota Bandung memerlukan reformasi dan penataan kembali pola transportasi masal yang lebih efektif untuk menghindari terjadinya stagnasi akibat kelebihan beban angkutan dibandingkan volume jalan yang ada.
Gambar 8. Persepsi Pengusaha dalam Kota Tujuan InvestasiPertumbuhan ekonomi yang pesat, penduduk yang terdidik, dan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah (tingkat Man Power Kota Bandung mencapai 73,74%, hal ini belum termasuk daerah sekitar Metropolitan Bandung) membantu Kota Bandung sebagai Kota yang cocok digunakan sebagai tempat investasi. Hal ini turut dibuktikan melalui hasil survei tingkat kepuasan dan rekomendasi investasi yang dilakukan oleh Majalah Swa pada tahun 2009, mendudukan Kota Bandung sebagai kota kedua yang paling banyak direkomendasikan sebagai tujuan investasi setelah Kota Pekanbaru. Tingkat kepuasan dan rekomendasi yang tinggi menjadi peluang yang sangat besar bagi Kota Bandung untuk mengembangkan diri menjadi kota jasa yang Bermartabat. Untuk itu, perlu persiapan yang matang untuk menyambut perkembangan Kota Bandung menjadi kota jasa yang metropolitan. Pembangunan hunian vertikal mau tidak mau harus dijadikan tren gaya hidup baru guna mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang semakin besar. Selain itu, Kota Bandung memerlukan reformasi dan penataan kembali pola transportasi masal yang lebih efektif untuk menghindari terjadinya stagnasi akibat kelebihan beban angkutan dibandingkan volume jalan yang ada.
SOSIAL DAN BUDAYA
Kesejahteraan penduduk secara umum dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen, yaitu derajat pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sebagai indikator utama, pada dasarnya IPM adalah berfungsi sebagai indikator impact, yaitu terbentuk karena banyak aspek pembangunan yang dilakukan. Pada tahun 2007 IPM Kota Bandung mencapai 78,09, dibentuk oleh indeks kesehatan sebesar 80,65, indeks pendidikan sebesar 89,60, dan indeks daya beli masyarakat sebesar 64,04. Indeks tertinggi adalah indek pendidikan yang semakin mengukuhkan Kota Bandung sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia.
Kesejahteraan penduduk secara umum dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tiga komponen, yaitu derajat pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sebagai indikator utama, pada dasarnya IPM adalah berfungsi sebagai indikator impact, yaitu terbentuk karena banyak aspek pembangunan yang dilakukan. Pada tahun 2007 IPM Kota Bandung mencapai 78,09, dibentuk oleh indeks kesehatan sebesar 80,65, indeks pendidikan sebesar 89,60, dan indeks daya beli masyarakat sebesar 64,04. Indeks tertinggi adalah indek pendidikan yang semakin mengukuhkan Kota Bandung sebagai salah satu kota pendidikan di Indonesia.
Tabel 3. Perkembangan IPM dan Komponennya di Kota Bandung Tahun 2004-2007
Kecamatan Sukasari tercatat sebagai kecamatan dengan nilai IPM terbaik yakni 81,03. Sebaliknya Kecamatan Kiaracondong memiliki nilai IPM terendah yakni 76,69. Walaupun demikian, berdasarkan kriteria UNDP, tingkat IPM yang mencapai Kecamatan Kiaranconding yang sebesar 76,69, telah mencapai status pembangunan manusia pada tingkat menengah atas. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat Kota Bandung dapat dikatakan sudah cukup baik dalam hal kesehatan, pendidikan dan daya belinya.
Pada tahun 2004 IPM Kota Bandung mencapai 77,17 dan sampai dengan tahun 2007 relatif tumbuh sangat lambat. Mengikuti pola tersebut, dapat diproyeksikan IPM sampai dengan tahun 2013. Struktur IPM Kota Bandung bervariasi menurut aspeknya. Indeks Pendidikan adalah indeks tertinggi, sedangkan Indeks Daya Beli adalah indeks terendah. Berdasarkan data yang ada, Indeks Kesehatan adalah indeks yang diperkirakan dapat mengalami pertumbuhan paling cepat. Bila pada tahun 2007 adalah sekitar 80, maka ada kemunngkinan dapat mengalami peningkatan hingga 91, atau sedikit lebih rendah daripada indeks pendidikan. Indeks pendidikan walaupun mengalami peningkatan, namun peningkatan relatif lambat. Perkembangan yang mengkuatirkan adalah Indeks Daya Beli, yang terdapat kecenderungan mengalami penurunan karena beberapa ancaman, misalnya inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan perubahan-perubahan ekonomi makro lain yang menyebabkan penurunan daya beli.
Lebih lanjut, sebaran tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bandung dijabarkan dalam gambar berikut:
Dari sebaran tersebut dapat terlihat bagaimana, tingkat kesejahteraan wilayah utara dan timur Kota Bandung relatif lebih baik daripada wilayah selatan dan barat. Hal ini menunjukkan masih diperlukan upaya pemerataan pembangunan Kota Bandung khususnya di daerah selatan Kota Bandung yang relatif masih tertinggal dibandingkan wilayah lainnya di Kota Bandung.
Pada tahun 2004 IPM Kota Bandung mencapai 77,17 dan sampai dengan tahun 2007 relatif tumbuh sangat lambat. Mengikuti pola tersebut, dapat diproyeksikan IPM sampai dengan tahun 2013. Struktur IPM Kota Bandung bervariasi menurut aspeknya. Indeks Pendidikan adalah indeks tertinggi, sedangkan Indeks Daya Beli adalah indeks terendah. Berdasarkan data yang ada, Indeks Kesehatan adalah indeks yang diperkirakan dapat mengalami pertumbuhan paling cepat. Bila pada tahun 2007 adalah sekitar 80, maka ada kemunngkinan dapat mengalami peningkatan hingga 91, atau sedikit lebih rendah daripada indeks pendidikan. Indeks pendidikan walaupun mengalami peningkatan, namun peningkatan relatif lambat. Perkembangan yang mengkuatirkan adalah Indeks Daya Beli, yang terdapat kecenderungan mengalami penurunan karena beberapa ancaman, misalnya inflasi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan perubahan-perubahan ekonomi makro lain yang menyebabkan penurunan daya beli.
Lebih lanjut, sebaran tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bandung dijabarkan dalam gambar berikut:
Dari sebaran tersebut dapat terlihat bagaimana, tingkat kesejahteraan wilayah utara dan timur Kota Bandung relatif lebih baik daripada wilayah selatan dan barat. Hal ini menunjukkan masih diperlukan upaya pemerataan pembangunan Kota Bandung khususnya di daerah selatan Kota Bandung yang relatif masih tertinggal dibandingkan wilayah lainnya di Kota Bandung.
Keren, sempat juga upload ya
BalasHapushehe..ketauan nih ama master nya... numpang di share ya pak..
BalasHapusthank you very much,, :D
BalasHapussumber datanya dari mana om?
BalasHapuspunya data pedapatan perkapita per kecamatan di kota bandung ga?
BalasHapusNice bangau
BalasHapusKeren binggoooo
BalasHapusBacot lo
HapusLo bacot
HapusTeknik... JAYA!!!
BalasHapusTeknik unkris yaaa universitas krisnadwipayana bagus tuh
HapusIya nih, unkris yg di jatiwaringin itu loh
HapusApa ada kemungkian saya interview dengan pembuat artikel ini?? Mohon hubungi saya ya di email daniswara.reza@gmail.com saya sedang melaksanakan research dari pihak german development bank. Trrima kasih
BalasHapus