Sistem Persediaan adalah sistem sederhana yang disusun untuk memudahkan pencatatan dan pemantauan kondisi barang persediaan yang berada di Pusat Standardisasi. Dengan demikian diharapkan dapat tercapainya pencatatan yang baik mengenai kondisi persediaan sehingga mempermudah proses pertanggungjawaban atas barang milik negara yang ada. Kunci utama keberhasilan sistem ini adalah diperlukannya kedispilinan yang tinggi dalam mencatat seluruh transaksi persedian yang berlangsung dalam Tahun Anggaran berjalan.
Tampilan muka yang digunakan dalam sistem tersebut adalah sebagai berikut
Selain panel utama, penggunaan juga dapat dilakukan melalui fitur Manual Penggunaan yang menjabarkan secara lebih rinci mengenai proses pemakaian sistem sebagai berikut
Sebagai tambahan turut dapat digunakan menu toolbar yang terdapat diatas setiap halaman kertas kerja.
Langkah penggunaan dilakukan melalui pengisian form-form yang meliputi jumlah stok awal tahun, pembelian persedian, dan penggunaan persediaan yang dapat dicatat setiap transaksinya pada setiap bulan
Setelah pengisian form-form tersebut, sistem dapat digunakan untuk melakukan pemantauan terhadap kondisi stok persediaan maupun hasil rekap pembelian dan penggunaan persediaan.
Selain fungsi tersebut, sistem ini juga dapat digunakan untuk melakukan test opname guna melihat perbandingan antara stok tercatat dengan hasil pengecekan fisik langsung sehingga dapat melihat gap yang terjadi serta melakukan evaluasi kebutuhan yang dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan persediaan pada tahun berikutnya.
Bagi rekan-rekan yang membutuhkan sistem tersebut dapat menghubungi penulis via Japri maupun meninggalkan alamat email pada kolom aspirasi. Semoga berguna.
Dalam evaluasi kinerja, masalah keuangan menjadi fokus perhatian dan memiliki bobot yang paling besar di bandingkan masalah lainnya. Hal ini tidak terlepas sebagai business entity, kinerja PDAM akan sangat tergantung terhadap ketersediaan keuangan perusahaan yang mencukupi untuk membiayai proses produksi maupun investasi sehingga dapat dihasilakan output berupa produk air besih yang disalurkan kepada masyarakat. Sehingga dengan kondisi keuangan yang sehat, PDAM akan dapat menghasilkan produk sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan. Sebaliknya dalam kondisi keuangan yang tidak sehat, kekurangan dana akan berakibat pada minimnya kualitas produk yang dihasilkan.
Ditinjau dari nilai operating ratio yang mengalami peningkatan menandakan terjadinya peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pendapatan, atau dengan kata lain menyebabkan semakin menurunnya laba yang dapat dihasilkan. Hal ini menunjukkan proses inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Gambar 5.5. Perkembangan Operating Ratio PDAM di Indonesia
Bila ditilik dari sisi lokasi, PDAM yang beroperasi di wilayah administrasi kota cenderung memiliki tingkat operating ratio yang lebih baik daripada PDAM yang beroperasi di wilayah administrasi kabupaten. Perbedaan kualitas infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia antara daerah kota dengan kabupaten diduga menjadi salah satu penyebab utama sehingga PDAM di daerah kota cenderung lebih efisien sehingga memiliki tingkat operating ratio yang lebih baik daripada PDAM di wilayah kabupaten.
Selain itu, peningkatan operating ratio ini mengindikasikan terjadinya peningkatan biaya pokok produksi air. Pada tahun 2006, rata-rata biaya pokok produksi air di Indonesia adalah sebesar Rp. 2.536/M3 dan meningkat menjadi Rp 3.257/M3 pada tahun 2008. PDAM di daerah Kota memiliki biaya pokok produksi yang lebih besar dibandingkan PDAM di daerah kabupaten. Pada tahun 2008, rata-rata biaya pokok produksi PDAM daerah kota sebesar Rp. 3.324/M3. Sedangkan di wilayah kabupaten, rata-rata biaya pokok produksi sebesar Rp. 3.240/M3 atau lebih rendah Rp. 84/M3 dibandingkan PDAM derah kota. Perbedaan besaran biaya pokok produksi dapat disebabkan karena adanya perbedaan biaya faktor produksi seperti tenaga kerja yang cenderung lebih mahal di daerah kota dibandingkan kabupaten. Tingkat polusi yang lebih tinggi di daerah kota, turut menyebabkan dibutuhkannya biaya ekstra untuk mengolah sumber air baku menjadi air minum.
Gambar 5.6. Perkembangan Rata-Rata Biaya Pokok Produksi PDAM di Indonesia
Peningkatan biaya pokok membuat PDAM di Indonesia tahun ke tahun berusaha menyesuaikan tarif penjualan ke pelanggan. Pada tahun 2006, tarif rata-rata penjualan nasional sebesar Rp. 1.799/M3. Nilai ini meningkat pada tahun 2007 menjadi Rp. 1.941/M3 dan Rp. 2.174/M3 pada tahun 2008. Namun, kenaikan tingkat tarif tersebut tidak mampu menyamai tingkat kenaikan biaya pokok produksi yang semakin tinggi. Kondisi ini menyebabkan setiap tahunnya PDAM harus menjual air minum kepada pelanggannya dengan harga yang lebih murah dibandingkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi dan menyalurkan air minum kepada pelanggan. Dampaknya, PDAM justru mengalami kerugian bila melakukan produksi guna menyediakan air minum kepada pelanggan. Bahkan semakin besar tingkat konsumsi pelanggan akan berdampak semakin besar tingkat kerugiaan perusahaan. Kondisi ini jelas menjadi sebuah ironi bagi PDAM yang pada esensinya merupakan business entity.
Gambar 5.7. Perkembangan Tarif Rata-Rata Penjualan PDAM di Indonesia
Penerapan tarif yang lebih rendah dibandingkan biaya produksi ini tidak terlepas dari kebijakan masing-masing daerah. Menutur Permendagri No. 23 tahun 2006, ada 6 prinsip yang dianut dalam menetapkan tarif air minum pada PDAM yaitu: prinsip keterjangkauan dan keadilan, prinsip mutu pelayanan, prinsip pemulihan biaya, prinsip effisiensi pemakaian air, prinsip tranparansi dan akuntabilitas serta prinsip perlindungan air baku. Selain itu, kebijakan penetapan tarif sangat dipengaruhi keputusan politik kepala daerah sebagai bagian dari janji keberpihakan kepada masyarakat untuk menyediakan air minum yang murah. Dampaknya selisih harga dan biaya produksi PDAM di berbagai daerah turut bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Secara umum, hampir seluruh daerah menerapkan tarif defisit terhadap pelayanan air minum kepada masyarakat. Hanya Provinsi DKI Jakarta yang telah menetapkan tarif pelayanan di atas biaya pokok poroduksi. Pada tahun 2008, PDAM DKI Jakarta menetapkan tarif lebih besar Rp. 76/M3. Untuk mencapai hal tersebut, DKI Jakarta menerapkan tarif rata-rata sebesar Rp. 7.001/M3 yang merupakan tarif tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Provinsi Bangka-Belitung mengalami defisist terbesar yakni Rp. 4.317/M3.
Walau demikian, kondisi ini tidak serta-merta menggambarkan bahwa tarif air minum di Indonesia dalam kondisi terlalu murah. Berdasarkan perhitungan YLKI, Tarif air bersih di DKI Jakarta yang berkisar antara Rp. 6.000 – 7.000 per meter kubik merupakan tarif termahal se- Asia Tenggara. Dengan tarif tersebut, seharusnya kualitas air di DKI Jakarta sudah sangat baik. Dengan tarif yang sama, pelayanan air bersih di Sydney, Australia, sangat bagus bahkan air bersih yang disalurkan sudah dapat langsung diminum. Sedangkan air di DKI Jakarta masih berbau bahan kimia walaupun pelanggan sudah membayar mahal. Kondisi ini menggambarkan adanya inefisiensi dalam produksi air bersih. Salah satunya adalah tingkat kebocoran air yang masih cukup tinggi menyebabkan beban biaya produksi PDAM menjadi lebih besar, sementara pendapatan tidak meningkat. Selain itu faktor manajemen turut harus diperhatikan. Penggunaan sumber daya manusia yang berlebihan akan membebani biaya pokok produksi. Oleh karena itu, penetapan biaya produksi harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi kaidah kewajaran
Gambar 5.8. Selisih Rata-rata Tarif terhadap Biaya Pokok Produksi PDAM per Provinsi Tahun 2008
Oleh karena itu perlu diperhatikan apakah penentuan tingkat tarif akan memiliki pengaruh terhadap kinerja dari PDAM. Posisi kinerja PDAM dapat dianalisis kaitannya dengan selisih tarif PDAM yang ditetapkan, sehingga dapat diklasifikasikan menurut provinsi ke dalam empat kuadran. Dimana, harapan optimalnya adalah PDAM dapat berada pada posisi sehat sekaligus memiliki harga jual yang layak untuk suatu unit bisnis. Pembagian tingkat selisih tarif dan kinerja PDAM dijabarkan dalam Gambar 5.9 sebagai berikut.
Gambar 5.9. Posisi Kinerja PDAM dan Selisih Tarif Air terhadap Biaya Pokok Produksi Rata-rata Menurut Provinsi Tahun 2008
Dari Gambar 5.9 di atas dapat disimpulkan bahwa, secara nasional kinerja PDAM berada dalam kategori tidak sehat dengan penetapan tarif pada umumnya kurang dari biaya pokok produksi. Kondisi ini menggambarkan sistem pengelolaan air bersih di Indonesia belum memenuhi standar pengelolaan perusahaan yang baik. Saat ini, dalam melayani masyarakat atau menjalankan bisnisnya, PDAM lebih berperan sebagai cost center yang umum terjadi pada PDAM di seluruh provinsi.
Analisis kombinasi ini menjabarkan pola sebaran hubungan selisih tarif dengan tingkat kinerja PDAM dalam empat kuadran. Kuadran I menggambarkan kelompok Provinsi yang mengalami selisih tarif yang negatif serta memiliki kinerja yang tidak sehat. Hampir seluruh Provinsi di Indonesia berada dalam kuadran I tersebut. Dalam kuadran I tersebut, terlihat bagaimana Provinsi yang memiliki defisit tarif yang lebih besar cenderung akan memiliki kinerja perusahaan yang lebih buruk. Posisi tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan biaya pokok produksi tidak hanya akan menganggu kinerja keuangan perusahaan saja, namun juga akan mempengaruhi kualitas produk itu sendiri, sehingga akan sangat wajar kinerja perusahaan akan semakin terganggu dengan semakin besarnya tingkat defisit tarif PDAM.
Kuadran II, menggambarkan kelompok Provinsi yang memiliki selisih tarif yang positif namun memiliki tingkat kinerja ynag belum sehat. Dalam kuadran II hanya terdapat Provinsi DKI Jakarta. Walau telah memiliki tarif diatas biaya pokok produksi, kinerja Provinsi DKI Jakarta masih belum cukup memuaskan. Padahal dalam pelaksanaan operasionalnya Provinsi DKI Jakarta telah bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam pengelolaan air bersih. Kualitas air baku yang rendah akibat tingkat polusi air yang cukup berat di Jakarta serta tingkat kebocoran air yang tinggi menyebabkan kinerja PDAM DKI Jakarta belum optimal meskipun telah menerapkan tarif yang cukup tinggi.
Kuadran III, merupakan kelompok Provinsi yang telah memiliki kinerja perusahaan yang sehat walaupun tingkat tarif yang masih lebih rendah dibandingkan biaya pokok produksinya. Provinsi yang berada di dalam kuadran III tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten. Di satu sisi kondisi ini jelas merupakan hal yang baik bagi masyarakat. Komitmen pemerintah daerah tersebut dalam menyediakan air bersih kepada masyarakatnya patut diberikan apresiasi. Namun di sisi lain, kondisi ini memberikan resiko terhadap kesinambungan kinerja PDAM itu sendiri. Defisit penerimaan menuntut sumber pembiayaan lain yang biasanya berasal dari subsidi ataupun hutang. Sehingga sangat diperlukan konsistensi dari pemerintah daerah untuk dapat menyokong PDAM dalam menyediakan air bersih dengan tarif di bawah biaya pokok produksi.
Selain ketiga kuadran tersebut, masih terdapat kuadran IV yakni kelompok Provinsi yang memiliki tingkat kinerja yang sehat dengan selisih tarif yang positif. Namun pada tahun 2008 tidak terdapat satupun provinsi di dalam kuadran tersebut. Kondisi ini merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam pengembangan pengelolaan air bersih di Indonesia.
Adanya selisih antara tarif pelayanan dengan biaya produksi menuntut PDAM untuk dapat memperoleh pendanaan alternatif. Sumber pembiayaan alternatif tersebut dapat dari subsidi pemerintah maupun penarikan hutang guna menutupi kekurangan pendapatan usaha. Pemberian subsidi dari pemerintah tidak terlepas dari argument bahwa penyediaan air minum merupakan salah satu tugas wajib pemerintah terutama pemerintah daerah. Oleh karena itu, PDAM dalam operasinya mengemban misi public service obligation (PSO) sehingga layak untuk diberikan bantuan oleh pemerintah daerah. Jalan lain untuk menutup kekurangan pendapatan tersebut dilakukan dengan cara menarik hutang.
Gambar 5.10. Perkembangan Rasio Hutang Terhadap Total Aset PDAM di Indonesia
Kondisi hutang PDAM mulai mengalami perbaikan saat ini. Kebijakan restrukturisasi hutang PDAM yang dilakukan pemerintah pusat melalui penghapusan beban bunga dan denda hutang sedikit membantu neraca hutang PDAM. Hal ini menyebabkan mulai menurunnya rasio hutang PDAM terhadap total aset. Secara nasional rasio tersebut menurun dari 0,55 di tahun 2006 menjadi 0,53 pada tahun 2008. Sedangkan bagi PDAM di daerah Kota penurunan terjadi lebih besar dari 0,80 pada tahun 2006 menjadi 0,63 pada tahun 2008.
Penurunan tingkat hutang tentunya memberikan indikasi positif bagi perkembangan kinerja PDAM. Penarikan hutang akan menjadi permasalahan tersendiri bagi PDAM. Ibarat pedang bermata dua, penarikan hutang akan menambah tingkat likuiditas PDAM yang dapat digunakan untuk membiayai produksi maupun investasi pengembangan PDAM itu sendiri. Namun di sisi lain, penarikan hutang akan menimbulkan beban pengembalian hutang bagi PDAM di masa yang akan datang sehingga akan mempengaruhi keseimbangan kas dan peningkatan beban bunga. Dengan demikian, pengelolaan hutang yang tidak hati-hati justru akan berbalik mempengaruhi kinerja perusahaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, meningkatnya biaya pokok produksi PDAM di Indonesia disebabkan oleh kegagalan dalam pengelolaan hutang yang efektif. Dampak negatif hutang terhadap kinerja PDAM secara sekilas dapat dilihat dalam analisis kombinasi antara kinerja PDAM dan rasio hutang terhadap total aset PDAM di Indonesia menurut provinsi sebagaimana yang dijabarkan dalam Gambar 5.11 sebagai berikut.
Gambar 5.11. Posisi Kinerja PDAM dan Rasio Hutang Terhadap Total Aset Menurut Provinsi Tahun 2008
Dari hasil analisis kombinasi di atas, terlihat bagaimana provinsi yang memiliki PDAM dengan rasio hutang yang tinggi terutama yang melebihi total asetnya (pada kuadran I) cenderung memiliki tingkat kinerja yang lebih buruk dibandingkan provinsi lainnya. Sebaliknya 3 provinsi yang kinerja PDAM-nya sehat justru memiliki rasio hutang yang lebih rendah (kuadran IV). Selain itu, tidak terdapat PDAM yang berkinerja baik dengan rasio hutang yang tinggi (kuadran III). Hal ini menunjukkan pengelolaan hutang yang tidak efisien justru akan membebani kinerja perusahaan itu sendiri. Sehingga dalam upaya perbaikan kinerja perusahaan, restrukturisasi hutang PDAM perlu mendapatkan perhatian yang cukup.
Selain pemanfaatan sumber pembiayaan alternatif, cara lain guna meningkatkan sumber pendapatan PDAM dapat dilakukan dengan dua cara yakni melalui pengurangan pengeluaran (expenses optimalization) maupun peningkatan pendapatan air (maximize revenue). Pengurangan pengeluaran dilakukan melalui efisiensi perusahaan dengan menekan penggunaan biaya listrik, bahan kimia, maupun pemanfaatan sumber daya manusia yang tepat. Dengan demikian efisiensi tersebut diharapkan dapat menurunkan biaya pokok produksi sehingga defisit tarif dapat semakin mengecil. Cara kedua adalah melalui peningkatan pendapatan air. Cara ini dapat dilakukan melalui beberapa cara yang antara lain:
Meningkatkan Akurasi Pembacaan Meter
Meterisasi (Penggantian Meter)
Recategory (Akurasi Klasifikasi Pelanggan)
Sweeping
Pressure Management (Pengaturan Tekanan Air)
Percepatan PSB
Marketing
Percepatan Operasi
Melalui usaha-usaha peningkatan sumber pendapatan tersebut diharapkan kinerja keuangan PDAM dapat menjadi lebiih baik, sehingga kinerja perusahaan dan kualitas produk air yang dihasilkan diharapkan dapat meningkat seiring peningkatan kinerja keuangan perusahaan.
Kinerja PDAM di Indonesia diukur dengan menggunakan kriteria keuangan, manajemen dan operasional yang terdiri dari 13 indikator terpilih. Adapun kriteria, Indikator dan bobot masing-masing dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1 Kriteria dan Bobot Pengukuran Kinerja PDAM
Dari hasil pembobotan terhadap 13 indikator kinerja PDAM tersebut akan diperoleh indeks tingkat kinerja dari PDAM yang dinilai. Kategori kinerja dibagi menjadi tiga kategori yakni Sehat, Kurang Sehat, dan Sakit. Adapun pembagian kategori kinerja PDAM dapat dilihat dalam Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Kategori Kinerja PDAM
Berdasarkan hasil pengukuran secara agregat pada tahun 2008, secara nasional kinerja PDAM di Indonesia masih tergolong kurang sehat (lihat Tabel 5.3). Hasil ini menggambarkan kondisi pengelolaan air minum perpipaan yang belum optimal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi), permasalahan umum PDAM adalah sebagai berikut:
Hutang yang sangat besar
Cakupan Pelayanan rendah
Tingkat kehilangan air tinggi
Tingkat penagihan piutang rendah
Meningkatnya komponen biaya produksi
Tarif yang belum menutupi biaya produksi
Inefisiensi tenaga kerja
Kebijakan investasi kurang terarah
Campur tangan Pemda & DPRD terlalu besar dalam pengambilan kebijakan.
Kinerja yang tidak sehat menggambarkan kondisi dari sebagian besar PDAM yang beroperasi di Indonesia memiliki kondisi keuangan yang tidak sehat akibat mengalami keterikatan terhadap hutang dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini disebabkan tingkat tarif yang berada di bawah biaya produksi di sebagaian besar daerah menyebabkan banyak PDAM mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Dampaknya terhadap sisi teknis, ketidakcukupan tarif layanan terhadap biaya produksi menyebabkan kualitas air yang disediakan belum memadai dari sisi kualitas maupun kesinambungan investasi untuk ekspansi usaha sehingga menimbulkan keluhan dari pelanggan pengguna jasa layanan PDAM. Sedangkan dari pengelolaan manajemen perusahaan juga belum dapat dinilai efisien. Akuntabilitas perusahaan yang belum terbuka hingga masuknya intervensi birokrasi dalam pengambilan keputusan perusahaan, menyebabkan PDAM cenderung bertindak lambat dalam merespon dinamika pasar hingga penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Pengelolaan sumber daya manusia yang berlebihan menyebabkan tingkat produktivitas pegawai yang rendah sehingga semakin membebani kondisi keuangan perusahaan. Dampaknya terjadi lingkaran kesulitan dana (vicious funding cycle) yang menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan untuk dapat beroperasi memenuhi standar kinerja yang diharapkan
Bila ditinjau dari kinerja PDAM di masing-masing provinsi, hanya provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten yang memiliki rata-rata kinerja PDAM dengan kategori sehat. Sedangkan provinsi lainnya masih tergolong kurang sehat. Rincian lebih lanjut rata-rata kinerja PDAM di Indonesia dapat dilihat dalam gambar 5.8.
Gambar 5.2. Rata-Rata Status Kinerja PDAM per Provinsi Tahun 2008
Ditinjau dari kinerja masing-masing PDAM di Indonesia pada tahun 2008, PDAM yang memiliki kategori sehat masih tergolong minim. Dari 324 PDAM yang telah diukur kinerjanya, baru 86 PDAM atau 26,5% dari total PDAM yang berkinerja sehat. Sedangkan 121 atau 37,3% PDAM berkinerja kurang sehat dan 117 atau 36,1% dinyatakan sakit.
Gambar 5.3. Kinerja PDAM di Indonesia Tahun 2008
Selain itu, Distribusi kinerja PDAM menurut provinsi turut menunjukkan penyebaran kinerja PDAM yang tidak merata. Sejumlah provinsi bahkan sama sekali tidak memiliki PDAM dengan kinerja yang sehat. Provinsi-provinsi tersebut meliputi Provinsi Jambi, Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Sedangkan Provinsi Banten merupakan provinsi dengan persentase PDAM berkinerja sehat terbesar yakni 66,7%.
Gambar 5.4. Distribusi PDAM Berkinerja Sehat Menurut Provinsi Tahun 2008
Tabel 5.3. Indikator Kesehatan PDAM di Perkotaan dan Kabupaten Tahun 2006 - 2008
Tabel 5.4. Indikator Tambahan PDAM di Perkotaan dan Kabupaten Tahun 2006 - 2008
Tabel 5.3 dan Tabel 5.4 diatas menjabarkan mengenai indikator kinerja secara agregat dari PDAM yang ada di Indonesia, baik yang beroperasi di wilayah administrasi kota maupun kabupaten. Dari tabel tersebut dapat dilihat secara umum belum terjadi peningkatan kinerja PDAM sepanjang kurun tahun 2006 – 2008. Walaupun secara sekilas terlihat terjadi perbaikan pada bebrapa indikator, tingkat perbaikan tersebut belum cukup signifikan untuk meningkatkan nilai kinerja dari PDAM yang beroperasi di Indonesia. Selain itu terlihat agregat kinerja PDAM di daerah kota sedikit lebih baik dibandingkan PDAM di daerah kabupaten. Untuk lebih menggambarkan kondisi kinerja PDAM di Indonesia dengan lebih komprehensif, akan dilakukan pembahasan indikator kinerja PDAM pada setiap kelompok indikator yakni keuangan, manajemen, dan teknik.
Dalam UUD 45 pasal 33 disebutkan antara lain bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pasal ini merupakan landasan filosofis untuk menentukan bagaimana pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya air, dalam kehidupan bernegara. Hak utama untuk menikmati manfaat dari sumber daya air adalah rakyat Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan deklarasi The United Nations Committee on Economic, Cultural and Social Rights yang menyatakan bahwa air bukan semata-mata komoditas ekonomi, tapi juga komoditas sosial dan budaya (social and culture good) dan akses terhadap air adalah merupakan hak asasi manusia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1987 tentang desentralisasi tanggung jawab pemerintah pusat disebutkan bahwa tanggung jawab untuk menyediakan suplai air bersih adalah pada pemerintah daerah. Sebagai perwujudannya, penyediaan sebagian besar kebutuhan air bersih di Indonesia dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang terdapat di setiap provinsi, kabupaten, dan kotamadya di seluruh Indonesia. PDAM merupakan perusahaan daerah sebagai sarana penyedia air bersih yang diawasi dan dimonitor oleh aparataparat eksekutif maupun legislatif daerah. PDAM sebagai perusahaan daerah diberi tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengelola sistem penyediaan air bersih serta melayani semua kelompok konsumen dengan harga yang terjangkau. PDAM bertanggung jawab pada operasional sehari-hari, perencanaan aktivitas, persiapan dan implementasi proyek, serta bernegosiasi dengan pihak swasta untuk mengembangkan layanan kepada masyarakat.
Perusahaan-perusahaan daerah ini sebagian merupakan peralihan dari Dinas Pekerjaan Umum yang dulunya bertugas membangun dan menyediakan prasarana publik. Status hukum perusahaan-perusahaan daerah ini kebanyakan merupakan perusahaan milik pemerintah daerah, yang menerima pelimpahan aset dari pemerintah pusat dan menerima imbal hasil secara teratur. Hal ini diatur dalam peraturan-peraturan daerah masing-masing.
Pemerintah Daerah sebagai pemilik perusahaan daerah yang mewarisi PDAM dari Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas pengarahan kebijakan dan monitoring pengelolaan PDAM. Fungsi ini selama ini terlihat belum dijalankan secara maksimal. Sebagai perusahaan daerah, PDAM berkewajiban menyetorkan 55% dari keuntungan bersihnya kepada kas daerah. Tergantung pada kebijakan masing-masing daerah, setoran tersebut ada yang ditanamkan kembali untuk investasi sarana air minum tetapi ada juga yang tidak. Pemerintah Daerah terkesan masih tidak peduli dengan kondisi PDAM meskipun secara berkesinambungan menikmati setoran PDAM tersebut. Seharusnya fungsi pemilik sebagai pengarah kebijakan dan pengawas dijalankan dengan baik dan ada keinginan politik untuk membantu PDAM mengingat fungsi PDAM yang strategis sebagai penyedia air bersih. Dari kasus-kasus yang diteliti oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hanya sedikit daerah yang menjalankan fungsi ini dengan baik termasuk dalam bidang keuangan dengan adanya inisiatif untuk membayar hutang PDAM. Selain itu kebijakan penentuan tarif air minum juga sering digunakan sebagai alat politik sehingga penjualan air minum sering berada pada tingkat di bawah biaya produksi.
Bentuk usaha PDAM masih belum seragam, pada daerah-daerah tertentu masih berbentuk unit kerja dibawah unit pekerjaan umum, dengan konsekwensi bahwa kemampuan mereka untuk memperoleh pendanaan menjadi terbatas kecuali pinjaman diberikan pemerintah daerah. Untuk PDAM yang berbentuk perusahaan daerah maka kemampuannya untuk mendapatkan pinjaman juga terbatas karena harus dijamin langsung oleh pemerintah daerah yang bersangkutan dan tidak dapat menjaminkan asetnya.
Secara legal, apabila berpedoman pada azas kepatutan dalam hukum, posisi Perusahaan Daerah, termasuk PDAM, adalah berbeda dengan posisi Dinas-dinas dalam struktur pemerintahan daerah. Hal ini sangat logis sejak peran dan fungsi serta karakter perusahaan daerah berbeda dengan peran dan fungsi serta karakter sebuah dinas. Dinas adalah salah satu lembaga daerah yang masuk dalam struktur birokratis kelembagaan pemerintahan. Dalam Peraturan Pemerintah No.8 tahun 2003, dengan jelas disebutkan tentang fungsi dan peranan sebuah dinas, diantaranya adalah fungsi pengawasan, pembinaan dan penerbitan suatu ijin. Sedangkan disisi lain, Perusahaan Daerah seperti PDAM tidak termasuk dalam struktur kelembagaan daerah dan lebih bersifat enterprises atau merupakan suatu business entity dengan tanpa melupakan fungsi sosialnya. Oleh karena itu, fungsi dan peranan pemerintah kabupaten/kota terhadap pengelolaan PDAM tentu harus dibedakan dengan fungsi dan peranannya terhadap lembaga dinas serta hanya terbatas sebagai pengawas dan pembuat kebijakan yang langsung terkait dengan kepentingan publik, seperti pada penetapan tarif. Pemerintah kabupaten/kota seyogyanya tidak melakukan campur tangan pada aspek teknis manajerial. Alasan lain yang mendukung pemikiran tersebut adalah sejak setiap keputusan operasional yang memanfaatkan dana hanya dari sumber internal (PDAM sendiri), bukan dana dari APBD, maka secara hukum administrasi negara tidak ada kewajiban dari manajemen PDAM untuk menunggu persetujuan pemerintah kabupaten/kota, apalagi jika keputusan tersebut bersifat strategis.
Beberapa fakta bahwa dipelbagai daerah yang mengeluarkan perda yang secara filisofis hukum menempatkan PDAM (dan perusahaan daerah lainnya) sama dengan dinas adalah tidak tepat. Perda tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan aspek teknis manajerial. Apabila demikian yang berlaku, maka lambatnya berbagai upaya peningkatan kinerja PDAM diduga salah satu hambatannya adalah ketidaktertiban hukum administrasi negara yang mengatur pengelolaan PDAM dan hubungannya dengan berbagai lembaga daerah (pemerintah kabupaten/kota). Alasan lainnya adalah sejak PDAM merupakan business entity, maka diperlukan kemampuan untuk merespon dengan cepat berbagai perubahan lingkungan usaha dan masyarakat. Kebutuhan ini sulit sekali atau bahkan tidak akan pernah terpenuhi dengan optimal apabila PDAM diperlakukan sebagai lembaga yang birokratis seperti dinas saat ini.
Sampai tahun 2008, tercatat setidaknya ada 351 PDAM yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun berdasarkan laporan yang ada, baru 324 PDM yang telah memiliki laporan kinerja yang dapat diukur. Adapun sebaran PDAM di Indonesia yang telah memiliki ukuran kinerja dapat digambarkan dalam Gambar sebagai berikut.
Gambar 5.1. Sebaran Wilayah Layanan PDAM Dengan Kinerja Terukur di Indonesia.
Besarnya jumlah perusahaan pengelolaan air minum di Indonesia, tidak terlepas dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang secara implisit menyatakan bahwa salah satu tugas pemerintah daerah. Lingkup kerja PDAM di Indonesia pada umumnya terbatas pada wilayah administrasi pemerintahan daerah yang tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Hal ini berdampak kepada pengeloaan air minum yang cenderung tidak sinergis antara satu daerah dengan daerah yang lain, dampaknya terjadi diversifikasi kualitas pelayanan air minum yang diperoleh masyarakat walaupun berada dalam satu provinsi yang sama. Sehingga opsi restrukturisasi PDAM menuju basis pengelolaan yang lebih luas (seperti cakupan provinsi) patut dipertimbangkan guna mencapai skala ekonomis (economic scale) yang lebih baik, menginggat bisnis penyediaan air minum perpipaan menghadapi kondisi struktur biaya yang menurun.