Dalam evaluasi kinerja, masalah keuangan menjadi fokus perhatian dan memiliki bobot yang paling besar di bandingkan masalah lainnya. Hal ini tidak terlepas sebagai business entity, kinerja PDAM akan sangat tergantung terhadap ketersediaan keuangan perusahaan yang mencukupi untuk membiayai proses produksi maupun investasi sehingga dapat dihasilakan output berupa produk air besih yang disalurkan kepada masyarakat. Sehingga dengan kondisi keuangan yang sehat, PDAM akan dapat menghasilkan produk sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan. Sebaliknya dalam kondisi keuangan yang tidak sehat, kekurangan dana akan berakibat pada minimnya kualitas produk yang dihasilkan.
Ditinjau dari nilai operating ratio yang mengalami peningkatan menandakan terjadinya peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pendapatan, atau dengan kata lain menyebabkan semakin menurunnya laba yang dapat dihasilkan. Hal ini menunjukkan proses inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Ditinjau dari nilai operating ratio yang mengalami peningkatan menandakan terjadinya peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pendapatan, atau dengan kata lain menyebabkan semakin menurunnya laba yang dapat dihasilkan. Hal ini menunjukkan proses inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Gambar 5.5. Perkembangan Operating Ratio PDAM di Indonesia
Bila ditilik dari sisi lokasi, PDAM yang beroperasi di wilayah administrasi kota cenderung memiliki tingkat operating ratio yang lebih baik daripada PDAM yang beroperasi di wilayah administrasi kabupaten. Perbedaan kualitas infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia antara daerah kota dengan kabupaten diduga menjadi salah satu penyebab utama sehingga PDAM di daerah kota cenderung lebih efisien sehingga memiliki tingkat operating ratio yang lebih baik daripada PDAM di wilayah kabupaten.
Selain itu, peningkatan operating ratio ini mengindikasikan terjadinya peningkatan biaya pokok produksi air. Pada tahun 2006, rata-rata biaya pokok produksi air di Indonesia adalah sebesar Rp. 2.536/M3 dan meningkat menjadi Rp 3.257/M3 pada tahun 2008. PDAM di daerah Kota memiliki biaya pokok produksi yang lebih besar dibandingkan PDAM di daerah kabupaten. Pada tahun 2008, rata-rata biaya pokok produksi PDAM daerah kota sebesar Rp. 3.324/M3. Sedangkan di wilayah kabupaten, rata-rata biaya pokok produksi sebesar Rp. 3.240/M3 atau lebih rendah Rp. 84/M3 dibandingkan PDAM derah kota. Perbedaan besaran biaya pokok produksi dapat disebabkan karena adanya perbedaan biaya faktor produksi seperti tenaga kerja yang cenderung lebih mahal di daerah kota dibandingkan kabupaten. Tingkat polusi yang lebih tinggi di daerah kota, turut menyebabkan dibutuhkannya biaya ekstra untuk mengolah sumber air baku menjadi air minum.
Gambar 5.6. Perkembangan Rata-Rata Biaya Pokok Produksi PDAM di Indonesia
Peningkatan biaya pokok membuat PDAM di Indonesia tahun ke tahun berusaha menyesuaikan tarif penjualan ke pelanggan. Pada tahun 2006, tarif rata-rata penjualan nasional sebesar Rp. 1.799/M3. Nilai ini meningkat pada tahun 2007 menjadi Rp. 1.941/M3 dan Rp. 2.174/M3 pada tahun 2008. Namun, kenaikan tingkat tarif tersebut tidak mampu menyamai tingkat kenaikan biaya pokok produksi yang semakin tinggi. Kondisi ini menyebabkan setiap tahunnya PDAM harus menjual air minum kepada pelanggannya dengan harga yang lebih murah dibandingkan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk memproduksi dan menyalurkan air minum kepada pelanggan. Dampaknya, PDAM justru mengalami kerugian bila melakukan produksi guna menyediakan air minum kepada pelanggan. Bahkan semakin besar tingkat konsumsi pelanggan akan berdampak semakin besar tingkat kerugiaan perusahaan. Kondisi ini jelas menjadi sebuah ironi bagi PDAM yang pada esensinya merupakan business entity.
Gambar 5.7. Perkembangan Tarif Rata-Rata Penjualan PDAM di Indonesia
Penerapan tarif yang lebih rendah dibandingkan biaya produksi ini tidak terlepas dari kebijakan masing-masing daerah. Menutur Permendagri No. 23 tahun 2006, ada 6 prinsip yang dianut dalam menetapkan tarif air minum pada PDAM yaitu: prinsip keterjangkauan dan keadilan, prinsip mutu pelayanan, prinsip pemulihan biaya, prinsip effisiensi pemakaian air, prinsip tranparansi dan akuntabilitas serta prinsip perlindungan air baku. Selain itu, kebijakan penetapan tarif sangat dipengaruhi keputusan politik kepala daerah sebagai bagian dari janji keberpihakan kepada masyarakat untuk menyediakan air minum yang murah. Dampaknya selisih harga dan biaya produksi PDAM di berbagai daerah turut bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Secara umum, hampir seluruh daerah menerapkan tarif defisit terhadap pelayanan air minum kepada masyarakat. Hanya Provinsi DKI Jakarta yang telah menetapkan tarif pelayanan di atas biaya pokok poroduksi. Pada tahun 2008, PDAM DKI Jakarta menetapkan tarif lebih besar Rp. 76/M3. Untuk mencapai hal tersebut, DKI Jakarta menerapkan tarif rata-rata sebesar Rp. 7.001/M3 yang merupakan tarif tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Provinsi Bangka-Belitung mengalami defisist terbesar yakni Rp. 4.317/M3.
Walau demikian, kondisi ini tidak serta-merta menggambarkan bahwa tarif air minum di Indonesia dalam kondisi terlalu murah. Berdasarkan perhitungan YLKI, Tarif air bersih di DKI Jakarta yang berkisar antara Rp. 6.000 – 7.000 per meter kubik merupakan tarif termahal se- Asia Tenggara. Dengan tarif tersebut, seharusnya kualitas air di DKI Jakarta sudah sangat baik. Dengan tarif yang sama, pelayanan air bersih di Sydney, Australia, sangat bagus bahkan air bersih yang disalurkan sudah dapat langsung diminum. Sedangkan air di DKI Jakarta masih berbau bahan kimia walaupun pelanggan sudah membayar mahal. Kondisi ini menggambarkan adanya inefisiensi dalam produksi air bersih. Salah satunya adalah tingkat kebocoran air yang masih cukup tinggi menyebabkan beban biaya produksi PDAM menjadi lebih besar, sementara pendapatan tidak meningkat. Selain itu faktor manajemen turut harus diperhatikan. Penggunaan sumber daya manusia yang berlebihan akan membebani biaya pokok produksi. Oleh karena itu, penetapan biaya produksi harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi kaidah kewajaran
Gambar 5.8. Selisih Rata-rata Tarif terhadap Biaya Pokok Produksi PDAM per Provinsi Tahun 2008
Oleh karena itu perlu diperhatikan apakah penentuan tingkat tarif akan memiliki pengaruh terhadap kinerja dari PDAM. Posisi kinerja PDAM dapat dianalisis kaitannya dengan selisih tarif PDAM yang ditetapkan, sehingga dapat diklasifikasikan menurut provinsi ke dalam empat kuadran. Dimana, harapan optimalnya adalah PDAM dapat berada pada posisi sehat sekaligus memiliki harga jual yang layak untuk suatu unit bisnis. Pembagian tingkat selisih tarif dan kinerja PDAM dijabarkan dalam Gambar 5.9 sebagai berikut.
Gambar 5.9. Posisi Kinerja PDAM dan Selisih Tarif Air terhadap Biaya Pokok Produksi Rata-rata Menurut Provinsi Tahun 2008
Dari Gambar 5.9 di atas dapat disimpulkan bahwa, secara nasional kinerja PDAM berada dalam kategori tidak sehat dengan penetapan tarif pada umumnya kurang dari biaya pokok produksi. Kondisi ini menggambarkan sistem pengelolaan air bersih di Indonesia belum memenuhi standar pengelolaan perusahaan yang baik. Saat ini, dalam melayani masyarakat atau menjalankan bisnisnya, PDAM lebih berperan sebagai cost center yang umum terjadi pada PDAM di seluruh provinsi.
Analisis kombinasi ini menjabarkan pola sebaran hubungan selisih tarif dengan tingkat kinerja PDAM dalam empat kuadran. Kuadran I menggambarkan kelompok Provinsi yang mengalami selisih tarif yang negatif serta memiliki kinerja yang tidak sehat. Hampir seluruh Provinsi di Indonesia berada dalam kuadran I tersebut. Dalam kuadran I tersebut, terlihat bagaimana Provinsi yang memiliki defisit tarif yang lebih besar cenderung akan memiliki kinerja perusahaan yang lebih buruk. Posisi tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan biaya pokok produksi tidak hanya akan menganggu kinerja keuangan perusahaan saja, namun juga akan mempengaruhi kualitas produk itu sendiri, sehingga akan sangat wajar kinerja perusahaan akan semakin terganggu dengan semakin besarnya tingkat defisit tarif PDAM.
Kuadran II, menggambarkan kelompok Provinsi yang memiliki selisih tarif yang positif namun memiliki tingkat kinerja ynag belum sehat. Dalam kuadran II hanya terdapat Provinsi DKI Jakarta. Walau telah memiliki tarif diatas biaya pokok produksi, kinerja Provinsi DKI Jakarta masih belum cukup memuaskan. Padahal dalam pelaksanaan operasionalnya Provinsi DKI Jakarta telah bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam pengelolaan air bersih. Kualitas air baku yang rendah akibat tingkat polusi air yang cukup berat di Jakarta serta tingkat kebocoran air yang tinggi menyebabkan kinerja PDAM DKI Jakarta belum optimal meskipun telah menerapkan tarif yang cukup tinggi.
Kuadran III, merupakan kelompok Provinsi yang telah memiliki kinerja perusahaan yang sehat walaupun tingkat tarif yang masih lebih rendah dibandingkan biaya pokok produksinya. Provinsi yang berada di dalam kuadran III tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten. Di satu sisi kondisi ini jelas merupakan hal yang baik bagi masyarakat. Komitmen pemerintah daerah tersebut dalam menyediakan air bersih kepada masyarakatnya patut diberikan apresiasi. Namun di sisi lain, kondisi ini memberikan resiko terhadap kesinambungan kinerja PDAM itu sendiri. Defisit penerimaan menuntut sumber pembiayaan lain yang biasanya berasal dari subsidi ataupun hutang. Sehingga sangat diperlukan konsistensi dari pemerintah daerah untuk dapat menyokong PDAM dalam menyediakan air bersih dengan tarif di bawah biaya pokok produksi.
Selain ketiga kuadran tersebut, masih terdapat kuadran IV yakni kelompok Provinsi yang memiliki tingkat kinerja yang sehat dengan selisih tarif yang positif. Namun pada tahun 2008 tidak terdapat satupun provinsi di dalam kuadran tersebut. Kondisi ini merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam pengembangan pengelolaan air bersih di Indonesia.
Adanya selisih antara tarif pelayanan dengan biaya produksi menuntut PDAM untuk dapat memperoleh pendanaan alternatif. Sumber pembiayaan alternatif tersebut dapat dari subsidi pemerintah maupun penarikan hutang guna menutupi kekurangan pendapatan usaha. Pemberian subsidi dari pemerintah tidak terlepas dari argument bahwa penyediaan air minum merupakan salah satu tugas wajib pemerintah terutama pemerintah daerah. Oleh karena itu, PDAM dalam operasinya mengemban misi public service obligation (PSO) sehingga layak untuk diberikan bantuan oleh pemerintah daerah. Jalan lain untuk menutup kekurangan pendapatan tersebut dilakukan dengan cara menarik hutang.
Gambar 5.10. Perkembangan Rasio Hutang Terhadap Total Aset PDAM di Indonesia
Kondisi hutang PDAM mulai mengalami perbaikan saat ini. Kebijakan restrukturisasi hutang PDAM yang dilakukan pemerintah pusat melalui penghapusan beban bunga dan denda hutang sedikit membantu neraca hutang PDAM. Hal ini menyebabkan mulai menurunnya rasio hutang PDAM terhadap total aset. Secara nasional rasio tersebut menurun dari 0,55 di tahun 2006 menjadi 0,53 pada tahun 2008. Sedangkan bagi PDAM di daerah Kota penurunan terjadi lebih besar dari 0,80 pada tahun 2006 menjadi 0,63 pada tahun 2008.
Penurunan tingkat hutang tentunya memberikan indikasi positif bagi perkembangan kinerja PDAM. Penarikan hutang akan menjadi permasalahan tersendiri bagi PDAM. Ibarat pedang bermata dua, penarikan hutang akan menambah tingkat likuiditas PDAM yang dapat digunakan untuk membiayai produksi maupun investasi pengembangan PDAM itu sendiri. Namun di sisi lain, penarikan hutang akan menimbulkan beban pengembalian hutang bagi PDAM di masa yang akan datang sehingga akan mempengaruhi keseimbangan kas dan peningkatan beban bunga. Dengan demikian, pengelolaan hutang yang tidak hati-hati justru akan berbalik mempengaruhi kinerja perusahaan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, meningkatnya biaya pokok produksi PDAM di Indonesia disebabkan oleh kegagalan dalam pengelolaan hutang yang efektif. Dampak negatif hutang terhadap kinerja PDAM secara sekilas dapat dilihat dalam analisis kombinasi antara kinerja PDAM dan rasio hutang terhadap total aset PDAM di Indonesia menurut provinsi sebagaimana yang dijabarkan dalam Gambar 5.11 sebagai berikut.
Gambar 5.11. Posisi Kinerja PDAM dan Rasio Hutang Terhadap Total Aset Menurut Provinsi Tahun 2008
Dari hasil analisis kombinasi di atas, terlihat bagaimana provinsi yang memiliki PDAM dengan rasio hutang yang tinggi terutama yang melebihi total asetnya (pada kuadran I) cenderung memiliki tingkat kinerja yang lebih buruk dibandingkan provinsi lainnya. Sebaliknya 3 provinsi yang kinerja PDAM-nya sehat justru memiliki rasio hutang yang lebih rendah (kuadran IV). Selain itu, tidak terdapat PDAM yang berkinerja baik dengan rasio hutang yang tinggi (kuadran III). Hal ini menunjukkan pengelolaan hutang yang tidak efisien justru akan membebani kinerja perusahaan itu sendiri. Sehingga dalam upaya perbaikan kinerja perusahaan, restrukturisasi hutang PDAM perlu mendapatkan perhatian yang cukup.
Selain pemanfaatan sumber pembiayaan alternatif, cara lain guna meningkatkan sumber pendapatan PDAM dapat dilakukan dengan dua cara yakni melalui pengurangan pengeluaran (expenses optimalization) maupun peningkatan pendapatan air (maximize revenue). Pengurangan pengeluaran dilakukan melalui efisiensi perusahaan dengan menekan penggunaan biaya listrik, bahan kimia, maupun pemanfaatan sumber daya manusia yang tepat. Dengan demikian efisiensi tersebut diharapkan dapat menurunkan biaya pokok produksi sehingga defisit tarif dapat semakin mengecil. Cara kedua adalah melalui peningkatan pendapatan air. Cara ini dapat dilakukan melalui beberapa cara yang antara lain:
- Meningkatkan Akurasi Pembacaan Meter
- Meterisasi (Penggantian Meter)
- Recategory (Akurasi Klasifikasi Pelanggan)
- Sweeping
- Pressure Management (Pengaturan Tekanan Air)
- Percepatan PSB
- Marketing
- Percepatan Operasi
Melalui usaha-usaha peningkatan sumber pendapatan tersebut diharapkan kinerja keuangan PDAM dapat menjadi lebiih baik, sehingga kinerja perusahaan dan kualitas produk air yang dihasilkan diharapkan dapat meningkat seiring peningkatan kinerja keuangan perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar