Jumat ini terasa sedikit berbeda, hari ini pak ustad tidak berceramah tentang tanda-tanda orang munafik, apa itu ibadah, hingga masalah-masalah fiqih yang cenderu tuk dipaksakan, pak ustad justru berbicara tentang politik negara, yakni mengenai seorang pemimpin. Pak ustad bertanya-tanya tentang banyaknya iklan-iklan politik berbagai tokoh di televisis dewasa ini. Ada yang berkata ia adalah wakil petani, ada yang berkata ia membawa sebuah harapan baru, ataupun ada yang mengajak masyarakat untuk berbuat.
Menurut beliau bahwa tindakan ini adalah sebuah bentuk dari tindakan yang mubazir, bagaimana uang miliyaran rupiah dihabiskan hanya untuk ajang cari muka, alangkah baiknya pulalah bila uang tersebut di alokasikan untuk orang-orang yang kurang mampu hingga membantu dakwah agama. Padahal sudah sangat jelas bahwa perbuatan mubazir merupakan salah satu perbuatan yang dilarang agama dan termasuk orang yang berteman dengan setan.
Selain itu menurut beliau masyarakat sebaiknya berhati-hati atas orang-orang yang terlalu berambisi untuk menggapai kekuasaan, karena orang yang seperti ini cenderung tidak memperdulikan masyrakat yang dipimpinnya namun hanya peduli atas keberlangsungan kekuasaannya saja.
Untuk point-point itu aku sangat setuju dengan pak ustad, apalah gunanya seorang membuat iklan politik atas kedok personal branding. Karena bagiku ketokohan bukan muncul dari sebuah kebiasaan terlihat ditelevisi (karena itu lebih cocok untuk keselebritasan) namun lebih merupakan besarnya konstribusi seseorang terhadap masyarakat. Sehingga menurutku yang harus mereka lakukan bila ingin dianggap sebagai seorang tokoh nasional adalah melakukan sebuah kegiatan yang memiliki nilai bagi bangsa dan negara, bisa dengan menulis buku, bergiat dalam LSM ataupun parpol, ataupun sekedar menghidupkan kegitan diskusi. Cobalah mereka bagaimana Amien Rais, Hidayat Nurwahid, hingga Anies Bawedan mampu menjadi tokoh nasional tampa perlu beriklan pribadi.
Apakah mereka-mereka itu lupa bahwa masyarakat semakin pintar dalam memilih (seperti yang mereka sering katakan) dan tidak akan terjebak oleh iklan-iklan? Atau ini merupakan efek dari budaya serba instan, bahkan kini orang pun ingin menjadi pemimpin tanpa bernah berbuat namun hanya beriklan?.
Ya inilah indonesiaku, namun bukan berarti kita sebagai rakyat indonesia harus terjebak dalam budaya seperti ini, budaya kapitalisme bahwa hanya yang punya banyak uang saja yang dapat memimpi karena mampu beriklan. Apalagi kita masih banyak alternatif pilihan lain yang tidak berprilakuk mubazir dan terobsesi atas kekuasaan seperti yang muncul di televisi akhir-akhir ini seperti Fazoel Rahman, Sultan Hamengkubuono ataupun kandindat-kandindat lainnya.
Hanya ada satu pesanku untuk para pengobsesi kekuasaan. Kalau memang hidup adalah perbuatan, maka berbuatlah. Kalau memang ada harapan baru, maka tunjukanlah. Kalau memang dari mata seekor garuda, Indonesia adalah negeri yang kaya, maka buatlah ia terlihat dari mata seorang manusia. Kalau memang ingin memberikan konstribusi bagi bangsa dan negara, maka bertindak dan bergeraklah bukan dengan beriklan.
Menurut beliau bahwa tindakan ini adalah sebuah bentuk dari tindakan yang mubazir, bagaimana uang miliyaran rupiah dihabiskan hanya untuk ajang cari muka, alangkah baiknya pulalah bila uang tersebut di alokasikan untuk orang-orang yang kurang mampu hingga membantu dakwah agama. Padahal sudah sangat jelas bahwa perbuatan mubazir merupakan salah satu perbuatan yang dilarang agama dan termasuk orang yang berteman dengan setan.
Selain itu menurut beliau masyarakat sebaiknya berhati-hati atas orang-orang yang terlalu berambisi untuk menggapai kekuasaan, karena orang yang seperti ini cenderung tidak memperdulikan masyrakat yang dipimpinnya namun hanya peduli atas keberlangsungan kekuasaannya saja.
Untuk point-point itu aku sangat setuju dengan pak ustad, apalah gunanya seorang membuat iklan politik atas kedok personal branding. Karena bagiku ketokohan bukan muncul dari sebuah kebiasaan terlihat ditelevisi (karena itu lebih cocok untuk keselebritasan) namun lebih merupakan besarnya konstribusi seseorang terhadap masyarakat. Sehingga menurutku yang harus mereka lakukan bila ingin dianggap sebagai seorang tokoh nasional adalah melakukan sebuah kegiatan yang memiliki nilai bagi bangsa dan negara, bisa dengan menulis buku, bergiat dalam LSM ataupun parpol, ataupun sekedar menghidupkan kegitan diskusi. Cobalah mereka bagaimana Amien Rais, Hidayat Nurwahid, hingga Anies Bawedan mampu menjadi tokoh nasional tampa perlu beriklan pribadi.
Apakah mereka-mereka itu lupa bahwa masyarakat semakin pintar dalam memilih (seperti yang mereka sering katakan) dan tidak akan terjebak oleh iklan-iklan? Atau ini merupakan efek dari budaya serba instan, bahkan kini orang pun ingin menjadi pemimpin tanpa bernah berbuat namun hanya beriklan?.
Ya inilah indonesiaku, namun bukan berarti kita sebagai rakyat indonesia harus terjebak dalam budaya seperti ini, budaya kapitalisme bahwa hanya yang punya banyak uang saja yang dapat memimpi karena mampu beriklan. Apalagi kita masih banyak alternatif pilihan lain yang tidak berprilakuk mubazir dan terobsesi atas kekuasaan seperti yang muncul di televisi akhir-akhir ini seperti Fazoel Rahman, Sultan Hamengkubuono ataupun kandindat-kandindat lainnya.
Hanya ada satu pesanku untuk para pengobsesi kekuasaan. Kalau memang hidup adalah perbuatan, maka berbuatlah. Kalau memang ada harapan baru, maka tunjukanlah. Kalau memang dari mata seekor garuda, Indonesia adalah negeri yang kaya, maka buatlah ia terlihat dari mata seorang manusia. Kalau memang ingin memberikan konstribusi bagi bangsa dan negara, maka bertindak dan bergeraklah bukan dengan beriklan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar