17 Agustus 1945 adalah tonggak bersejarah dimana bangsa kita merebut kemerdekaan dari penjajahan asing. Namun kini setelah 63 tahun masih saja banyak hal yang membuat kita meragukan hakikat kemerdekaan. Isu yang paling merisaukan di Indonesia dari dulu hingga sekarang tentulah mengenai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bagaimana sebuah aset yang sangat pontensial telah menjelma menjadi sebuah malapetaka tersebar bangsa ini. BUMN tidak hanya menjadi penyedot anggaran yang sangat besar namun juga telah mengahambat perkembangan pasar akibat inefisiensinya. Padahal seharusnya BUMN menjadi sebuah stimulus perekonomian dan menjadi sumber pemasukan bagi negara. Hal ini telah menunjukan adanya sebuah kesalahan yang sudah sangat riskan dalam sistem BUMN di Indonesia.
Dalam sebuah kesalahan tentunya terdapat sebuah sumber penyebabnya, apakah kesalahan itu merupakan kesalahan sistem itu sendiri atau justru kesalahan pelaksana sistem. Dalam kecelakaan sebuah mobil dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena rem mobil yang tidak bekerja (sistemik) atau justru karena supir yang tidak sigap (pelaksanaan). Oleh karena itu perlu pulalah dicari sumber kesalahan dari kegagalan BUMN menjalankan fungsinya, apakah memang pemerintah tidak mampu menjalankan BUMN dengan benar atau justru karena sistem BUMN itu sendiri yang tidak memungkinkan ia berjalan maksimal?.
Salah satu masalah terbesar BUMN adalah besarnya ia menyedot anggaran negara, baik dalam bentuk kerugian ataupun subsidi. Namun sebenarnya bila kita membahas masalah tersebut sesungguhnya kita hanya membahas dua BUMN saja, yakni PLN dan Pertamina. Karena dari total kerugian BUMN, 75% nya disumbangkan oleh PLN. Sedangkan untuk masalah subsidi, 80% subsidi dialokasikan kepada sektor energi yang diterima oleh PLN (26%) dan Pertamina (54%). Sehingga dapat dikatakan sesungguhnya letak permasalahan BUMN di Indonesia berada pada PLN dan Pertamina. Lalu selanjutnya yang harus dicari adalah apa yang menyebabkan kedua BUMN tersebut tidak dapat berjalan dengan baik?.
Secara konstitusional seperti yang tertulis pada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 disebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Pasal inilah yang kemudian menjadi landasan utama pendirian BUMN di Indonesia. Namun ternyata pada masa Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto yang dibantu tim ekonomi yang kemudian dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, terjadi sebuah penyelewenggan atas BUMN-BUMN secara sistemmatis. Dimana BUMN-BUMN yang pada awalnya dan begitulah seharusnya, yakni berada pada cabang-cabang produksi, justru dialihkan menjadi perusahaan yang bergerak pada cabang-cabang distribusi. Yang mana kemudian cabang-cabang produksi yang semula dikuasai oleh BUMN dialihkan kepada oligarki-oligarki bisnis terutama kepada orang-orang dekat penguasa dan pihak asing.
Itulah mengapa kini kita mengenal PLN tidak sebagai Perusahaan Pembangkit Listrik Negara namun menjadi Perusahaan Penyalur Listrik Negara. Bagaimana pula kita mengenal Pertamina bukan sebagai Perusahaan Penambang Minyak Negara namun tidak lebih sebagai Perusahaan Penadah Minyak Negara. Sedangkan cabang produksi sektor-sektor strategis itu kemudian dilepaskan kepada kepentingan oligarki-oligarki seperti Payton di sektor listrik, dan Chevron di sektor migas. Dan sebagaimana kita ketahui semuanya, bahwa oligarki-oligarki tersebut setiap tahunnya menikmati keuntungan yang sangat besar dari perbuatan mengeksploitasi kekayaan sumber daya Indonesia yang sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingannya sendiri bukan kepentingan rakyat banyak.
Inilah yang menjadi masalah karena keuntungan-keuntungan para oligarki tersebut kemudian dikonfersikan dan dibayarkan oleh rakyat sebagai bentuk kerugian yang akan ditanggung oleh para BUMN karena ia bertugas untuk mendistribusikan sumber daya-sumber daya tersebut kepada rakyat indonesia secara non-komersial seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa setiap tahunnya rakyat Indonesia harus “mensubsidi” para oligarki-oligarki tersebut, sebagai akibat dari penguasaan sumber daya alam nasional oleh para oligarki. Lalu apa bedanya dengan masa penjajahan dimana rakyat harus membayar upeti kepada penjajah-penjajah asing atas penguasaannya terhadap bumi Indonesia?. Lalu mengapa pula para oligarki tersebut dapat menguasai cabang-cabang produksi yang secara konstitusional diamatkan kepada negara?.
Bagaimana kita telah menyaksikan bahwa BUMN-BUMN telah dirubah oleh rezim diktaktor Orde Baru menjadi topeng-topeng penutup praktek-praktek penjajahan oligarki atas bangsa ini. Sehingga tidak mengherankan bagaimana BUMN-BUMN kita justru hanya bisa meratapi nasibnya yang terus merugi dan meminta-minta subsidi, sementara perusahaan-perusahaan sejenisnya justru meraih keuntungan yang sangat melimpah karena sesungguhnya BUMN-BUMN tersebut hanya menjadi “boneka” para oligarki untuk menguras kekayaan rakyat.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya kesalahan BUMN berada pada sistem BUMN itu sendiri. Pengingkaran atas amanat konstitusi dengan membiarkan oligarki menguasai cabang produksi strategis telah membuat BUMN tidak dapat menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Lalu mengapa pula privatisasi yang kini diajukan sebagai solusi atas kegagalan sistem BUMN?. Padahal kalau rem mobil yang ternyata rusak maka yang harus dilakukan adalah menganti rem mobil tersebut, bukan justru mengganti supirnya. Sehingga kebijakan privatisasi harus dikaji kembali apakah privatisasi memang ditujukan untuk memperbaiki BUMN, tentunya dengan maksud untuk memaksimalkan sumbangsinya untuk negara dan rakyat, atau justru merupakan sebuah upanya melegalkan dominasi oligarki dalam perekonomian Indonesia.
Melemahnya cengkraman Orde Baru sekaligus menguatnya kontrol rakyat atas pemenrintahan sejak dekade 90-an, tentunya akan mengancam dominasi oligarki atas sumber daya Indonesia. Sehingga diperlukan sebuah aturan yang dapat melegalkan praktek dominasi tersebut. Privatisasi sebagai bentuk penjualan BUMN kepada pihak swasta tentunya akan membuka kesempatan kepada oligarki untuk menguasai perekonomian Indonesia. Hal ini gamblang terlihat bagaimana sebagian besar BUMN akhirnya dilepaskan kepada “Mitra-mitra Strategis” yang tidak lain adalah oligarki-oligarki asing. Lalu pertanyaannya adalah, kalau masalahnya ada pada PLN dan Pertamina kenapa justru BUMN lain yang dijual?. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat dominasi para oligarki karena masalah penguasaan cabang produksi penting yang membuat PLN dan Pertamina merugi tidak pernah diselesaikan.
Sehingga kalaulah ini yang disebut sebagai kutukan sumber daya alam (resource curse), bahwa negara dengan sumber daya alam yang kaya rakyatnya akan hidup menderita, maka hal ini haruslah ditinjau ulang kembali. Karena kutukan hanya datang dari Tuhan, sedangkan apa yang kita alami hari ini jelas merupakan perbuatan manusia yang ironisnya adalah bangsa kita sendiri.
Oleh karena itu, di hari kemerdekaan ini, marilah kembali dengan lantang kita terikan Merdeka! Merdeka! Merdeka! Dengan sambil terus berusaha mengambil kembali apa yang sebenarnya menjadi hak kita, kekayaan kita, dan masa depan kita. Jangan sampai kemerdekaan ini hanya menjadi kedok saja bahwa yang terjadi adalah Mereka Mendikte Kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar