Minggu, 13 Juli 2008

Krisis LPG : Cabut Monopoli Pertamina!!!

Aku tidak tau harus bersikap seperti apa apakah harus bersedih karena ironis atau justru tertawa terbahak-bahak ketika mendengar pernyataan Pertamina yang menyerahkan harga LPG kepada mekanisme pasar. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pertamina adalah satu-satunya perusahaan atau monopolis dalam pendistribusian bahan bakar (baik BBM ataupun LPG) di Indonesia. Dan sebagaimana teori ekonomi, bahwa seorang Monopolis pasti memiliki kuasa penuh dalam menetukan harga produknya kepada konsumen bahkan dengan kekuatannya, Monopolis juga mampu melakukan diskriminasi harga dengan menjual dengan harga yang berbeda untuk konsumennya. Sehingga ketika Pertamina menyatakan bahwa harga LPG akan diserahkan kepada mekanisme pasar, aku pun bertanya di dalam hati apakah teori ekonomi yang sudah berubah atau justru Pertamina yang gagal menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengatur distribusi energi?

Tapi setelah kupikir-pikir lagi dan bahkan orang awam pun tau, jawabannya pastilah yang kedua. Karena sampai saat ini monopoli tetaplah menjadi musuh perekonomian pasar lalu bagaimana mungkin monopolis bisa bertoleransi dengan mekanisme pasar?. Hal ini juga semakin diperkuat dengan tidak adanya upaya dari pihak Pertamina untuk mengatur harga LPG itu sendiri. Bagaimana Pertamina telah sukses mengkokohkan citra sebagai BUMN yakni sebagai “parasit” negara yang hanya tau berfoya-foya tanpa pernah bekerja. Bahkan sudah puluhan tahun kita tidak melihat bagaimana Pertamina melakukan sebuah inovasi apalagi melakukan ekspansi usaha padahal keuntungan yang mereka raup bisa melebihi 16 Triliun rupiah setahunnya. Dan dengan keuntungan yang begitu besar tetap saja Pertamina tanpa rasa malu selalu meminta subsidi dari negara hingga ratusan Triliun. Yang lebih ironis lagi walau berstatus sebagai perusahaan peminta-minta subsidi, Pertamina dengan bangga memperlihatkan gaya hidup yang mewah tanpa pernah memikirkan bagaimana kerasnya rakyat harus bekerja untuk membayar pajak yang akan disubsidikan kepada mereka. Padahal menurutku setidaknya ada 3 buah metode yang dapat dilakukan oleh Pertamina untuk mengontrol harga LPG yang akan diterima oleh konsumen secara langsung yakni:

Pertama, Pertamina membuka gerai resmi penjualan LPG secara langsung disetiap kota. Hal ini tentunya yang paling mudah dan realistis secara teknis untuk dilaksanakan. Dengan adanya gerai resmi yang menjual LPG dengan harga resmi Pertamina, hal ini akan membuat para pengecer tidak dapat menaikan harga seenaknya saja karena konsumen memiliki pilihan. Sehingga walaupun tetap terjadi perbedaan harga hal itu tidak lain sebagai biaya pelayanan dari pengecer seperti lokasi yang lebih dekat dengan dengan rumah konsumen ataupun bentuk pelanyanan laininya.

Kedua, sudah saatnya Pertamina meninggalkan sistem distribusi LPG melalui tabung menjadi distribusi langsung melalui pipa-pipa langsung kerumah konsumen sepeti yang telah dipergunakan di banyak negara-negara yang telah maju. Dengan metode ini konsumen akan membayar tagiahan LPG setiap bulan sesuai dengan pemakaiannya seperti penggunaan listik dan air. Cara ini tentunya akan menghilangkan semua bentuk mark-up harga.

Ketiga, walau harus diuji lagi kelayakan teknisnya, tapi menurut aku kenapa tidak Pertamina mendirikan saja Stasiun Pengisian LPG seperti SPBU. Kalau saja mobil yang menggunakan BBG bisa mengisi tabung gasnya di Stasiun Pengisian, lalu mengapa masyarakat tidak bisa membawa tabung LPG-nya dan kemudian langsung diisi di Stasiun Pengisian?. Bukankah mediun penyimpanan antara BBG dan LPG sama-sama berbentuk tabung?.

Oleh karena itu aku menilai bahwa tidak sepantasnya Pertamina menyerah dan mengorbankan konsumen LPG tanpa mencoba terlebih dahulu. Apalagi sebagai BUMN dengan Laba terbesar (2005), Pertamina seharusnya memiliki dana yang cukup untuk melakukan inovasi-inovasi pelayanan LPG terutama setelah pemerintah melakukan pemaksaan kepada masyarakat untuk meninggalkan minyak tanah dan menggunakan LPG. Sehingga kalau saja Pertamina masih saja gagal mengkontrol harga LPG pada tingkat konsumen maka harus diambil sebuah tindakan, yakni copot semua direksi Pertamina atau sekalian saja cabut hak monopoli Pertamina!. Karena kalau masyarakat harus dipaksa menerima mekanisme pasar, maka masyarakat berhak pula untuk menerima persaingan yang lebih kompetitif dan mendapatkan pelayanan yang lebih bermutu. Jangan-jangan kita memang harus melihat bagaimana tetangga kita, Malaysia, dimana Petronas harus bersaing dengan ketat dengan perusahaan lainnya jusru membuat perusahaan tersebut menjadi salah satu perusahaan yang besar dan bahkan kini mampu memasuki pasar SPBU di negeri kita ini. Sehingga kalau Pertamina masih saja tidak mampu mengontrol harga LPG sudah saatnya hak monopolinya kita pertimbangkan kembali.(α2)

3 komentar:

  1. gw spakat ama lo, emang pertamina ngak tau diri

    BalasHapus
  2. tidak pantas memang bila pertamina membiarkan krisis LPG, restrukturisasi mungkin sangat diperlukan untuk memperbaiki kinerja Pertamina

    BalasHapus
  3. iyah betul kita harus menjadi lebih baik dari orang2 sekarang....

    bahya pemerintah kalo begini cranya...

    BalasHapus