Minggu, 13 Juli 2008

Investasi Asing: Sebuah Ilusi Pembangunan

Akhir-akhir ini selalu akrab di telinga kita tentang bagaimana kegigihan dari pemerintah untuk membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Alasannya tentulah sangat fantastis untuk mempertinggi angka pertumbuhan, menciptakan lapangan pekerjaan, hingga mendorong investasi domestik untuk turut tumbuh akibat adanya efek yang dihasilkan oleh investasi asing tersebut. Segala hal pun mulai dipersiapkan dari mempersingkat jalur birokrasi hingga menawarkan insentif pajak serta pembangunan wilayah-wilayah khusus ekonomi barupun mulai dicanangkan. Namun yang seperti biasa yang menjadi pertanyaan tentulah apakah harapan-harapan itu sebuah harapan realistis atau hanya sebuah ilusi yang selalu dipropagandakan oleh ekonom-ekonom “utara” untuk terus mendominasi perekonomian “selatan”?

Bila kita melihat persiapan yang dilakukan oleh pemerintah, kegiatan-kegiatan seperti memperbaiki birokrasi maupun insentif usaha merupakan suatu hal yang patut kita apresiasi dengan baik. Namun yang ironis mengapa hal-hal yang baik-baik tersebut baru terfikirkan ketika pemerintah ingin investasi asing masuk? Megapa hal ini tidak dicanangkan sejak dahulu? Hal ini seakan-akan semakin mencerahkan adanya anggapan diskriminasi yang lebih mementingkan kepentingan asing dibandingkan anak-anak pribumi.

Anggapan “sinis” ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimana di tengah kegigihan mengundang investasi asing tesebut pemerintah seakan-akan acuh terhadap modal (tabungan) domestik yang ada di perbankan-perbankan nasional dipendam sedemikian besarnya dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dibandingkan disalurkan kepada sektor rill. Mengapa kita harus jauh-jauh mengemis hanya untuk memohon agar orang-orang asing mau menanamkan modalnya di negeri ini sementara kita membiarkan dana masyarakat teronggok tak berguna di Bank Indonesia serta membebani anggaran negara hanya untuk misi yang seakan-akan suci yakni pengendalian inflasi. Bukankah masuknya investasi asing tersebut juga akan menganggu kestabilan uang yang beredar juga? Lalu mengapa pemerintah tidak memberikan insentif saja agar modal-modal yang terkumpul itu dapat disalurkan dengan biaya rendah (misalkan dengan suku bunga pinjaman yang disubsidi).

Selain itu mengapa pemerintah seakan-akan menutup mata terhadap ribuan orang kaya Indonesia yang memendamkan uangnya di luar negeri baik di Singapura, Swiss, maupun negara-negara lainnya yang nilainya diestimasi hingga ratusan triliun rupiah. Belum lagi dana-dana yang di korupsi oleh pejabat-pejabat publik yang pemberantasannya hingga saat ini seakan-akan masih terasa “tebang pilih” hanya memvonis mereka yang korupsi dapat dibilang dalam jumlah yang masih kecil. Sedangakan sindikat-sindikat utama masih tenang dan tiba-tiba sakit yang kemudian tidak jadi-jadi disidang untuk mencari kepastiaan benar tidaknya ia melakukan korupsi.

Tidak hanya pandangan-pandangan diatas, beberapa penelitian empiris yang pernah dilakukan di waktu-waktu yang lalu oleh beberapa ekonom termasuk ekonom ternama Indonesia, Prof. Sritua Arief, menunjukan bahwa menurut perhitungan mereka di negara-negara berkembang, invetasi asing yang masuk justru menrugikan bagi negara-negara berkembang. Dimana menurut penelitian yang dilakukan oleh Prof. Sritua Arief (dalam bukunya negeri terjajah, Resist Book 2006) menunjukkan selama periode 1973-1990 ada sebesar US$ 5,775 miliyar investasi asing yang masuk ke Indonesia. Namun dalam periode yang sama, hal ini turut pula diikuti dengan keuntungan investasi asing yang direpatiasi (dialihkan) dari Indonesia ke luar negeri sebesar US$ 58,859 miliyar. Berarti dari setiap US$ 1 investasi asing yang masuk akan diikuti dengan uang yang hilang senilai US$ 10,19.

Besarnya keuntungan yang direpatiasi ini antara lain disebabkan karena dalam kenyataan yang terjadi, investasi asing secara substansial bukanlah dibiayai dari sumber-sumber keuangan yang diperoleh dari luar negeri seperti yang diharapkan untuk menutupi investment-saving gap yang menjadi masalah-masalah utama di negara-negara berkembang, namun justru berasal dari sumber-sumber domestik negara berkembang itu sendiri lewat jaringan operasi dari bank-bank asing yang ada di negara berkembang itu. Tidak hanya itu besarnya import content yang selalu mengiringi investasi-investasi asing tersebut membuat efek-efek yang diharapkan dapat menular kepada usaha-usaha domestik lewat pembukaan lapangan kerja bagi penduduk-penduduk lokal justru berbalik dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pekerja-pekerja asing di negara-negara berkembang. Hampir seluruh investasi asing selalu menggunakan jasa-jasa pekerja terutama konsultan-konsultan yang berasal dari negeri asal investor tersebut yang biayanya jauh lebih mahal walaupun secara kualitas belum pernah ada kepastian bahwa mereka (para konsultan asing) memiliki kualitas yang lebih baik daripada anak-anak pribumi. Salah satu sektor yang kini dengan sangat jelas merasakan dampak negatif dari masuknya investasi asing adalah sektor perbankan yang saat ini sedang genjar-genjarnya mengalami “asingisasi”. Masuknya investasi asing lewat portfolio investment bukannya membawa keuntungan baik berupa pembukaan lapangan pekerjaan baru namun justru menambah angka pengangguran. Karena hampir semua bank-bank yang telah dimiliki secara mayoritas oleh pihak asing mengganti jajaran komisaris dan direksinya dengan bankir-bankir negara asalnya. Dimana yang ironis menurut penelitian dari majalah infobank kualitas dari bankir-bankir yang didatangkan itu hanya bankir-bankir kelas tiga atau hanya selevel pimpinan cabang di negara asalnya.

Walaupun pekerja-pekerja asing itu tinggal di negara-negara berkembang tempat investasi asing itu masuk dan menyumbang dalam perhitungan GDP, konsumsi yang mereka lakukan sebagian besar juga lari ke luar negeri atau tidak di rasakan oleh masyarakat domestik. Mereka tinggal di hotel-hotel asing, belanja di perusahaan-perusahan ritel asing, hingga makan di restoran-restoran asing atau minimal franchise dari restoran asing yang memiliki import content dalam jumlah yang besar. Sehingga wajar nilai investasi asing yang dilakukan di negara-negara berkembang justru sebagian besar direpatiasi ke luar negeri. Hanya “setetes”lah yang dapat dikatakan dirasakan oleh negara-negara berkembang itu sendiri.

Tidak hanya itu investasi asing yang selama ini digembar-gemborkan dapat membantu dalam pembentukan tabungan domestik serta mendorong investasi domestik adalah sebuah mistos yang tidak terjadi. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan termasuk oleh Prof. Sritua Arief (1993) kejadian yang sebaliknya lah yang justru terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dimana investasi asing justru menghambat terbentuknya tabungan domestik serta perkembangan investasi domestik. Hal ini disebabkan dengan modal yang besar investasi-investasi asing tersebut telah mengambil kegiatan-kegiatan ekonomi yang paling menguntungkan dan membuat kesempatan-kesempatan investasi yang menguntungkan menjadi sangat langka sehingga investasi domestik pun tidak dapat muncul. Selain itu masuknya investasi asing bersama para pekerja-pekerja asing tersebut terlah mendorong meningkatnya gaya hidup masyarakat serta konsumsi barang-barang mewah dari golongan berpenghasilan tinggi yang mengalihkan potensi tabungan domestik menjadi kegiatan yang konsumtif. Atau dengan kata lain dapat kita simpulkan bahwa investasi asing yang pada mulanya diharapkan untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang justru menjadi penghambat proses pembangunan itu sendiri.

Dari serangkai fakta-fakta maupun pandangan-pandangan yang telah diungkapkan di atas haruslah membuka “kacamata kuda” ekonomi kita. Haruskah kita terus mengantungkan nasib kita kepada investasi-invetasi asing itu bila terbukti bahwa efek negatif lah yang lebih banyak diberikan daripada sisi positifnya. Membangun kemandirian ekonomi jelas harus menjadi solusi serta tujuan jangka panjang ekonomi kita tidak dengan mencoba melarikan diri dengan solusi-solusi sesaat yang cenderung menyesatkan.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus