Seakan-akan sudah jadi rutinitas bagi seorang buruh untuk turun ke jalan berdemonstrasi setiap tahunnya menuntut kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Walau begitu tetap saja setiap tahun tidak pernah ada wajah-wajah yang tersenyum menerima keputusan dari gubernur atas UMR yang telah direvisi. UMR benar-benar didefiniskan sebagai kebutuhan hidup minimum bagi seorang buruh. Mereka dianggap hanya perlu makan, minum, ongkos pulang-pergi, serta berbagai kebutuhan fisik yang paling dasar lainnya. Tak pernah dianggap mereka memiliki keluarga yang perlu diberi makan juga, mereka memiliki anak yang perlu bersekolah yang kini semakin mahal, mereka butuh hiburan untuk menjaga keseimbangan fisik dan psikologinya. Mereka hanya dianggap tidak lebih sebagai “ternak” yang cukup disumpal perutnya dengan makanan. Sebuah penghargaan yang ironis mengingat merekalah yang menghasilan “nilai tambah” bagi perusahaan.
Sebenarnya apa yang menjadi sumber masalah sehingga UMR di Indonesia tidak dapat mencapai angka yang layak. Kalau kita bicara secara moralitas tentu karena para pengusaha ingin mengantungi profit yang besar sendirian sehingga upah buruh haruslah terus ditekan ke titik yang paling rendah untuk semakin memperbesar “nilai surplus” dari para buruh yang akan diserap. Namun bila kita harus bicara secara teoritis tentulah rendahnya UMR ini akibat “over supply” tenaga kerja. Untuk apa membayar upah yang besar bila di bayar Rp 500 rubu saja sudah ada yang mau bekerja. Untuk itulah UMR hanya akan meningkat secara signifikan apabila telah muncul kesadaran yang tinggi dari masyarakat bahwa hasil jerih payahnya haruslah dihargai dengan sepada sehingga tidak ada lagi ucapan “dari pada ngak dapat sama sekali berapun dibayar bolehlah”.
Masih rendahnya pendidikan mayoritas masyarakat
Lalu bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Hal yang paling mungkin tentu lewat asuransi sosial bagi para penganguran dimana ini akan sangat efektif untuk menekan jumlah penawaran tenaga kerja pada tingkat upah yang rendah. Namun yang harus ditegaskan bahwa asuransi ini tidaklah boleh cuma-cuma, karena di Indonesia harus kita akui semua orang ingin menjadi “free-rider”. Oleh karena itu asuransi ini haruslah dikompensasikan lewat kerja-kerja sosial seperti menjadi petugas pengangkut sampah
Lantas yang jadi pertanyaan kembali pasti apakah pemerintah sanggup membiayai asuransi tersebut. Tentu Bisa, bukankan pada saat presiden SBY mengeluakan PP no 37, dalam seketika pula APBD-APBD di seluruh kabupaten/kota langsung dengan begitu saja menganggarkan puluhan hingga ratusan miliyar rupiah untuk dana rapelan para anggota dewan yang terhormat itu, hal ini belum lagi termasuk puluhan miliyar yang diberikan kepada klub-klub sepak bola yang mengeksploitasi fanatisme kedaerahan namun hanya dinikmati oleh 30 orang pemain dan pengurus. Hal ini semakin mengaskan bahwa permasalahan pemerintah kita hanyalah pada masalah komitmen untuk menyejahterakan masyarakat umum bukan menyejahterakan pribadi-pribadi. Bayangkan apabila asuransi tersebut sebesar RP 1 juta saja dengan dana yang sama untuk membayar rapelan para anggota DPRD itu saja sudah dapat mempekerjakan ribuan pekerja sosial dan bila dilakukan diseluruh negeri tak hayal bila jutaan pekerja sosial dapat ditampung lewat asuransi ini. Akhirnya penawaran pada sektor buruh akan turun dan upah juga meningkat, selain itu dana APBD ataupun APBN tidak terbuang percuma karena para penerima asuransi tersebut memberikan konstribusi langsung bagi dalam membantu peran-peran pemerintahan tidak seperti Bantuan Langsung Tunai.
Satu pertanyaan lagi tentu apakah para pengusaha ataupun perusahaan akan mampu membayar upah yang lebih tinggi. Kembali tentu bisa, lihat saja saat ini berbagai perusahaan melakukan ”perang iklan” dengan dana yang bergitu jor-joran. Adaikan saja sebahagian dari dana iklan itu dialokasikan kepada yang seharusnya menerima, dalam hal ini para buruh, maka bukan mustahil upah akan lebih besar. Selain itu upah merupakan salah satu komponen makroekonomi sangat penting. Upah akan membentuk daya beli masyarakat yang kemudian membentuk permintaan agregat. Upah yang lebih tinggi akan membuat permintaan yang lebih besar dan tentu itu akan membentuk iklim usaha yang lebih baik bagi para pengusaha. Sehingga semua akan diuntungkan baik buruh, pengusaha, pemerintah, bahkan masyarakat akan lebih teratur.
Tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, tinggal bagaimana kita semua bersikap bijak dan tidak memandang rendah golongan tertentu serta tidak bersikap membeda-bedakan hanya karena mereka berbeda suku, ras, agama, ataupun patron politiknya. Mengembalikan harga diri seorang buruh juga harus segera kita laksanakan. Karena sesuai apa yang disebutkan oleh Adam Smith bahwa tidak akan makmur sebuah masyarakat apabila masih banyak orang-orang miskin di dalamnya, maka tidak akan makmur pulalah Indonesia apabila para buruhnya masih hidup dibawah bayang-bayang kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar