Minggu, 13 Juli 2008

Paradoks Biofuel : Sebuah Parodi Ekonomi Indonesia

Ada sebuah kisah tentang dua orang bocah bernama Indo dan Malay yang keduanya masih beusia muda, 6 tahun. Suatu ketika mereka bertemu dengan seorang professor yang sangat cemerlang, yaitu professor Amrik. Tentu saja sang professor memiliki keunggulan yang berbeda dengan kedua bocah tersebut walaupun secara absolut ia unggul segala-galanya. Katakanlah ada dua keunggulan dari seorang manusia yakni kepintaran dan waktu luang. Sang professor yang lebih tua tidak hanya lebih pintar namun juga ia memiliki waktu luang yang lebih besar karena seorang bocah memerlukan waktu istirahat yang lebih lama dibandingkan si professor yang sedang dalam usia produktifnya.

Namun si professor selalu teringat ajaran dari seorang maestro ekonomi ternama dari zaman klasik, David Ricardo. Di mana Ricardo mengungkapkan walaupun secara absolut salah satu pihak unggul dalam segala hal namun apabila ia memfokuskan dirinya dalam hal yang terbaik yang dapat ia lakukan, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua belah pihak. Doktrin ini selalu melekat di dalam pikiran sang professor dan ia ingin menerapkannya kepada kedua bocah yang ia temui. Oleh karena itu sang professor pun menawarkan sebuah transaksi kepada sang bocah.

“Saya akan mengajarkan kamu selama satu jam apabila kamu mau bekerja memenuhi kebutuhan saya selama tiga jam.” Begitulah kata sang professor kepada bocah-bocah itu. Transaksi ini bila dilihat secara sekilas memang menguntungkan karena untuk kapasitas seorang bocah, ia akan memerlukan waktu yang lebih lama yakni sekitar 5 jam untuk mengetahui apa yang diberitahu oleh sang professor selama 1 jam karena ia harus memulai dari belajar membaca. Maka baginya akan lebih baik bekerja membantu professor selama tiga jam kemudian mendengarkannya selama satu jam atau ia hanya akan kehilangan 4 jam untuk satu pengetahuan, lebih cepat satu jam daripada ia belajar sendiri. Begitu juga dengan sang professor, karena apabila ia harus melakukan pekerjaan itu sendiri, 3 jam bekerja sang bocah, ia memerlukan waktu selama dua jam atau lebih lama dibandingkan dengan mengajarkan si bocah selama satu jam saja namun pekerjaannya dilakukan oleh si bocah. Artinya bila kita lihat secara sekilas keduanya akan diuntungkan dengan menghemat waktu masing-masing satu jam daripada melakukan kegiatan itu sendiri-sendiri.

Indo dengan begitu lugunya langsung menerima tawaran sang professor namun sebaliknya Malay setelah merenungkan tawaran tersebut justru menolak tawaran itu dan memutuskan melakukan segalanya dengan sendiri. Apa yang akan terjadi? Apakah Indo akan menjadi lebih pintar daripada Malay? Pada awalnya jawabanya adalah ya. Indo menjadi lebih pintar karena untuk satu pengetahuan yang sama ia memerlukan waktu yang lebih singkat yakni 4/5 dari Malay maka tak heran bila Indo mendapatkan pengetahuan yang lebih dari Malay (kita asumsikan kedua bocah memiliki alokasi waktu yang sama sehari dan tidak ada yang malas atau menyia-yiakan waktunya untuk keperluan diluar belajar dan bekerja). Namun setelah berjalan selama beberapa bulan keadaan kini justru berbalik, Malay lah yang menjadi lebih pintar daripada Indo. Mengapa bisa? Bukankah Indo unggul dalam waktu mempelajari satu pengetahuan lalu mengapa ia bisa kalah dari pada Malay?

Hal yang selalu luput oleh kita adalah proses perkembangan. Kita selalu mengingat jalan pintas akan selalu lebih baik untuk selamanya. Begitu juga dalam kasus Indo dan Malay ini. Indo selalu ingin melewati jalan pintas yang hanya memberikan kenikmatan sesaat tanpa pernah mau untuk berusaha dapat mandiri dalam memperoleh pengetahuan. Indo akan selalu mengalami ketergantungan kepada Amrik untuk mengajarkannya karena satu-satunya sumber pengetahuaannya adalah sang professor. Sebaliknya Malay memulai usahanya dengan merintis sebuah pembaharuan dengan memulai belajar membaca agar nantinya ia bisa mandiri. Dan akhirnya setelah dapat membaca sendiri Malay yang tadinya memerlukan waktu selama 5 jam untuk dapat memahami satu pengetahuan kini hanya memerlukan waktu dua jam untuk memahami satu pengetahuan. Hal ini membuat Malay yang dahulu tertinggal 4/5 jam dari Indo untuk memahami satu pengetahuan kini ia justru unggul 2/4 jam dari Indo untuk memahami satu pengetahuan. Sehingga wajar Malay kinipun menjadi lebih pintar dari pada Indo.

Selain itu apa yang akan terjadi bila sang professor mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak bisa mengajar lagi, tentu celaka bagi Indo karena ia kehilangan satu-satunya sumber pengetahuannya dan ia akan semakin sulit untuk mendapatkan pengetahuaan dan semakin tertinggal dari Malay. Maka harus kita akui sebuah pantun yang berbunyi ”Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang kemudian.” adalah satu semboyan yang tidak bisa kita abaikan. Bagaimana perjuangan Malay dalam merintis kemampuannya untuk mencari pengetahuan lebih berat dari pada yang dilakukan oleh Indo karena ia harus membuang waktu yang lebih lama, namun sakit yang ia rasakan dahulu kini justru membawa kebahagiaan padanya. Sedangkan bagi Indo yang tidak mau repot, selamanya ia akan seperti itu tidak akan merasakan hidup yang lebih baik. Inovasi yang dilakukan oleh Malay dengan belajar membaca membuatnya kini mampu mengalahkan Indo dan akan menikmati kehidupan yang lebih baik sebagai imbalan atas kerja kerasnya di masa yang lalu.

Dari kisah yang dipaparkan di atas ada satu hal yang harus kita pahami, bahwa memang perdagangan dalam jangka pendek akan membawa keuntungan daripada menyediakan barang-barang yang ada dengan sendiri (tanpa melakukan perdagangan). Hal ini dapat dilihat dari Indo yang melakukan perdagangan dengan sang professor dapat memahami satu pengetahuan dengan lebih cepat daripada Malay yang memutuskan untuk belajar secara mandiri tanpa melakukan perdagangan dengan sang professor. Namun yang kita lupa yang membuat Malay membutuhkan waktu yang lebih lama daripada Indo adalah kondisi awal yang memang tidak mendukung bagi Malay untuk memperoleh pengetahuan dengan cepat sedangkan hambatan bagi Indo adalah ia harus membantu sang professor untuk mengerjakan kebutuhannya.

Inilah yang sering terlupakan bahwa hambatan Malay adalah bersifat Internal (dari dalam dirinya sendiri) yakni ketidakmampuannya untuk membaca yang merupakan sarat penting untuk memperoleh pengetahuan, namun hambatan ini dapat diselesaikan oleh Malay dengan belajar membaca. Dimana selanjutnya apabila ia sudah dapat membaca maka hambatan yang tadinya harus dihadapi akan hilang dengan sendirinya. Sedangkan bagi Indo ia menghadapi hambatan yang bersifat eksternal (dari luar dirinya) yakni hambatan yang diperolehnya akibat ia melakukan perdagangan dan hambatan ini akan selalu ada dan baru akan hilang bilang Indo menghentikan perdagangannya dengan sang professor. Namun bila Indo memutuskan untuk menghentikan perdagangan untuk menghilangkan hambatan tersebut justru hambatan lain lah yang akan dihadapinya yakni hambatan Internal (ketidakmampuannya untuk membaca).

Tapi bukankan dengan bertambah dewasanya Indo maka hambatannya akan sedikit berkurang? Bukankah bila Indo semakin dewasa untuk membantu sang professor yang tadinya memerlukan waktu tiga jam akan menjadi lebih singkat yakni hanya dua jam seperti sang professor mengerjakan pekerjaannya sendiri? Ya memang benar namun disaat bersamaan Malay yang tadinya memerlukan waktu dua jam untuk mendapatkan satu pengetahuan kini dengan bertambah dewasanya ia, ia juga akan dapat memahami pengetahuaan sama dengan sang professor yakni hanya satu jam untuk satu pengetahuan. Artinya Indo tetap akan terus tertinggal dari Malay karena ia masih saja mengantungkan nasibnya untuk memperoleh pengetahuan kepada sang professor. Hal ini belum lagi termasuk resiko bila sang professor mengalami kecelakaan atau tidak lagi dapat mengajar, dimana resiko ini hanya akan ditanggung oleh Indo karena untuk mendapatkan pengetahuaan ia membutuhkan sang professor namun bagi Malay yang memperoleh pengetahuan secara mandiri apapun yang terjadi kepada sang professor tidak akan mempengaruhinya untuk memperoleh pengetahuaan.

Bila hal ini kita kaitkan kedalam perekonomian secara nyata hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap perdagangan hanya akan membawa keuntungan yang bersifat sesaat apalagi bila kita hanya meproduksi barang-barang dasar yang tidak memiliki Value Added (dalam cerita diatas adalah waktu luang yang digunakan untuk membantu sang professor). Karena barang-barang dasar tersebut pada hakikatnya adalah sesuatu yang stagnan atau tidak dapat berkembang berbeda dengan produk-produk industri yang terus berkembang dan bersifat awet (dalam cerita diilustrasikan sebagai kepintaran). Kejadiaan inilah yang harus kita renungi bahwa kita (bangsa Indonesia) dalam perekonomian dunia adalah pemasok barang-barang dasar dan pembeli barang-barang industri. Inilah yang membuat mengapa perdagangan bagi kita menjadi sesuatu yang kurang menguntungkan.

Maka apabila kita memetik pelajaran dari kisah yang dipaparkan diatas yang harus kita lakukan adalah melakukan subtitusi impor yakni mulai membangun industri-industri yang menghasilkan barang-barang kebutuhan yang selama ini kita impor. Memang subtitusi impor ini akan menghabiskan biaya yang lebih mahal sama seperti yang dilakukan oleh Malay ketika ia memutuskan untuk belajar secara mandiri (yakni melakukan subtitusi impor terhadap belajar membaca). Namun apabila hal ini telah dilaksanakan dengan sepenuhnya justru keuntungan yang akan diperoleh, dimana biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perdagangan (baik biaya transportasi, tariff, cukai, maupun biaya lainnya) akan dapat ditekan bahkan dihilangkan sama sekali. Selain itu pendapat pajak bagi negara juga akan turut membesar. Yang harus kita sadari bahwa keunggulan baik komparatif maupun kompetitif tidaklah hanya segala sesuatu yang disediakan oleh alam untuk kita.

Keunggulan adalah sesuatu yang harus diciptakan sendiri bukan diterima dengan pasrah. Seorang bayi tentu tidak tahu akan keunggulannya namun membentuknya dengan belajar. Begitu pula bagi sebuah negara bahwa keungggulan merupakan sesuatu yang harus diciptakan yakni dengan membangun industri nasional. Bahkan mungkin Jepang 100 tahun yang lalu tidak menyadari apa keunggulannya dengan keadaan alam yang tidak menguntungkan. Namun mereka membentuknya yakni dengan membangun sektor industri automotif tanpa memperdulikan keunggulan alamnya. Maka jelas bahwa untuk menciptakan keunggulan bukanlah hanya dengan mengeksploitasi kekayaan alam seperti yang kita (Indonesia) lakukan saat ini, tetapi lebih jauh dengan membangun sektor-sektro industri nasional yang padu.

Rencana pemerintah untuk berspesialisasi dalam pembuatan CPO (Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan dasar bagi pembuatan biofuel tentu harus ditinjau dengan lebih dalam. Karena untuk meningkatkan produksi CPO tersebut tentu diperlukan pengembangan pada lahan-lahan perkebunan kelapa sawit yang akan menganggu keseimbangan ekosistem. Pada tahun 2006 saja luas lahan yang digunakan untuk menanam kelapa sawit sudah mencapai 5,4 juta ha (angka ini belum lagi termasuk luas lahan bekas perkebunan sawit yang telah ditinggalkan dan tidak dapat dipergunakan lagi). Yang jadi masalah adalah walaupun secara bisnis perluasan lahan kelapa sawit akan memberi keuntungan namun hal ini akan merugikan aspek-aspek lingkungan dan sosial. Karakteristik kelapa sawit yang sangat haus akan air, sulit membusuk serta membutuhkan pupuk dalam jumlah yang besar akan membuat daya serap air dari lingkungan akan menurun. Selain itu karena sulit membusuk, menurut penelitian yang ada kelapa sawit hanya dapat melalui dua kali masa tanam. Artinya diperlukan lahan-lahan baru untuk mengantikan lahan-lahan lama yang tidak lagi bisa digunakan untuk jenis tanaman apapun lagi. Atau dapat kita katakan kelapa sawit akan membawa degradasi terhadap kualitas lingkungan dan akan memperbesar resiko terjadinya bencana-bencana alam seperti banjir dan longsor yang mulai menghantui wilayah pulau Sumatera yang saat ini merupakan sentra kelapa sawit Indonesia bersama dengan pulau Kalimantan. Maka dapat jadi bukan untung yang diperoleh namun justru buntung karena untuk mengatasi bencana-bencana tersebut dibutuhkan dana yang tidak sedikit pula.

Diluar aspek lingkungan tersebut yang patut diperhatikan adalah apakah dengan memutuskan berspesialisasi dalam memproduksi kelapa sawit akan membawa keuntungan dalam jangka panjang mengingat harga-harga bagi barang-barang dasar dalam pasar internasional adalah sangat labil. Selain itu menurut hasil pengamatan kelompok Sinar Mas, Investasi dalam perkebunan kelapa sawit seluas 2 juta ha akan memberi devisa terhadap negara sebesar 87,5 miliar dollar AS selama 25 tahun atau hampir sepuluh kali dari nilai investasi awal. Namun 56% dari 919 proyek investasi perkebunan sawit merupakan investasi asing. Artinya hanya setengahlah yang akan jatuh untuk kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini belum lagi bila kita menghitung besar impor yang kita lakukan terhadap barang-barang akhir dari kelapa sawit seperti kosmetik, minyak goreng hingga shampo membuat secara umum perdagangan kelapa sawit tidaklah menguntungkan dari sisi ekonomi secara menyeluruh (hanya akan menguntungkan bagi pemodal-pemodal perkebunan kelapa sawit).

Maka yang harusnya menjadi fokus perhatian bagi kita adalah bagaimana membangun industri-industri pengelolaan-pengelolaan bahan-bahan dasar tersebut di dalam negeri atau dalam rencana pengembangan biofuel adalah dengan membangun kilang-kilang pengelolaan CPO menjadi biofuel. Jangan sampai biofuel yang tadinya diharapkan menjadi sumber bagi devisa negara justru menjadi beban APBN seperti yang kita rasakan terhadap produk minyak bumi saat ini. Akibat ketidakmampuan atau mungkin ketidakmauan kita mengolah minyak bumi menjadi bahan bakar secara mandiri membuat kita mengalami ketergantungan terhadap perdagangan minyak dunia yang pada akhirnya membuat bangsa Indonesia yang merupakan penghasil minyak justru harus menerima harga internasional bagi pasar domestiknya. Suatu hal yang tidak perlu terjadi apabila minyak-minyak itu diolah secara mandiri. Begitu pula dengan biofuel, bukan memperbanyak sawit yang diproduksi yang akhirnya hanya bisa kita ekspor karena tidak dapat diolah di dalam negeri, namun mengembangkan industri pengolahan CPO adalah lebih penting.

Jangan sampai perekonomian kita selamanya akan menjadi apa yang disebut oleh bung Hatta sebagai ”export economy” yang merupakan cermin perekonomian dari bangsa-bangsa yang terjajah. Ketakuatan akan kegagal subtitusi impor seperti yang pernah dilakukan oleh rezim orde baru tidaklah boleh dijadikan alasan untuk menutup mata terhadap proses subtitusi impor ini. Bukankah Kapitalisme sebagai sistem ekonomi telah berulang kali mengalami kegagalan dengan terjadinya berbagai depresi sepanjang sejarah ia digunakan oleh umat manusia? Lalu mengapa saat ini kita tidak juga merasa ”kapok” menggunakannya justru semakin bersemangat mengembangkannya?.

Yang harus kita tekankan bahwa rezim orde baru dijalankan dengan sistem kroni yang tidak demokratis termasuk dalam bidang ekonomi dimana industri-industri subtitusi itu dikuasai oleh kerabat penguasa yang dijalankan dengan tidak efisien sehingga wajar menghadapi kegagalan. Dengan iklim demokrasi yang saat ini berkembang maka sudah saatnya kita kembali melirik kepada pengembangan industri-industri subtitusi tersebut sehingga pada akhirnya kita dapat menjapai sebuah bangsa yang benar-benar merdeka baik secara politik, hukum, maupun ekonomi. Mengembangkan industri nasional adalah satu keharusan untuk menghadapi perkembangan dunia bukan justru menutup mata atas ketertinggalan dan menerimanya dengan pasrah sebagai negara pengekspor barang-barang metah seperti Indo yang merelakan tenaganya hanya untuk satu pengetahuaan membuatnya tidak mengalami kemajuan, berbeda dengan Malay yang membangun kemandiriaannya.

Hal mengingatkan kita pada pandangan Friedrich List yang mengatakan bahwa kemakmuran suatu bangsa tidaklah bertambah besar dengan menumpuk harta lebih banyak, melainkan dengan membangun tenaga produktif yang lebih banyak. Artinya kemakmuran sebuah bangsa bukanlah dengan menyerap uang/emas lebih banyak dengan menjual produk-produk ke luar negeri (ekspor) namun justru membangun sektor-sektor yang dapat menghasilkan barang-barang bernilai tambah yakni tentulah industri-industri domestik. Bukankah sebatang pohon yang berbuah akan jauh lebih bermanfaat daripada buahnya itu sendiri?....

1 komentar: