Rabu, 08 Desember 2010

Mengenal Standardisasi Bidang Perdagangan di Indonesia


Perkembangan perekonomian dunia saat ini sangat dipengaruhi perubahan yang sangat dinamis dan negara-negara di dunia lebih mengkonsentrasikan diri pada kemampuan ekonominya. Perdangangan dunia bergerak menuju efisiensi yang mendorong kepada pembentukan integrasi ekonomi antar negara. Integrasi tersebut memaksa terjadinya penghapusan terhadap batasan-batasan perdagangan yang selama ini dilakukan oleh semua negara. Hal tersebut berdampak pada terjadinya penurunan hambatan tarif dalam perdagangan internasional.

Komitmen penurunan tarif perdagangan tidak terlepas dari komitmen pembentukan area perdagangan bebas (free trade area) yang semakin berkembang di berbagai regional wilayah. Tabel 1.1 menunjukan bagaimana komitmen penerapan area perdagangan bebas antara di ASEAN yang telah menargetkan penurunan tingkat tarif di negara-negara ASEAN hingga 100%.

Tabel 1. Komitmen Penurunan Tarif Perdagangan Dalam AFTA

Menurunnya penggunaan hambatan tarif dalam perdagangan menuntut setiap negara mengembangkan instrumen hambatan perdagangan lainnya. Untuk menjaga dan melindungi kepentingan domestik dari serbuan masuknya barang impor, kini seluruh negara menggunakan instrumen non tariff yang salah satunya adalah penerapan standar baik terhadap barang dan jasa yang akan beredar di pasar domestik.

Oleh karena itu peranan standardisasi semakin besar dalam kegiatan perdagangan. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) setiap negara diperbolehkan menerapkan hambatan non tarif yang meliputi Technical Barrier to Trade dan Sanitary and Phytosanitary Agreement dengan syarat tidak ada perbedaan/diskriminasi perlakuan antara produk dalam negeri dengan produk impor.

Hambatan teknis perdagangan/technical barriers to trade (TBT) adalah tindakan atau kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional, dimana penerapannya dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. TBT merupakan salah satu bagian perjanjian dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure). Ketentuan-ketentuan tersebut digunakan oleh banyak negara, terutama negara-negara maju yang mempunyai teknologi tinggi menggunakan ketentuan tersebut sebagai alat untuk melindungi masyarakat dari aspek keselamatan, kesehatan, keamanan dan pelestarian lingkungan hidup, serta melindungi industri dalam negeri dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Sebagai upaya untuk mencegah terlalu banyaknya ragam standar, Perjanjian TBT mendorong negara anggota untuk menggunakan standar-standar internasional dimana dianggap perlu atau melakukan harmonisasi standarnya dengan standar internasional. Walaupun demikian, negara anggota tidak dicegah dari mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin standar nasionalnya dipenuhi.

Perkembangan standardisasi di Indonesia turut semakin menggeliat pasca pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang dikoordinasikan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dibantu dengan Kementerian teknis yang bertugas membantu BSN dalam melaksanakan penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan.

Apa Itu Standardisasi??

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 102 tahun 2000 yang dimaksud dengan Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Sedangkan standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengam memperhatikan syarat-syarat keselematan, keamanan, kesehatan lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku secara nasional.

Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang terkait. Pada umumya, panitia teknis diselenggarakan oleh Kementerian Teknis (yang salah satunya adalah Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Standardisasi) dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri dari perwakilan pemerintah, produsen, konsumen, dan pakar. Dengan demikian diharapkan setiap SNI yang dirumuskan dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan.

Pengembangan SNI dilaksanakan mengikuti Sistem Standardisasi Nasional (SSN) yang telah disusun dengan mengikuti norma-norma yang terkandung dalam WTO Code of good practice yakni:
  • Openess: Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI.
  • Transparency: Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya. Dan dapat dengan mudah memperoleh semua informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;
  • Consensus and impartiality: Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
  • Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan internasional;
  • Development dimension: Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Dengan demikian proses perumusan SNI dilakukan secara bersama-sama oleh BSN, Kementerian Teknis, dan masyarakat. Tahapan perumusan SNI dimulai dari penyusunan Program Nasional Perumusan Standar (PNPS), penyusunan rancangan dari RSNI1 hingga RASNI, dan pada akhirnya ditetapakan oleh BSN.

Gambar 1 Tahapan Perumusan SNI

Perkembangan Standardisasi di Indonesia.

Sampai dengan tahun 2010, tercatat terdapat 6839 SNI yang telah ditetapkan dengan rincian 6050 SNI penetapan baru, 782 SNI revisi, dan 7 SNI amandemen. Selain itu telah terdapat 1436 SNI yang diabolisi dengan berbagai pertimbangan.

Tabel 2. Jumlah SNI Yang Ditetapkan Sampai Dengan Tahun 2010
Berdasarkan ruang lingkupnya, mayoritas SNI memiliki ruang lingkup mengenai teknologi dimana 2026 SNI menyangkut teknologi bahan, 1134 SNI menyangku teknologi perekayasaan, dan 181 SNI menyangkut teknologi khusus. Adapun penyebaran ruang lingkup SNI dapat dijabarkan dalam Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Statistik Ruang Lingkup SNI

Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, artinya kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI tidak dilarang untuk diperdagangkan. Dengan demikian untuk menjamin keberterimaan dan pemanfaatan SNI secara luas, penerapan norma keterbukaan bagi semua pemangku kepentingan, transparan dan tidak memihak, serta selaras dengan perkembangan standar internasional merupakan faktor yang sangat penting. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat saja memberlakukan SNI tertentu secara wajib.

Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang untuk diperdagangkan. Ketentuan tersebut berlaku secara universal baik kepada produk yang diproduksi di dalam negeri maupun produk impor yang masuk ke dalam pasar domestik.

Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindarkan sejumlah dampak sebagai berikut:
  • menghambat persaingan yang sehat;
  • menghambat inovasi
  • menghambat perkembangan UKM.

Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi terutama yang menyangkut Keselamatan, Keamanan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L), sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan.

Di Indonesia, pemberlakuan standar wajib mengalami peningkatan yang cukup pesat sepanjang periode 2005 – 2009. Pada akhir tahun 2009 tercatat telah diberlakukan standar wajib terhadap 56 Standar Nasional Indonesia (SNI), bahkan hingga akhir tahun 2010 setidaknya tercatat sudah terdapat 69 SNI Wajib. Dengan demikian produk-produk yang diatur dalam SNI tersebut harus memenuhi persyaratan teknis yang dipersyaratkan apabila diperdagangkan di pasar domestik. Kondisi tersebut berlaku untuk seluruh produk baik produk yang diproduksi di dalam negeri maupun produk eskpor.

1 komentar: